"There's a boy, his laugh always makes me smile, his arms always makes me warm, and i love everything about him, even things that he hate the most about himself."
Pukul delapan pagi, mba Hye Jin memberiku sebuah paket yang tidak tertera nama pengirimnya, hanya ada nama penerima juga alamat penerima yang tertera disebuah kertas putih yang tertempel disebuah kotak dengan banyak sekali ornamen indah tertempel disetiap sudutnya.
Tidak ada yang tau siapa pengirim paket misterius ini, tiba-tiba saja pihak hotel mengetuk pintu kamar kami pagi ini dan menyerahkan paket tersebut ketangan mba Hye Jin. Saat mba Hye Jin bertanya siapa pengirimnya, petugas hotel tersebut hanya menggelengkan kepalanya sambil berkata bahwa dia tidak tau apa-apa.
Aku membuka kotak tersebut hati-hati, ada perasaan janggal yang mengganjal dihatiku. Suara-suara ditelingaku berkata untuk tidak membukanya, namun logikaku berkata lain, hingga lenganku dengan otomatis terperintah untuk membuka paket tersebut.
Tidak ada yang aneh, layaknya paket pada umumnya, paket ini dikemas secara rapih dan apik. Bahkan tidak ada sedikitpun cacat pada paket tersebut, semakin heran dan penasaran, aku membuka paket itu dengan cepat, berharap ada sesuatu yang indah menungguku didalamnya.
Diluar dugaan, paket yang dikemas secara apik nan indah itu berisi hal yang sangat diluar espektasiku, sebuah tulisan berisi kata-kata kasar tertera dibalik penutup kotak hadiah tersebut sedangkan sebuah pisau dan tali tambang panjang terpajang didalam isinya. Aku tentu saja bisa menebak siapa pengirimnya.
Mba Hye Jin terlonjak kaget sesaat setelah melihat isi paketnya, belum lagi isi pesan yang tertera dilayar ponselku sesaat setelah aku membuka paket tersebut. Orang gila itu mengirimiku pesan setiap hari, bahkan setiap detik, rasanya dia tidak rela membiarkanku tenang barang semenit saja.
Aku mendecak keras, ingin rasanya berteriak sekencang-kencangnya sekarang, ayolah, ini sudah keterlaluan.
"Ra, jelasin semuanya, sejelas-jelasnya, jangan ada yang ditutup-tutupin lagi" mba Hye Jin memerintah dengan rahangnya yang sudah terlihat mengeras.
Aku menarik nafas dalam, berusaha menahan air mataku mati-matian, "geurae, lagipula aku udah gabisa nahan ini sendirian lagi" jawabku dengan nafas menderu.
"Semuanya bermula dari sebuah pesan singkat, isinya kata-kata makian, aku gatau dia siapa mba, bahkan aku gapernah tau dia dapet nomorku darimana, tiba-tiba dia maki-maki aku, nyuruh aku buat tinggalin Jimin, bilang aku gapantes buat Jimin, awalnya aku gapernah hirauin itu, i mean, aku tau itu resiko yang harus aku tanggung,"
"Tapi semakin aku diem, dia semakin menjadi, sampe satu titik dimana dia ngancem bakal hancurin hidup Jimin pake tangannya sendiri, aku mulai takut, mulai gatau harus apa, gatau harus gimana, i just don't know what to do, everything just too complicated, and it's too quick, i don't even know anything,"
"Jadi aku pikir mungkin memang aku harus tinggalin dia, karna kalo itu udah menyangkut dia, aku gabisa buat gabilang iya, but you know what mba? Semakin aku mau ngejauh, dia semakin ambil dunia aku, dia selalu buat aku berubah pikiran, dia buat pikiran aku punya dua sisi yang saling nentang, seakan-akan dia yakinin aku kalo semuanya bakal baik-baik aja, kalo dia bakal jagain aku terus, kalo kita bakal barengan terus, dan semuanya gaakan pernah ada yang berubah, and now i just don't know what to do mba, i'm too tired, i just want to take a rest, as simple as that, why this damn human makes it too hard for me?,"Jawabku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Could You Be Mine? [BTS FAN FICTION STORY] (END✔️)
Teen Fiction"Aku pikir, ini cinta, tapi ternyata setelah kuteliti lagi, ini hanya obsesi biasa. Memang ternyata, hubungan seorang penggemar dengan idolanya harusnya sejauh bintang dengan bumi saja, tidak perlu menjadi lebih dekat, seperti manusia dengan nadinya...