Chapter 16

1.3K 61 0
                                    

Putri, Vina, dan Keyla sudah berada di kafe yang lokasinya tidak jauh dari sekolah. Mereka duduk di sisi dekat kaca, dengan pesanan yang sudah tersedia di meja.

Mereka memilih untuk makan terlebih dahulu, baru setelah itu mulai bercerita.

Beberapa menit kemudian, mereka telah menghabiskan makanan tersebut. Hingga akhirnya, Putri memulai suatu pembicaraan.

"Gue mau cerita ke kalian soal keberadaan orang tua gue."

Vina yang mendengar itu langsung senang, dengan antusias ia menjawab. "Orang tua lo, kan, ke luar negeri. Apa mereka sekarang udah balik? Berarti kita bisa ketemu mereka, dong. Gue penasaran tau."

Keyla yang mengerti situasi pun, segera menegur Vina. "Vina, tolong diem dulu!"

"Iya-iya, maaf," sesal Vina pada Keyla dan Putri.

"Gue mau cerita ke kalian, tentang keadaan gue dan keluarga gue yang sebenernya. Sebelumnya, gue mau minta maaf ke kalian, kalo yang gue lakuin selama ini salah. Dan kalian, cukup dengerin apa yang gue bakal jelasin. Oke?" Vina dan Keyla pun menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

Mengalirlah cerita itu dari mulut Putri. Dari perceraian kedua orang tuanya, tentang dirinya yang sudah lama ditinggal sejak kecil oleh mereka, tentang bagaimana kehidupan yang ia jalani selama bertahun-tahun tanpa bimbingan dan kasih sayang kedua orang tuanya. Hingga air matanya mengalir begitu saja dengan deras, tanpa ada yang menghalangi.

Vina dan keyla yang mendengar hal itu pun, sangat prihatin dengan keadaan Putri. Mereka tidak pernah tahu, jika Putri yang terkenal dingin dan tak acuh itu ternyata memiliki masalah seberat ini. Mereka merasa bukan sahabat yang baik selama ini.

"Puput, maafin gue, ya. Gue bener-bener gak tau kalo lu punya masalah kaya gini." Vina berujar dengan air mata yang mengalir, juga nafas yang tersendat akibat cerita yang mampu membuatnya sesak.

"Iya, Put, maafin gue juga. Gue merasa bukan sahabat yang baik buat lo. Karena selama ini, gue gak pernah tau tentang lo dan keluarga lo," ujar Keyla seraya menitikan air mata dengan hidung yang sudah memerah.

"Ini bukan salah kalian, ini salah gue. Selama ini gue selalu bersembunyi tanpa mau berbagi keluh kesah ke kalian. Karena gue gak mau, kalo kalian ikut terbebani sama masalah gue."

"Put, dengerin gue, ya! Lo salah kalo berpikir kaya gitu. Gue sama Vina gak pernah ngerasa terbebani sama sekali. Justru kita berdua, akan berusaha selalu ada buat lo dan berada disisi lo. Gue akan seneng, kalo lo ingin berbagi keluh kesah ke kita. Selama ini, lo pinter nyembunyiin cerita apapun ke kita. Dan sekarang, jangan pernah ada yang di tutup-tutupin lagi, ya, di antara kita. Kita, kan, sahabat." Keyla mengungkapkannya dengan jelas pada Putri. Agar sahabatnya itu tak salah paham lagi dengan semuanya. Karena ia dan Vina, berusaha untuk selalu ada dan mengerti setiap cerita yang akan Putri ungkapkan nantinya. Mereka berdua ingin, jika Putri lebih terbuka pada mereka.

"Sahabat itu, selalu ada di saat susah maupun senang. Sahabat itu, yang menjatuhkan kita, tapi juga yang membuat kita bangkit lagi. Jadi gue mohon sama lo, jangan pernah ragu untuk cerita apapun masalah lo ke kita berdua. Karena gue sama Keyla, akan berusaha selalu ada buat lo. So, we are best friend's forever," ujar Vina dengan penuh semangat di akhir kalimatnya.

Dan kini mereka saling berpelukan. Menumpahkan segala beban dan air mata bersama. Tidak peduli dengan orang-orang di sekitar mereka yang melihatnya. Yang penting, mereka bahagia sekarang.

Putri benar-benar merasa lega, dengan bercerita dan menumpahkan segala beban yang ada pada dirinya pada kedua sahabatnya. Ia sangat beruntung mempunyai sahabat seperti Keyla dan Vina. Putri mengira, mereka akan menjauhinya saat tahu keadaan Putri dan keluarganya. Tapi ternyata salah, mereka tidak seperti itu. Justru mereka senang, ketika dirinya saat ini sudah mau lebih terbuka dengan mereka.

Selesai melepas pelukan itu, mereka saling menatap satu sama lain dan diakhiri dengan suara tawa bersama. Sekarang Putri tahu, bahwa mereka bukanlah teman yang palsu, melainkan benar-benar sahabat yang baik.

***

Arga telah sampai di kediamannya. Sehabis bermain basket, dirinya langsung melarikan diri ke kamar mandi, guna membersihkan tubuhnya yang bau keringat.

Seusai mandi, Arga memakai setelan santainya. Ia pun menuruni tangga menuju meja makan. Perutnya terasa sangat lapar sekarang.

"Ma." Arga menyapa Cintya yang tengah berkutat dengan sebua mixer di tangannya.

"Eh, Abang. Kamu makan aja, gih, kalo laper! Mama tanggung lagi buat kue."

"Arsen mana?"

"Oh, iya, mama lupa. Tolong panggilin, ya, Bang. Dia juga belum makan soalnya."

"Iya, Ma." Kemudian Arga pun pergi menuju kamar Arsen, yang berada di samping kamarnya.

"Dek, lo di dalem?" tanya Arga di depan pintu kamar Arsen.

"Iya, masuk aja, gak dikunci."

"Ngapain?"

"Ngerjain tugas makalah."

Arga pun menganggukkan kepalanya seraya menatap layar laptop yang menyala.

"Kita makan dulu, yuk! Nanti dilanjutin lagi tugasnya setelah makan."

"Oke, siap."

Mereka berdua pun turun menuju meja makan. Dan kini, mereka mulai melahap makanannya dengan penuh khidmat.

"Ma, gak makan?" tanya Arga di sela-sela suapannya.

"Mama udah makan tadi, udah kenyang. Kalian terusin aja makannya, gak usah khawatir soal Mama."

Arga pun hanya menganggukan kepalanya, dan melanjutkan kembali makannya yang tertunda.

***

Selesai makan Arga dan Arsen membereskan lauk pauk yang ada di meja makan dan mencuci wadah bekas mereka pakai.

Arsen pemit ke kamar kembali, guna melanjutkan tugasnya yang belum selesai. Sementara Arga, memilih diam seraya mengamati Cintya yang berkutat di depan oven.

"Ma."

"Kenapa, Bang?"

"Em, kalo aku bawa cewek ke sini, boleh?"

Cintya tak langsung menjawab, melainkan memperhatikan Arga dari bawah hingga ke atas, lalu menatap Arga seraya tersenyum dengan lebar. Tak lupa tangannya mendarat di pipi dengan sebuah cubitan gemas.

"Ma, kenapa pake dicubit coba?"

"Lucu, si, abisnya." Cintya berujar seraya terkekeh akan tingkah Arga.

"Aku gak ngelucu, Ma. Gimana dengan pertanyaan aku yang tadi menurut Mama?"

"Ya jelas boleh, lah, Bang. Lagian sejak kapan, si, Mama gak izinin kamu buat bawa cewek ke rumah ini? Selama perempuan itu baik, mama pasti izinin, dan dengan senang hati juga Mama menyambutnya. Emang, siapa namanya, Bang?"


"Ra-ha-si-a." Arga berujar seraya berbisik ke telinga Cintya. Kemudian kakinya pun melangkah pergi, menuju kamar kembali.

Cintya menggelengkan kepalanya seraya tersenyum geli, melihat tingkah putranya yang seperti itu.

"Ada aja tingkahnya kamu, Ga." Monolog Cintya, dengan tangan yang meraih kue di dalam oven yang sudah matang.

________

Terima kasih ❤

Cold Girl (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang