Chapter 40

1.2K 49 0
                                    

Putri tengah berkutat di dapur bersama bi Arum, asisten rumah tangga yang mengisi di kediaman Wijaya. Mereka kompak untuk melakukan masak-memasak. Bunyi suara wajan dengan spatula terdengar hingga ke ruang tengah. Di sana ada Wijaya, yang kini tengah menonton siaran berita, ditemani kopi juga camilan kering.

Beberapa saat kemudian, masakan buatan Putri dan bi Arum telah selesai. Mereka pun mulai menyiapkan semua di meja makan dengan tertata rapih.

"Pa, makan dulu sini! Udah jadi masakannya," teriak Putri dari arah dapur.

"Bi, makan bareng ya di sini, sama mang Ujang juga," ucap Putri kepada bi Arum.

"Aduh, Non, gak enak bibi sama Bapak. Masa saya sama Ujang makan di sini. Gak sopan atuh, Non," jawab bi Arum dengan tidak enak hati.

"Bi, aku gak pernah anggap kalian itu orang asing. kalian udah aku anggap keluarga. Selama aku dan papa sibuk, kan Bibi yang selalu bantuin bersihin rumah. Mang Ujang juga selalu setia anter jemput aku atau papa. Jadi anggep aja, ini tuh bonus di saat aku dan papa lagi libur. Sekarang, aku yang melayani kalian. Aku gak pernah mau membedakan satu sama yang lain. Kalian semua sama di mata aku," jelas Putri seraya tersenyum dengan lebar.

Wijaya masuk ke area dapur dengan bibir yang tersungging. Ia mendengar semua perkataan bi Arum dan Putri sejak tadi. Ia merasa terharu akan ucapan Putri yang begitu tulus.

Bi Arum bahkan sempat memberi pelukan untuk Putri, karena memang Putri sendiri yang memintanya. Ia juga merasa terharu akan sikap Putri terhadapnya. Karena anak majikannya itu, sangat baik juga perhatian.

Wijaya segera mempersilahkan bi Arum dan mang Ujang yang sudah datang, untuk segera menduduki bangku di area meja makan. Putri juga sudah duduk dengan rapi, seraya tangannya menyiapkan minum untuk semua yang ada di sana. Kini kebahagaiaannya datang kembali. Karena di rumahnya, sudah tidak kesepian lagi seperti dulu. Ia bisa bersenda gurau dengan papanya, bi Arum, juga mang Ujang, selaku supir yang selalu mengantarnya dan papanya.

***

Hari senin, sudah waktunya untuk melakukan kegiatan di luar rumah kembali. Seperti sekolah, kuliah, serta bekerja.

Kali ini Putri ada kelas pagi, tepatnya pada pukul 09:00 nanti. Jadi sekitar pukul 07:30 pagi ini, ia sudah siap-siap dengan rapi. Wijaya sudah berangkat sejak tadi pada saat pukul 06:00. Sehingga membuatnya menyantap sarapan itu sendiri.

Seusai sarapan, Putri menyimpan wadah di wastafel tanpa mencucinya. Ia pun bergegas berangkat ke kampus, menggunakan mobil miliknya.

Saat sampai di parkiran kampus, Putri turun dan langsung menuju perpustakaan lantai 2 gedung C. Saat sampai di sana, ia segera mengembalikan buku yang sempat ia pinjam sebelumnya. Baru saja keluar dari ruang perpustakaan, tiba-tiba saja ada yang tak sengaja menabraknya.

"Eh, maaf-maaf gak sengaja. Lo gak apa-apa?" ujar pria tersebut seraya mengucapkan kata maaf.

"Gak apa-apa, santai. Salah gue juga tadi, gak liat kalo ada orang di depan. Kalo gitu gue duluan, permisi." Belum sempat mendapat jawaban dari si pria tersebut, Putri langsung berjalan begitu saja, meninggalkan pria yang menabraknya barusan.

Ketika tubuh Putri menghilang dari pandangannya, pria itu pun tersenyum. Kemudian dirinya pergi menuju kelasnya.

***

"Halo, Tuan."

"Iya Tian?"

"Ada yang ingin bertemu dengan Tuan. Dia Dara, dari administrasi officer, ingin meminta tanda tangan Tuan. Apa diperbolehkan masuk?"

"Suruh masuk saja!"

Tian adalah sekretaris Arga juga kepercayaan Ardian di kantor ini. Beliau adalah sekretaris pak Ardian juga pada saat itu. Karena sekarang sudah diserahkan kepada putranya,  jadi Tian lah yang bertanggung jawab atas pekerjaan Arga.

Tok tok tok

"Permisi, Pak," ucap Dara dari balik pintu

"Masuk!"

"Mana?" tanya Arga tanpa berbasa-basi

"Ah, i-- ini, Pak." Dara berucap dengan nada yang gugup. Ia pun menyerahkan beberapa berkas ke hadapan Arga.

Bagaimana Dara tidak gugup, kalau yang ada dihadapannya itu putra pertama dari pemilik perusahaan ini, yakni Arga Marvelous Efendi. Dengan wajah yang tampan juga sikapnya yang tegas dan disiplin. Belum lagi, sikap dinginnya yang masih melekat dalam diri Arga. Hal itu, mampu membuat Dara ingin menatapnya lama.

"Selesai. Silahkan boleh keluar!" ujar Arga dengan tangan yang mengarah ke pintu.

Dara masih saja melamun menatap Arga dengan penuh minat, karena wajahnya yang tampan juga berwibawa. Terlebih tubuhnya yang begitu atletis.

"Ehem." Arga membuyarkan lamunan Dara. Karena karyawannya ini, masih saja menatapnya penuh minat. Hal itu dapat membuatnya jengah bukan main.

"Eh, m-- maaf, Pak, saya melamun. Apa sudah selesai?"

"Di sini kamu bekerja sebagai karyawan saya dan untuk perusahaan. Jangan seenak jidat melihat saya seperti itu atau kamu akan dikeluarkan dari kantor ini, paham!" Arga mengucapkan itu dengan sarkasme. Ia tidak peduli kalau Dara akan sakit hati nantinya.

"I-- iya, Pak. Saya minta maaf karena sudah lancang. Kalau begitu, saya permisi." Dara pun keluar dari ruangan milik Arga. Hidupnya akan terancam jika masih berada di sana.

Tok tok tok

Terdengar suara ketukan pintu milik ruangan Arga kembali. Ia pikir Dara lagi yang mengetuk, tapi ternyata bukan. Melainkan para sahabatnya, yakni Dion, David, dan Vino.

Arga yang tadinya ingin mengumpat, seketika lenyap karena melihat para sahabatnya datang ke kantor.

"Hey, how are you, bro?" ujar Dion dan Vino, seraya menghampiri meja Arga.

"Baik, gimana kabar kalian?" seraya menatap sahabatnya satu persatu.

"Baik, Ga. Kita pun selalu baik," jawab David seraya mendaratkan duduknya di sofa.

Mereka berbincang dengan penuh canda dan tawa. Karena sudah lama sekali mereka tak bercengkrama seperti ini.

"Kalian ke sini, emang gak sibuk?" tanya Arga penasaran.

"Ya elah, Ga, santai. Ini juga udah waktunya makan siang. Lo tuh harusnya keluar, ini masih aja sibuk sama tumpukan kertas. Di bawa enjoy kali kerja tuh." Vino menjawab dengan nada santainya seraya menatap Arga.

"Kebetulan gue sama Vino itu satu kantor. Kita ngebangun bisnis itu selama satu tahun ini, dan perkembangannya cukup pesat. Makanya gue santai aja sekarang, bos ini." Dion berujar dengan santai, sama seperti Vino. Memang dua anak itu belum ada berubahnya. Apapun dianggap santai oleh mereka.

"Lo, Dav, bukannya lo bilang lagi ada di Malang?"

"Iya, tapi gue sampe rumah semalem. Jadi, gue juga tadi pergi ke kantor."

Arga menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Dan mereka pun kembali berbincang, ditemani dengan makanan yang dipesan lewat online, yang memenuhi meja dihadapan mereka.

_______

Terima kasih ❤

Cold Girl (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang