8.) Kenyataan

7.2K 485 70
                                    

Dua orang wanita tengah sama-sama tersenyum. Iya, mereka adalah Shazia dan Shanum. Hari ini, keduanya tengah mengikuti sebuah kajian.

"Aku bahagia sekali, Mbak. Ternyata pertemuan kita saat itu bukan hanya sebuah kebetulan, mungkin Allah tahu aku sedang membutuhkan sosok yang bisa menjadi teman dan juga kakak untukku." Itulah perkataan yang Shanum ucapkan saat pertemuan mereka yang kedua kalinya.

"Mbak, nanti aku pulang naik taksi. Kalau Mbak mau nunggu jemputan aku tunggu Mbak dulu sampai ada yang jemput," ujar Shanum lagi saat keduanya telah tiba di halaman mesjid.

"Kamu pulang duluan saja. Supirku pasti datang sedikit terlambat," jawab Shazia. Ia tahu, dalam keadaan mengandung, Shanum pasti mudah lelah. Apalagi hingga siang hari seperti ini mereka masih berada di luar rumah.

Iya, Shazia dan juga Shanum memang menghabiskan waktunya berdua hari ini. Dikarenakan suami mereka sama-sama tengah berada di luar kota. Tapi untuk tujuan yang berbeda. Jika suami Shanum pergi ke luar kota untuk meresmikan cabang perusahaan baru di kota itu, sementara Akbar sendiri ke luar kota untuk menghadiri sebuah resepsi pernikahan sahabat Fania.

"Di rumah aku juga sendiri, Mbak. Kalau sama Mbak kan jadi ada teman." Candanya.

Shazia hanya tersenyum. Ia sendiri aneh mengapa suaminya pergi untuk meresmikan cabang perusahaan tapi tidak mengajak istrinya. Tapi, tidak sedikitpun ia berani menanyakan hal itu pada Shanum.

"Ayo Mbak masuk. Kajiannya sebentar lagi akan dimulai." Ajak Shanum kemudian keduanya masuk ke dalam mesjid.

***

"Keikhlasan adalah salah satu kunci dari keselamatan dunia dan juga akhirat. Banyak orang yang menyepelekan perkara mudah dalam definisi tapi begitu sukar dalam pengalaman. Banyak orang yang mengatakan betapa pentingnya mengikhlaskan tapi tak mengerti apa makna dari ikhlas itu sendiri. Ikhlas tak hanya perkara menerima, tapi juga perkara memahami, memahami jika apapun yang terjadi adalah sebaik - baiknya hal yang pantas kita terima." Itulah sepenggal perkataan ustadzah yang membekas di memorinya bak kaset kusut.

"Sha." Shazia menoleh kala mendengar namanya di sebut.

"Ada apa, Mas?" tanya Shazia saat melihat Akbar tengah berdiri di hadapannya.

"Besok aku akan pergi ke Singapura selama satu bulan. Aku akan membuka cabang baru di sana. Apa kau ingin ikut?" Akbar kembali bertanya kemudian mengelus lembut pucuk kepala Shazia yang tertutup khimar.

"Satu bulan?" Bukannya menjawab. Justru Shazia kembali bertanya.

"Iya, satu bulan. Aku harap kau bisa ikut. Aku tidak ingin meninggalkanmu di sini sendirian dalam waktu lama," jawab Akbar kemudian berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan sang istri.

"Apa Fania akan ikut juga?" tanya Shazia terdengar berbisik.

Wajah Akbar tersenyum. "Tentu saja, aku akan mengajak kalian berdua," ucap Akbar.

Jantung Shazia berdetak begitu kencang. Pernyataan Akbar cukup merobek hatinya.

"Aku harap kau akan ikut. Aku tak ingin meninggalkanmu sendirian," ucap Akbar.

Shazia hanya menganggukkan kepalanya, sedetik kemudian, Akbar mendekapnya erat dan beberapa kali mengecup pucuk kepala Shazia.

"Kita akan berangkat besok dengan penerbangan pertama. Aku ingin kamu mempersiapkan semua keperluanmu, aku akan keluar sebentar."

Shazia mematung. Ia menatap kepergian Akbar dengan air mata.

Akbarnya berubah. Akbarnya bukan lagi pangeran impiannya.

Ajari Aku Memohon - TERBIT DI DREAMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang