Thirty nine

3.3K 113 1
                                    

Pakaian warna hitam tampak mendominasi area itu, mereka mengelilingi sebuah kuburan yang baru saja selesai ditutup rapat. Hingga pada akhirnya, satu persatu dari mereka meninggalkan area tersebut, hanya menyisakan empat orang yang berada di sana.

Ethan, Carolyn, Laura, dan Anna.

Carolyn masih terus menangis sembari memeluk suaminya, Ethan berusaha tegar demi menenangkan istrinya walau tak dapat dipungkiri ia kemarahan memenuhi dirinya. Sama halnya dengan Laura, ia tampak menangis dalam diam, air matanya tak berhenti mengalir untuk menerima kenyataan ini.

Tentu saja ia bersedih, ia tengah mengandung anak dari Chris. Namun, Chris justru pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan mereka.

Sementara Anna, ia hanya terdiam di belakang mereka bertiga, ia tak berani membuka suara ataupun sekedar menenangkan, ia merasa takut dan bersalah atas kematian Chris.

Hingga ketika Ethan, Carolyn, dan Laura yang akhirnya meninggalkan pemakaman, kini tinggal lah Anna seorang diri. Ia maju, duduk di samping makam Chris dengan air matanya yang berhasil lolos.

"Maafkan aku, Chris."

Hanya kata itu yang mampu ia sampaikan sedari tadi, entah sudah berapa kali. Pikirannya berkecamuk, perasaannya begitu takut, semua terkumpul menjadi satu dalam diri Anna yang membuat wanita itu tak tahu harus berbuat apa jika semua sudah seperti ini.

"Sebentar lagi akan turun hujan, lebih baik kita pulang, nak."

Anna mendongak, melihat Robert yang berdiri di sampingnya. Anna lantas bangkit dari posisi duduknya lalu berhambur memeluk Robert.
Ia semakin menangis di sana, mengeratkan pelukannya pada ayahnya dan menumpahkan rasa tak nyaman di hatinya pada pria setengah baya itu.

"Berhenti merasa bersalah atas kejadian ini, ini bukan salah mu, Anna."

Tak ada sepatah kalimat pun yang Anna lontarkan atas ucapan ayahnya tersebut, lidahnya merasa kelu dan ia seakan hanya mampu menangis.

"Lebih baik kita pulang, okey?"

Anna melepaskan pelukannya, memberikan tatapan terluka kepada Robert.

"Apa maksud ayah?"

"Kita akan kembali ke LA."

Anna terdiam, apakah ia harus benar-benar kembali ke Los Angeles setelah semuanya seakan berakhir? Bahkan ia tidak tahu di mana Sean sekarang, pria itu tak hadir di dalam acara pemakaman Chris. Apakah Sean memang benar pergi? Pikir Anna.

"Ayo, nak!"

"Tidak, ayah. Masalahku belum sepenuhnya selesai, aku harus benar-benar menyelesaikan semua ini, aku tidak meninggalkannya begitu saja."

"Apa setelah semuanya selesai kau akan kembali ke LA?"

"Ya, aku akan kembali."

Robert menghela napasnya lalu tersenyum tipis sembari mengusap kepala putrinya.

"Baiklah kalau begitu."

--

Pesawat mulai lepas landas, meninggalkan Washington untuk menuju ke suatu tempat. Di dalamnya, tampak salah satu pria yang terdiam sembari memandang keluar dari balik jendela pesawat. Tatapannya kosong, ia terlihat melamun sedari tadi. Sesuatu begitu mengusik pikirannya, membuat kepalanya berisik walau sekitarnya terasa hening.

Berat.

Berat sekali meninggalkan tanah kelahirannya untuk waktu yang ia tidak tahu sampai kapan. Bukan hanya itu, hal utama yang membuat dirinya tersiksa atas kepergian ini adalah seseorang.

Seseorang yang sudah begitu ia cintai. Namun, mau bagaimana lagi, wanita itu sendiri yang memintanya pergi, Sean tak bisa melakukan apapun kecuali menurutinya.

Semua seolah berakhir dengan amat buruk, benar-benar jauh dari perkiraan Sean. Ia sangat tidak menyangka orang-orang yang ia sayangi justru memberikan luka terhadapnya.

Chris, seorang kakak yang selalu Sean banggakan dan ia jadikan contoh untuk menjadi jauh lebih baik lagi justru mengkhianati dan membohonginya. Walau tak dapat dipungkiri cara Sean juga salah, tak seharusnya dia menyelesaikan masalah ini dengan membunuh kakaknya sendiri.

Bagaimanapun juga mereka tetaplah saudara, dan Chris pastinya dulu selalu berbuat baik dan menjaga Sean, bukan?

Kedua, Anna. Wanita yang berhasil membuat Sean terpikat hingga benar-benar jatuh cinta. Baru kali ini Sean memperjuangkan wanita sampai seperti ini, bahkan dia rela membunuh kakaknya sendiri demi membela wanitanya. Namun, ia tak mendapatkan balasan baik dari Anna. Anna justru meminta Sean pergi seperti ini, sungguh ... Sean teramat kecewa dan begitu marah, hanya saja ia tak dapat melampiaskannya.

Sekarang, ia akan memulai kehidupannya yang baru di tempat yang baru pula. Ia akan meninggalkan semuanya bahkan orang tuanya sekalipun. Dari kejadian Chris, ia tak percaya pada siapapun.

Pasalnya Chris adalah orang yang paling dekat dengannya setelah Carolyn, tentu saja ia merasa trauma akan kejadian ini. Bagaimana bisa pria itu memperkosa kekasih dari adiknya sendiri? Sean tak habis pikir.

Ia kembali menghela napas, menunduk sebentar akhirnya ia memilih untuk memejamkan mata menyelami alam bawah sadar berharap semua ini hanyalah mimpi buruk belaka.

Di tempat lain, terlihat Anna yang baru saja tiba di mansion Sean. Pandangannya teralih pada halaman rumah itu yang sama sekali tak ada mobil atau kendaraan lainnya. Jantung Anna berdebar kencang, berharap pria itu tak benar-benar pergi.

Anna menekan tombol pintu berulang kali dan sebanyak mungkin, kedua matanya sudah tampak berkaca-kaca takut jika empunya memang sudah tak ada lagi di sini. Walau pintu tak kunjung di buka, ia terus menekan bahkan menggedor pintu tersebut.

"SEAN JANGAN JADI PENGECUT KELUARLAH!"

"SEAN--"

"Tuan sudah tidak ada!"

Suara itu spontan membuat Anna berbalik, memandang seorang pria yang entah datang dari mana dan sejak kapan. Namun, ia bisa melihat di depan gerbang sana ada mobil milik pria itu, seolah ia juga baru saja datang.

"Percuma anda memanggilnya, bahkan sampai suara anda hilang sekalipun dia tak akan keluar."

"Apa maksudmu, Lucas?"

Lucas terkekeh, entah apa yang membuatnya tertawa, kebodohan Anna? Ya, mungkin saja.

"Bukankah anda sendiri yang meminta tuan untuk pergi? Tentu saja sekarang dia sudah pergi, nona. Anda tau? Tuan pergi bukan hanya sekedar pergi, tapi ...."

"Menghilang untuk selamanya dari kita semua, bahkan aku tidak tau tuan ke mana!"

Tubuh Anna membeku, ia seolah tak mampu menggerakkannya, matanya tak berkedip, membuat tangisannya yang sempat ia tahan kini akhirnya berhasil lolos dari pelupuk mata indahnya.

Otaknya kembali mengingat semua kejadian tadi, terutama disaat ia membentak Sean dan meminta pria itu agar pergi dan jangan sampai datang ke dalam kehidupannya lagi. Anna benar-benar kalut akan amarah, hingga ia tak bisa berpikir dengan benar.

"Anda tidak perlu menangis, tuan sudah melakukan apa yang anda inginkan, bukan? Bersenang-senanglah, nikmati kepergiannya, setelah ini anda akan bebas, dan seharunya anda merasa bahagia akan hal itu!"

Lucas berbalik, beranjak pergi menggunakan mobilnya meninggalkan mansion beserta Anna yang hanya mampu terdiam dengan segala rasa penyesalannya.

Katakan, apakah dia begitu jahat? Apakah keputusannya untuk meminta Sean pergi adalah sebuah kesalahan yang tak dapat dimaafkan? Namun, ia sungguh tak berniat mengatakan hal tersebut, Anna tidak ingin Sean pergi, bahkan Anna ingin memeluk pria sekarang. Anna yakin Sean butuh seseorang untuk berada di sampingnya sekarang.

Namun, ia justru tak ada di sana dalam keadaan Sean yang seperti ini. Anna terduduk, mengusap wajahnya frustasi, berteriak, dan semakin mengeraskan tangisannya sebagai bentuk pelampiasan.

365 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang