Chapter 7

1.6K 69 2
                                    

Sejak keluar dari mobil Arga, Putri masih saja mencerna setiap kata yang meluncur dari mulut Arga. Ia merasa bingung dengan Arga, kenapa dia bisa berbicara seperti itu padanya?

Suara ponsel milik Putri terdengar jelas di telinganya. Ia pun langsung melihat dan segera mengangkatnya.

"Halo," sapa orang yang di seberang sana.

"Hm," jawab putri singkat.

"Gimana sekolahmu, Nak?"

"Sejak kapan anda peduli?"

"Kamu ini. Kenapa, si, tidak pernah ramah saat berbicara pada Papa? Selalu saja ketus."

"To the point!"

Terdengar helaan nafas berat dari seberang sana. "Aku sudah mengirim uang ke rekeningmu, Nak. Jadi kamu tidak perlu khawatir."

"Apa itu saja? Bahkan anda tidak benar-benar peduli dengan kabarku."

"Aku sedang banyak kerjaan, aku tak ingin berdebat denganmu. Aku tutup teleponnya."

Telepon benar-benar diputus begitu saja secara sepihak dari sang ayah. Putri kira, papanya itu ingin tahu kabar dirinya dan memutuskan ingin pulang ke rumah. Tapi dugaannya salah. Mungkin, itu hanya harapan semunya saja. Kenyataan bahwa papanya sendiri bahkan tidak peduli akan kabar dirinya saat ini.

Tak lama dari itu, ponselnya kembali berdering. Menandakan ada telepon dari seberang saja. Ia pun mulai menggeser tombol hijau untuk menerimany.

"Halo, sayang."

"Ya."

"Mama sudah mengirim uang ke rekeningmu, dan mama juga mengirim hadiah untukmu di dalam kotak pita warna biru. Nanti akan ada kurir yang mengantar ke rumahmu."

"Itu saja?"

"Iya sayang. Oh, iya, hari ini kerjaan mama sangat banyak. Maafin mama tidak bisa mengobrol lama di telepon, lain waktu mengabarimu lagi sayang."

"Mah ak ...."

Tut tut tut

Putri menghela nafasnya saat telepon lagi-lagi diputus secara sepihak. Dan dirinya pasrah kembali dengan keadaan yang ada.

Dua orang yang penting dalam hidupnya, menelepon di waktu yang bersamaan. Namun, mereka hanya mementingkan pekerjaan mereka masing-masing juga memberitahu dirinya soal uang yang mereka kirim.

Rasanya begitu sesak. Jika boleh egois, ia ingin sekali mereka menunda pekerjaan itu dan bertemu dengannya. Mengubunginya lewat telepon saja sangat jarang, bahkan dapat dihitung dengan jari. Enam bulan lamanya mereka tidak menghubungi atau pun mengirim pesan. Dan barusan, mereka baru saja menghubunginya lagi. Apa itu hal yang wajar antara hubungan orang tua dan anak?

Ia tahu, mereka sudah bercerai dan sibuk dengan urusan pekerjaan masing-masing, atau juga mungkin sudah saling memiliki pasangan. Tapi setidaknya, mereka ada keinginan untuk mengunjungi anak gadisnya ini sekali saja. Ia ini anak kandung mereka, bukan orang asing.

Bertahun-tahun menunggu kehadiran mereka, tapi apa yang didapat? Nol. Hanya sebuah keegoisan yang ada pada mereka. Orang tua yang memilih pekerjaan dibandingkan menjenguk anaknya sendiri.

"Biasanya juga gak pernah telepon kalo kirim uang." Putri bergumam kesal dengan menatap ponselnya.

Putri mulai merebahkan dirinya ke ranjang. Tapi baru saja ingin memejamkan mata, tiba-tiba ada suara pintu yang diketuk. Putri pun mulai menuruni anak tangga dan melihat siapa yang mengganggu waktunya saat ini.

Ketika pintu itu dibuka, ada seorang pria paruh baya yang membawa sebuah barang, sepertinya itu kurir yang dibilang mamanya tadi. Putri menerimanya dan tak lupa mengucapkan kata terima kasih kepada kurir tersebut.

Setelah pria kurir itu pergi, Putri mulai menutup pintu kembali dan langsung masuk ke kamarnya. Ia manutup pintu kamar dan melempar kotak itu di sofa begitu saja. Dirinya mulai merebahkan tubuhnya kembali ke ranjang, ingin meneruskan pejaman matanya yang tertunda tadi.

***

Sehabis mengantar Putri, Arga tak henti-hentinya tersenyum. Entah mengapa, hari ini menjadi awal hari yang bahagia untuknya.

Cintya, Ardian, dan Arsen yang sedang santai dengan televisi yang menyala, merasa heran dengan tingkah seorang Arga. Bagaimana bisa, seorang Arga yang terkenal cuek dan berwajah datar itu tiba-tiba jadi murah senyum seperti ini?

"Bang, lo sehat, kan?" tanya Arsen heran.

Arga hanya melirik Arsen sekilas. Ia mengabaikan ucapan Arsen begitu saja, dan dirinya langsung pergi menuju kamarnya.

"Pa, Ma ... kalian merasa aneh gak, si, sama bang Arga?"

"Abangmu itu emang aneh dari dulu, Sen."  Ardian menjawab seraya terkekeh.

"Hush, sembarangan kamu, Pa! Hari ini abangmu emang aneh, Dek. Tapi mungkin aja, dia abis kena rejeki nomplok."

"Bisa jadi, Ma. Atau jangan-jangan, abang lagi deket sama cewek. Ya, kan? Aku yakin banget, pasti." Arsen menjawab dengan nada yang antusias.

"Bagus, dong, kalo gitu. Berarti dia udah move on."

"Udah-udah. Barin aja, si, Arga yang lagi berbunga-bunga itu. Yang penting dia bahagia. Bukannya itu lebih baik, dibandingkan liat dia kaya di hari-hari biasanya?"

"Iya, Pa. Mama juga ikut seneng kalo Arga itu bahagia. Setidaknya, Arga gak lupa gimana caranya tersenyum. Mama jadi penasaran, siapa yang bisa buat dia bahagia seperti itu. Dan Mama juga yakin, pasti orangnya baik."

Ucapan Cintya langsung di angguki oleh Ardian dan Arsen. Seusai percakapan itu, mereka pun melanjutkan mengobrol di sertai candaan di dalamnya.

________


Terima kasih ❤

Cold Girl (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang