Hari silih berganti tanpa henti. Putaran jarum jam tak akan menunggu kita sadar. Waktu akan tetap berlalu.
Petang ini, Shazia tengah melipat pakaiannya. Satu bulan sudah, kejadian pilu yang sempat menghimpit keluarganya kini perlahan mulai tak lagi terasa.
Beribu syukur selalu Shazia langitkan. Mengapa? Karena ia sadar, Allah tak akan mengambil sesuatu kecuali akan digantikan dengan yang lebih baik ataupun Allah ingin menyadarkannya akan salah dan alfa yang sempat ia lakukan.
Hari ini Akbar akan pulang ke rumahnya. Dua hari bersama Shazia dan dua hari bersama Fania. Satu hari itu akan Akbar gunakan untuk menginap di hotel ataupun tempatnya bekerja.
Sulit memang, berbagi waktu memang bukan perkara mudah. Menyeimbangkan hitungan yang sebenarnya tak seimbang juga tidaklah mudah. Namun, itu adalah amanah sekaligus janji. Karena saat ijab dan qobul itu terucap, maka Allah telah mencatat itu semua sebagai sebuah tanggung jawab.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Sha." Shazia tersenyum saat matanya menangkap sosok Akbar dengan wajah lelah.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Mas,' jawab Shazia sembari mengambil punggung tangan Akbar kemudian menciumnya. "Mari masuk, Mas. Aku sudah memasak makanan kesukaan kita."
Akbar tersenyum. Sambutan begitu hangat yang Shazia berikan membuat hatinya terenyuh. Akankah kebaikan Shazia bisa ia balas dengan sebuah keadilan?
"Eh, Mas mandi dulu saja. Masakannya agak dingin. Biar makannya tambah nikmat kalau makanannya hangat," ucap Shazia.
Akbar kemudian melangkahkan kakinya menuju kamar mereka. Kamar yang kini terletak di lantai satu.
Sekilas Akbar memandang kamar itu. Entah mengapa hatinya ingin bertanya tentang bagaimana perasaan Shazia saat dirinya tidak pulang ke rumah?
Ranjang yang biasanya mereka tempati berdua terkadang akan ditinggali Shazia sendiri. Malam-malam akan berlalu dengan sunyi. Tidak apa pelukan hangat, tidak ada sapaan pagi, ataupun ritual lainnya. Mungkinkah semuanya terasa sepi?
Akbar tersadar. Tujuannya ke sini adalah untuk mandi. Bukan untuk berpikir tentang apa yang Shazia rasakan.
Selepas beberapa menit berlalu, Akbar membuka pintu kamar mandi. Baju polos berwarna cokelat dan celana pendek berwarna hitam.
Saat kakinya melangkah keluar kamar, Shazia yang tengah duduk di atas meja makan telah menantinya. Wajah cantik dan berseri-seri milik Shazia membuat nafsu makan Akbar bertambah.
"Aku sudah memasak capcai, ikan gurami goreng, dan sambal kesukaan kita." Shazia kembali berceloteh sembari menuangkan nasi serta lauk untuk Akbar.
"Terimakasih," ujar Akbar sembari menerima piring yang sudah terisi makanan.
Sebuah pelayanan yang luar biasa. Shazia bahkan tidak pernah membiarkan Akbar mengambil makanannya sendiri. Bahkan ketika dalam keadaan sakit pun.
Berdosakah ia karena telah melukai manusia berhati bidadari ini?
"Ampuni aku Ya Allah jika aku belum bisa berlaku adil. Tuntunlah aku agar aku mampu menjauhi apa yang menghantarkan murka-Mu." Doanya dalam hati. Berharap Allah meridhoi doanya.
Suapan pertama. Rasa luar biasa menyapa indra pengecapannya. Manis, asin, dan gurih dari capai, bumbu pas dari ikan gurami, juga rasa pedas dan gurih dari sambal membuat Akbar memejamkan kedua matanya. Entah mengapa, ia takut tak mampu merasakan kenikmatan dari masakan ini lebih lama.
Shazia hanya melempar senyuman. Satu hal yang ingin dilihatnya hari ini adalah senyuman Akbar. Karena ia tahu, pekerjaan yang didalami suaminya bukanlah pekerjaan mudah. Oleh karena itu, ia ingin hanya senyumanlah yang hadir kala suaminya pulang kerja. Tak perlu lebih dari itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ajari Aku Memohon - TERBIT DI DREAME
Spiritualبِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ (Revisi setelah selesai) Hidup adalah pilihan. Pilihan di mana semuanya membutuhkan keputusan terbaik agar dapat menjadi sebuah jawaban. Saat harus memilih menjadi orang bersyukur ataupun kufur, sabar atau marah...