16.) Kesimpulan

6.8K 449 31
                                    

Akbar pov

Menatap langit biru dihadapanku. Ah, rasanya dadaku terasa begitu sesak saja.

Hari ini adalah adalah hari pertama dari minggu ini. Harusnya aku bekerja, tapi tidak untuk hari ini.

Shazia. Wanita itu masih berada di Rumah Sakit sampai hari ini. Sesalku tak hanya itu, namun hal yang aku lakukan justru menyakiti banyak pihak. Termasuk diriku sendiri.

Aku akui, bahwa banyak hal yang telah menjadi kesalahanku selama ini. Terutama orang yang begitu aku cintai, Shazia.

Aku mencintainya, dan bahkan aku sungguh-sungguh mencintainya. Namun, keadaan memaksaku untuk berbuat hal yang tak sejalan.

Fania adalah sahabatku, dia adalah teman pertama yang aku punya. Sosok wanita periang yang begitu aku sayangi.

Namun, cintaku memang bukan untuk sahabatku itu. Aku masih mencintai istriku. Lebih tepatnya istri pertamku.

"Hidup itu adalah pilihan, Akbar. Kau harus pandai memilih agar tak pernah menyesal kedepannya. Hidup memang kejam, kadang tak membiarkan kita untuk sekedar berpikir terlalu lama." Rentetan kata itu aku dapatkan dari salah satu guruku.

Dan akhirnya penyesalan ini semakin menggunung, aku memang telah gagal dalam memilih. Dan akhirnya aku menyesali pilihanku.

Yang sulit itu bukan memilih, tapi bertahan atas apa yang dipilihnya.

Menurutku kutipan itu tidaklah sepenuhnya benar. Karena jika tak pandai memilih juga tak akan bisa bertahan atas apa yang telah dipilihnya.

Seperti aku, kegagalan dalam pilihanku dulu amat sangat menyulitkanku saat ini.

"Sha, ayo sarapan. Aku sudah membelikan ini untukmu," ucapku dengan nada seriang mungkin.

Tapi, Shazia hanya tersenyum. Wajah pucatnya menatapku.

"Nanti saja," lirih Shazia.

Aku melayangkan pandang. Sikap Shazia begitu menunjukkan bahwa ia kecewa akan sikapku.

"Aku mohon jangan seperti ini. Aku berjanji setelah ini aku hanya akan menjaga hatiku untukmu," jawabku mantap.

Aku lihat Shazia tersenyum kecut. "Lalu bagaimana dengan anakmu, Mas? Dia harus mendapatkan cintamu juga. Lalu, bagaimana caramu mencintai anakmu jika kamu tidak mencintai Ibunya?"

Skak. Aku tak mampu menjawab lagi. Bahkan sekedar mengelak pun aku tak mampu lagi.

Akhirnya, hanya menunduk yang mampu aku lakukan. Bukan aku takut, hanya saja apa yang dikatakannya memang benar adanya.

Author pov

Setiap keputusan akan menimbulkan konsekuensinya sendiri, dan si pemilih itu harus mampu menerimanya sesalah apapun keputusannya. Kedatipun menyakitkan atau membahagiakan, itu adalah resiko yang ada.

"Terimakasih, Akbar. Aku cukup kecewa dengan sikapmu," ujar Fania lirih.

Akbar kembali menunduk. Ia bahkan merasa terhimpit saat ini.

Melepaskan Shazia bukanlah keputusan yang akan diambilnya. Dan melepaskan Fania juga adalah hal yang tak akan mampu dihatinya.

Katakanlah dia pria bodoh. Itu memang benar adanya.

"Maksudku bukan seperti itu. Shazia sedang sakit, aku tidak bisa semakin menambah beban pikirannya. Dia sudah cukup banyak terinjak-injak karena aku," jawab Akbar.

Ajari Aku Memohon - TERBIT DI DREAMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang