Twenty two

4.6K 155 7
                                    

Dua cangkir kopi tersaji di atas meja kaca tersebut, tak lupa dua batang rokok yang tersemat di antara jari telunjuk dan jari tengah kedua pria itu, membentuk kepulan asap yang melayang bebas di udara. Menikmati suasana pagi hari adalah kesenangan mereka, udara masih terasa segar dan sangat menenangkan.

"Bagaimana dengan orang tua Laura, Chris?"

"Laura sudah berhasil membujuk mereka."

"Lalu? Kau akan tetap menikah di bulan yang sudah kau tentukan sendiri?"

"Tentu."

"Kapan?"

"3 bulan lagi."

"What the--"

Sean hampir saja mengumpat, bagaimana bisa Chris meminta waktu selama 3 bulan sedangkan usia kehamilan Laura sekarang sudah menginjak 6 bulan?

"Apa kau gila?" tanya Sean.

"Ku rasa tidak."

"Chris, apa kau tak kasian dengan Laura yang nantinya lahir tanpa seorang suami? Ayolah, jangan bersikap egois, Chris. Sekarang aku tau kenapa orang tua Laura tidak menyetujui dengan waktu yang kau berikan, awalnya ku pikir waktu yang kau butuhkan hanya beberapa minggu saja, tapi apa ini? Ku rasa kau terlalu egois!"

"Kau tidak tau apa yang ku rasakan!" Chris tampak membuang sebatang rokoknya secara kasar, ekspresi wajahnya berubah dingin, ia tak suka disebut sebagai orang yang egois.

"Berhenti meminta semua orang untuk mengerti apa yang kau rasakan, Chris. Untuk saat ini pikirkanlah Laura, dia akan menjadi ibu dari anakmu sendiri, aku tak habis pikir kau akan setega ini dengannya," jeda Sean.

"Kau tau rasanya menahan malu? Apa kau tau rasanya menjadi orang tua Laura nanti? Disaat Laura berjuang untuk anak kalian, disaat orang tuanya berjuang mempertahankan nama baik dan harga diri putrinya, lalu kau apa? Kau hanya sibuk memikirkan dirimu yang tidak pernah siap dengan sesuatu yang serius. Jika seperti ini, sedari awal kau tak perlu menghamilinya dan tak usah mengaku mencintainya, semuanya terasa omong kosong sekarang!"

Sean beranjak masuk, mengambil sesuatu di kamarnya lalu kembali keluar. Namun, tidak untuk duduk di sana lagi, ia masuk ke dalam mobil dan melajukannya entah ke mana.

Satu hal, ia sangat kesal dengan keputusan Chris.

Ia mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota Washington yang masih tampak sepi pagi ini. Tangannya terulur untuk menghidupkan lagu yang ada di mobilnya, mendengarkan dan menikmatinya agar amarah di otaknya kembali redam.

Sean sama persis dengan Carolyn, Ibunya. Walau seolah terlihat acuh tidak perduli, hatinya sangat sensitif dan mudah merasakan apa yang orang lain rasakan. Itulah alasan ia tidak terima dengan keputusan Chris sekarang, ia merasa kasihan dengan Laura beserta orang tuanya.

Sementara Chris, ia turut menuruni sifat dari Ethan, Ayahnya. Terbilang egois, keras kepala, dan sulit mendengarkan nasihat dari orang di sekitarnya, apapun yang ia anggap benar, akan tetap dilakukannya. Jikapun sadar, itupun karena otaknya sendiri yang mendorongnya untuk berpikir lebih bijak.

Sean menghela napasnya pelan, ia membelokkan mobilnya ke kanan untuk menuju apartemen seseorang, ia rasa hanya orang tersebut yang mampu menenangkan dirinya saat ini.

Ya, Anna.

Sementara di tempat lain, tampak seorang wanita yang masih meringkuk di bawah selimut tebal dengan wajah damai nan polosnya. Kamarnya pun masih terlihat redup, lampu utama ia matikan, tirai jendela ia tutup rapat-rapat hingga sinar matahari tak akan mengganggu empunya.

365 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang