Kematian adalah sebuah kepastian. Namun, kepastian itu adalah hal yang selu diabaikan. Kematian butuh persiapan, namun hanya segelintir orang yang mempersiapkan kedatangannya.
Setiap yang bernyawa memang akan mati, dan itu benar adanya. Setiap ruh yang ditiupkan Sang Pencipta, kelak akan kembali pada pemiliknya. Pasti.
"Aku telah berdosa, Ya Allah. Sudikah Engkau memaafkan hamba-Mu ini?" Tangis pilu kembali terdengar. Ulu hatinya terasa nyeri, bak telah ditikam dengan begitu kerasnya.
Di atas hamparan sebuah sajadah. Selepas melaksanakan salat subuh berjamaah, ia menumpahkan tangis penyesalannya pada Sang Pencipta. Mengadukan setiap rasa sesak yang tengah bergerombol dalam dadanya.
Kemarin, kejadian itu rasanya sebuah mimpi. Dirinya tanpa sengaja telah mencelakai istrinya sendiri, wanita yang tengah mengandung anaknya.
Iya, pria itu adalah Akbar. Seorang pria yang tak bisa tegas pada keputusannya.
Karena ulahnya, mungkin ia memang tak akan lagi mendengar tangis seorang bayi. Hukuman yang Allah berikan cukup menjadi pukulan telak atas semua kesalahannya.
Akbar mengabaikan wanita itu, sehingga Allah mengambil anaknya. Allah tengah menunjukan kuasanya. Bahwa Dia Maha Segalanya. Dan bodohnya, Akbar baru sadar akan hal itu.
"Hamba tahu, Ya Rabb. Penyesalan tak akan ada artinya. Karena sungguh, penyesalan itu tak akan membuat apa yang telah pergi kembali. Namun, hanya kepada-Mu hamba mencurahkan semuanya. Hanya dengan bersimpuh padamu hati ini diliputi ketenangan. Ya Rabb, hamba mohon. Ampunilah semua kelalaian hamba, kesalahan hamba, dan semua kehancuran yang telah hamba perbuat. Tuntunlah kaki ini agar langkah hamba tak lagi salah. Aamiin." Doa itu ia akhiri dengan bacaan doa kebaikan dunia akhirat.
Akbar kembali menghela napas. Apa yang harus ia katakan setelah ini. Kesalahan yang diperbuatnya semakin lama justru semakin besar.
"Penyesalan tak akan menggantikan apapun. Cukup perbaiki kesalahan itu. Jadikan sebuah pelajaran, jangan sampai hal itu kembali lagi." Akbar menolehkan kepalanya, ia menatap wajah cantik Shazia tepat di depan wajahnya.
Apakah ia kufur saat ini? Setelah Allah memberikan karunia seorang istri yang luar biasa dirinya justru menghancurkan perasaannya. Dan sekarang, ia kembali menghancurkan perasaan seorang wanita.
Sudah dua wanita ia hapuskan harapannya. Semua karena ulah tangannya sendiri.
"Datanglah padanya. Katakan jika kamu akan memperbaiki semua ini. Tak perlu banyak menyesal, karena itu tak akan membawa apapun," ujar Shazia. Iya, wanita itu adalah Shazia.
Akbar menatap langkah Shazia. Kedua jangka yang dipakainya kini telah menjadi teman sejatinya. Itu juga karena ulah dirinya. Karena dia, Shazia harus seperti ini.
Tiga adalah angka yang ganjil. Jika harus di bagi dua, keduanya juga ada pada angka yang ganjil.
Begitu pula hati. Ketika ada tiga hati disatukan dalam satu ikatan, maka tak akan pernah ada bilangan yang genap di antara ketiganya. Pasti akan berada pada bilangan ganjil.
Seperti Akbar, dirinya tak bisa membagi dengan sama rata semua cinta dan perasaan pada kedua istrinya. Pasti ada salah satu dari keduanya yang mendapatkan hak lebih kecil.
Dan sekarang, tugasnya adalah menyamakan hitungan itu. Kedua istrinya harus mendapatkan hak yang sama. Entah itu akan mempersulit dirinya atau bagaimana. Itu adalah konsekuensi dari pilihannya. Dan ia, harus siap menanggungnya.
"Perkara utama dalam berpoligami bukanlah berbagi cinta saja. Tapi, juga berbagi perasaan. Ketika kau bersama dengan salah satu istrimu, maka ketika kau bertemu istrimu yang lain perasaan itu haruslah sama dan seimbang." Itulah nasihat yang diberikan ayahnya. Nasihat yang sejujurnya belum bisa ia laksanakan.
***
Akbar menatap sendu wajah putih milik Fania. Matanya masih tertutup rapat. Saat ini mungkin Akbar merasa bahwa ia merindukan mata indah Fania ketika terbuka.
"Cepatlah bangun. Aku akan mengubah segalanya. Kita bangun istana baru kita," bisik Akbar.
Tanpa Akbar tahu, seorang wanita tengah mendengarkan bisikannya dengan tatapan terluka dan air mata.
Antara dan bahagia dan duka bersatu. Bahagia karena suaminya akan segera menghentikan murka-Nya dan berduka karena akan ada bagian dalam dirinya yang hilang.
"Ikhkaskan aku dalam menerima setiap takdirmu. Aku memohon, padamu wahai pemilik hati ini. Tegarkanlah aku akan setiap takdir-Mu," lirihnya.
"Setiap wanita surga adalah wanita dengan hati mulia. Semoga kelak, kau menjadi salah satunya," ucap seseorang.
Shazia tersenyum, ia mengenal siapa pemilik suara ini.
"Tetaplah menjadi bidadari surga yang menjelma menjadi bidadari dunia. Hingga kelak, para bidadari surga akan iri melihat itu semua." Shazia tersenyum. Ia menerima sebuah sapu tangan putih yang diulurkan pria itu.
"Ikhlaskan dan lupakan. Semoga Allah mencatatnya menjadi kebaikan. Aamiin." Dengan pelan Shazia mengamini doa itu.
Sekarang, semua yang ia lakukan adalah karena Allah. Allah adalah satu-satunya alasan ia bertahan.
"Terimakasih, An." Shazia tersenyum canggung. Tanpa ia tahu, dokter yang selama ini memeriksa keadaan kakinya adalah saudara barunya.
"Sama-sam, Shazia. Jujur, aku paling tidak bisa melihat seorang wanita menangis. Walaupun tangisannya itu untuk kebaikan," jawabnya.
Shazia tersenyum. Bukan karena pria itu, melainkan karen Akbar. Cintanya.
Ia melihat Akbar dengan cinta mengecup kedua tangan Fania. Sungguh, dalam hati ia berucap syukur. Allah mendengarkan doanya.
"Berbahagialah, Mas. Aku ikhlas. Karena bahagiaku adalah bahagiamu. Walaupun kelak, aku harus membayar mahal untuk semua itu," ucapnya kemudian melangkah pergi.
Sekarang, biarkan dirinya tenang. Menyatukan diri pada kebaikan dan melupakan semua badai itu sementara waktu.
Semoga, kelak semuanya tak lagi terulang. Ia beharap, setelah ini hanya tersisa kebahagiaan untuk mereka semua.
•••
Ciamis, 16-April-2019
Virachma.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ajari Aku Memohon - TERBIT DI DREAME
Spiritualبِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ (Revisi setelah selesai) Hidup adalah pilihan. Pilihan di mana semuanya membutuhkan keputusan terbaik agar dapat menjadi sebuah jawaban. Saat harus memilih menjadi orang bersyukur ataupun kufur, sabar atau marah...