Pria itu tampak berdiri di sana seorang diri, hanya dengan pikirannya yang terus melayang kepada satu wanita. Kedua matanya terlihat fokus menikmati pemandangan sungai Thames di malam hari dari atas The London Eye. Seolah menjadikan pemandangan indah itu sebagai bentuk pengalihan untuk pikirannya.
Anggap saja itu hanyalah harapan atau sekedar niat awal, karena pada akhirnya otaknya justru membuat dirinya membayangkan betapa romantisnya jika ia dapat membawa seseorang ke tempat ini.
Ponselnya kembali bergetar, ia lagi-lagi mengabaikannya, membiarkan panggilan hingga pesan-pesan dari Chris menumpuk begitu saja di sana.
"Kau pikir aku tak tau jika dirimu berada di tempat ini?"
Sean spontan menoleh ke arah sumber suara, melihat Chris yang telah berdiri dari posisi yang tak jauh dari dirinya.
"Lalu kenapa kau menghubungiku, bodoh?!"
"Jika tadi kau mau mengangkat telpon dariku, mungkin aku akan membiarkanmu sendiri di sini menikmati waktumu, tapi berhubung kau tak mengangkatnya, aku segera menghampirimu dan akan mengajakmu kembali ke hotel."
"Aku bukan anak kecil, kau tau?"
"Tapi emosimu bisa saja membuatmu seperti anak kecil, Sean. Siapa sangka jika kau nantinya akan terjun ke sungai itu?"
Mendengar celetukan yang terkesan ngawur dari Chris, Sean melirik tajam. "Aku tidak sebodoh itu, sialan!"
Keduanya kemudian diam, dengan posisi Chris yang saat ini sudah berada di samping kiri Sean, berdiri di sana dan ikut menikmati pemandangan malam yang indah ini.
"Aku akan kembali dua hari lagi, dan sebaiknya kau segera kembali besok," ucap Chris yang tidak merubah arah pandangnya. Sementara Sean, ia menoleh dengan dahi yang berkerut.
"Kenapa kita tidak kembali bersama?"
"Aku harus memastikan masalahku dengan Laura selesai terlebih dahulu, Sean. Orang tuanya masih saja mempersalahkan soal waktu yang sudah kuputuskan untuk menikah, mereka pikir itu terlalu lama."
"Lalu?"
"Aku harus bisa membujuk mereka, kau tau, kan? Aku bukan orang yang akan dengan mudahnya menikah, aku belum sepenuhnya siap dan sebenarnya Laura juga sangat mengerti akan hal itu."
Dengan helaan napas berat, Sean mengangguk menyetujuinya. Ia juga merasa kasihan pada Chris harus menikah di usia yang tidak ia inginkan. Namun, tanggungjawab tetaplah sesuatu yang harus dilakukan, bukan?
"Bagaimana dengan Anna?" celetuk Chris.
Sean berdecak kesal. "Kenapa kau terus menanyakan dia? Apa kau masih menyukainya?"
Mendengar hal itu, Chris mendadak tertawa lalu menepuk bahu Sean. "Kau cemburu padaku, bung? Ayolah, bahkan aku baru saja mengatakan pernikahanku dengan Laura, untuk apa kau cemburu?"
"Lalu mengapa kau terus membahasnya? Biarkan saja dia, aku benar-benar tidak perduli!"
Chris menyeringai. "Kau tau? Kau terlihat seperti seorang kekasih yang sedang merajuk."
"Berhentilah mengejekku dan urus saja masalahmu sendiri!" Sean lantas beranjak pergi meninggalkan Chris yang justru tertawa renyah di belakang sana, ia merasa lucu dengan tingkah Sean yang baru pertama kalinya merasakan cinta.
"Ini baru awal dari perjuangan, Sean. Bagaimana mungkin kau sudah merajuk hanya karna ditinggalkan selama seminggu?"
"AKU TIDAK MERAJUK, BRENGSEK!"
--
Penampilannya yang selalu terkesan rapi dan formal, kini tampak santai dengan balutan hoodie bewarna hitam polos, celana jens pendek bewarna putih, yang dipadukan dengan aksesoris seperti topi hingga kaca mata bewarna senada.
"Kau memakai sepatuku, Sean?"
Sean melirik ke arah Chris yang baru saja keluar dari mobil dan baru menyadari jika sepatu sneakers bewarna putih yang Sean pakai adalah miliknya..
"Aku hanya membawa satu sepatu kemarin, lagipula kau membawa lima pasang sepatu, kau bisa membelinya jika kurang!"
Tanpa menunggu balasan dari Chris, Sean bergegas pergi sembari membawa satu koper kecilnya.
"HATI-HATI, BUNG!"
Sean mengangkat satu tangannya sebagai jawaban, ia melanjutkan langkahnya untuk segera masuk ke dalam pesawat yang sebentar lagi akan membawanya kembali ke Washington. Lagi dan lagi ia terbang dengan suasana hati yang teramat buruk.
Sungguh, jika Anna sampai kembali, ia akan sangat marah dan tak mau bicara dengan wanita itu. Sean merasa dipermainkan, baru saja hubungan mereka mulai membaik, tiba-tiba ia ditinggalkan begitu saja bahkan tanpa alasan, tentu saja Sean tidak terima.
Hingga sesaat setelah perjalanan yang memakan waktu selama delapan jam tiga puluh menit dari London, Sean tiba di Washington. Ia saat ini berada di mobil bersama Lucas yang menjemputnya tadi, ia tiba di sana sore hari, membuat Sean merasa lelah dan segera ingin mandi lalu istirahat.
"Bagaimana masalah hotel? Semua aman?" tanya Sean.
"Semua aman, Tuan."
"Baguslah, lalu bagaimana dengan posisi yang kemarin sempat dikosongkan karena pengkhianat itu? Apa sudah ada gantinya?"
"Tentu saja, Tuan. Tuan tenang saja, aku dan Haris sudah mengurusnya dengan baik."
Sean mengangguk, merasa senang memiliki orang kepercayaan seperti Lucas yang selalu bisa diandalkan.
"Gajimu bulan ini ku naikkan!"
Kalimat yang sangat menggugah kebahagiaan seorang Lucas, inilah alasan ia lebih memilih bekerja dengan Sean daripada Chris. Ketika Sean bahagia, atau pekerjaan yang ditugaskan kepada seseorang berjalan lancar, ia tak sungkan menaikkan gaji siapapun.
"Terimakasih, Tuan. Kita sudah sampai, semua barang akan kubawa, anda masuk saja."
"Itu memang tugasmu sebagai asisten, tak perlu memintaku aku sudah akan melakukannya!"
Namun, itulah sisi buruk yang harus Lucas terima ketika bersama Sean. Sean memiliki kebiasaan mengucapkan apapun yang ada dipikirannya tanpa dipikirkan ulang, bahkan kalimat menyakitkan sekalipun.
Sean berjalan masuk, melepas kaca mata hitam dan topinya lalu merebahkan tubuhnya secara kasar ke ranjang sesaat dirinya telah tiba di kamar. Kedua matanya menatap langit-langit kamar, merindukan ocehan dan umpatan Anna yang sudah seminggu ini tak ia dengar.
Walau ia mencoba untuk tidak perduli, nyatanya hatinya selalu saja berbisik di mana keberadaan wanita itu dan sedang apa dia, ingin sekali Sean mencarinya tetapi, egonya melebihi apapun.
Sean duduk, menatap dirinya dari cermin besar yang terletak tepat di depan ranjangnya. Ia merasa dirinya sangat tampan, berkarisma, dan menawan, lantas apa yang membuat wanita seperti Anna tak luluh sedikitpun? Sean berdecak kesal.
Ia mulai berpikir akankah ia mencari wanita lain? Sepertinya itu bukan ide yang bagus, Sean tak mau terlihat seperti brengsek yang gemar bermain wanita layaknya Chris.
Baru saja ia akan kembali merebahkan tubuhnya untuk segera tidur, ponselnya berbunyi, ia melihat nama yang tertera di sana, alangkah terkejutnya Sean sesaat nomor ponsel Anna lah yang tengah menghubunginya.
Ia tertegun, masih dengan menatap nama itu lekat-lekat tanpa berkedip, seolah berpikir apakah ini hanyalah mimpi atau memang sebuah kenyataan.
"Oh ayolah, Sean. Ini bukan mimpi."
Ketika ia ingin mengangkatnya, tiba-tiba Sean teringat akan sesuatu. Bukankah ia sudah mengatakan pada dirinya sendiri akan mendiamkan wanita itu? Ya, Sean ingat. Ia lantas menjauhkan ponselnya dan membiarkan benda itu terus berbunyi berulang kali, anggap saja ia tengah berbesar ego.
"Ck, sialan! Sepertinya aku harus menjauh dari benda itu. Biarkan saja dia, aku tak akan perduli lagi!"
Akhirnya Sean beranjak pergi meninggalkan ponselnya di kamar. Ia berpikir lebih baik dirinya berolahraga di lantai paling atas yang di sana terdapat ruangan khusus untuk gym.
Setidaknya rasa lelah dari olahraga dapat membuatnya sedikit lupa akan Anna. Ya, mungkin saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
365 Days
Romance📍Series ke 3 Mrs. Charlotte . Ketika seorang wanita mengenal dua orang pria yang akan mengubah seluruh kehidupannya. Hingga ketika salah satu dari mereka berhasil mengubah prinsip seorang Nona Miller, tanpa disadari, itulah awal dari sebuah keburuk...