Twenty four

3.8K 129 5
                                    

Las Vegas.

Pria itu menutup laptopnya setelah meeting online berakhir dengan sangat baik dan dimeriahkan oleh suara tepuk tangan dari beberapa orang di seberang sana. Ia meregangkan ototnya, jam hampir menunjukkan tengah hari, dan udara di Las Vegas bulan ini terasa dingin, membuat orang-orang seperti dirinya merasa enggan untuk beranjak dari ranjang.

Terbukti dari dirinya yang melakukan meeting di dalam kamar tepatnya di atas ranjang pribadinya.

Niat awal ia akan kembali tidur, tetapi perutnya sama sekali tidak bersahabat kali ini, ia merasa sangat lapar. Tentu saja, dirinya baru saja bangun pukul setengah sebelas siang dan langsung melaksanakan meeting tanpa sarapan apapun, ditambah lambungnya terasa tidak nyaman sebab minum alkohol dalam keadaan perut kosong.

Bodoh sekali memang.

Akhirnya, ia beranjak dari kasur, melangkah ke dapur mencari sesuatu yang bisa ia makan di dalam kulkas. Namun, rupanya tak ada apa-apa di sana, hanya ada beberapa bahan mentah dan ia sangat malas untuk memasak.

Ya, seperti inilah jika orang kaya yang sok tidak mau memiliki seorang pembantu.

Ia lantas kembali ke kamar mengambil jaket tebal dan kunci mobil, ia akan mencari makanan saja daripada harus merepotkan diri untuk memasak.

Beberapa saat kemudian, ia telah tiba di salah satu resort kesukaannya selama dua bulan ini, ia melangkah masuk dengan langkahnya yang tegas, tak ada yang mengenalinya karena ia memang memakai masker hitam sebab udara dingin membuat hidungnya sedikit tidak nyaman.

"Poutine, Solyanksa, and Plokkfiskur. "

"What would you like to drink?"

"Matcha latte and warm mineral water."

"Well, the order will be made soon, please wait, sir."

Setelah memesan, ia membuka ponselnya dan ia baru menyadari seseorang mengirimkan dirinya satu foto serta satu video dan pesan singkat tadi malam. Astaga, ia baru ingat jika semalam ia sampai pulang dini hari karena sibuk berada di club.

Ia membukanya, dan seketika hatinya berdesir, ia tertegun dengan apa yang baru saja dilihatnya. Ia rindu, sangat rindu. Namun, ia merasa tak dapat melakukan apapun. Ia terlanjur terjerat dalam rasa bersalah, dan kekhawatiran hingga rasanya tak ada jalan untuk kembali.

Walau foto yang dikirimkan itu hanyalah foto punggung dan rambut seseorang di tepi jembatan, ia sudah merasa sedikit senang dapat melihat wanita itu. Jarinya beralih ke video yang belum ia buka, dengan gerakan pelan dan detak jantung yang berdebar, akhirnya ia membukanya.

"Sean."

"Kau ingat jembatan ini?"

Wanita dalam video itu terkekeh pelan.

"Semuanya ku pikir dimulai dari pertemuan awal kita di sini."

"Sangat lucu rasanya ketika mengingat perjumpaan kita yang sudah diawali dengan salah paham, bukan?"

"Kau tau?"

"Aku sangat malu mengatakan ini, walau tak ada dirimu di sini, tetap saja aku malu. Tapi, sepertinya aku harus mengakui, kalau aku sangat merindukanmu."

"Mungkin aku memang selalu marah jika kau berada di dekatku, tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri jika aku merasa sepi tanpa kehadiranmu, Sean."

"2 bulan telah berlalu, kau juga tak kunjung kembali. Awalnya ku pikir kau hanya pergi beberapa hari untuk alasan pekerjaan, dan aku sangat senang untuk itu karna tidak ada lagi yang menggangguku."

365 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang