Chapter 12

1.4K 67 0
                                        

Sehabis diantar oleh Arga, Putri langsung melarikan diri ke dalam kamar. Sejak tadi, ia merasakan pusing di kepalanya. Bahkan tadi sempat muntah-muntah ke kamar mandi.

Kini, ia tengah meringkuk di ranjang dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Keringat dingin keluar dan bercucuran melewati pelipisnya. Perutnya merasakan sakit, seperti ada yang menusuk-nusuk.

Tidak ada yang menolongnya saat ini. Karena di rumah ini, tidak ada yang menghuni selain Putri. Bi Inah saja, terpaksa harus berhenti bekerja. Lantaran anaknya yang masih sekolah dasar, masih butuh pengawasan ibunya. Jadi, mau tidak mau, Bi Inah harus berhenti bekerja di rumahnya.

Putri amat sangat berterima kasih sekali pada bi Inah, karena dia sudah mau merawatnya sejak kecil hingga sebesar ini. Bi Inah juga sempat meminta maaf padanya, karena tidak bisa merawat dan membantunya di rumah ini lagi.

Sejak tadi, ia bergumam meminta tolong dengan suara yang purau. Padahal ia tahu, bahwa tidak akan ada yang merespon ucapannya. Karena penghuni rumah ini hanya ada dirinya saja.

Putri meraih ponselnya dan mulai menghubungi seseorang.

"Halo."

"Mah, s-- sakit."

"Gak usah bercanda kamu. Kalo sakit, kan, tinggal minum obat."

"A-- aku butuh ma-- mah"

"Udah, deh, kamu jangan manja gitu. Mama lagi banyak urusan di sini. Sekarang mama mau pergi, jangan ganggu mama dulu. Minum obat sana!"

"Mah ...." Belum sempat putri meneruskan kata-katanya, sudah di putus secara sepihak begitu saja.

"Kenapa, si, dia gak peduli?" ujar Putri dengan nada yang lirih. Kemudian dirinya mulai menelepon seseorang kembali. Ia sungguh berharap, supaya telepon darinya ini diangkat dengan cepat.

"Halo." Sapa orang yang ada di seberang sana.

"S-- sakit." Putri berujar mengeluh, seraya memegang perutnya yang sakit.

"Kamu ini ngomong apa, si?"

"T-- tolong aku, Pa."

"Put, jangan drama dulu, ya. Papa masih banyak kerjaan di kantor. Dan kalo emang kamu sakit, langsung minum obat. Kalo emang sakitnya banget, pergi ke rumah sakit. Kalo butuh uang nanti Papa transfer. Papa tutup teleponnya."

Tut tut tut

Tanpa menunggu jawaban dari Putri, papanya langsung memutuskan telepon itu secara sepihak kembali.

Jujur saja Putri sangat kesal. Ia tidak habis pikir, orang tuanya tidak pernah peduli dengannya. Mereka hanya peduli soal uang dan kerjaan. Mungkin jika dirinya mati, mereka baru akan menyadarinya.

Putri memijat kepalanya, yang makin lama semakin pusing. Ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya, juga rasa sakit di hatinya. Karena tindakan kedua orang tuanya yang tidak peduli akan dirinya, yang kini terbaring lemah kesakitan di dalam kamar.

Pikirannya terus berkelana, teringat seseorang yang akhir-akhir ini selalu muncul dihadapannya. Entah mengapa, ia yakin jika seseorang itu dapat membantunya. Kemudian dirinya pun langsung menghubungi orang tersebut.

"Halo," jawab orang di seberang sana.

Putri menghela nafasnya lega, kala suara itu memenuhi pendengarannya.
"Halo."

"Lo kenapa? Kok suara lo lemes gitu?"

"T-- tolongin gue."

"Ok, gue on the way."

Cold Girl (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang