Twenty seven

3.7K 129 2
                                    

Berbagai minuman dan camilan sudah tersedia di atas meja, sang empunya pun kini sudah membersihkan diri dan mengenakan kaos oblong bewarna putih dan celana hotpants. Rambutnya terikat asal, membuat beberapa anak rambut tampak berjatuhan bebas di area telinganya.

"Apa Sean membohongiku? Jika iya, sialan sekali. Berani-beraninya dia berbohong padaku, apa maksudnya?"

Merasa kesal, ia duduk di sofa dengan menyilangkan kedua kakinya kemudian mulai membuka camilan dan minuman yang memang sengaja ia beli. Ia memakannya dengan wajah tertekuk, ia tak akan memaafkan Sean kali ini.

Waktu sudah menjelang sore, dan Sean belum datang juga, Anna semakin yakin jika dia hanya dibohongi. Jika tau akan seperti ini, dirinya akan lebih memilih menemui sahabatnya yang hari ini ke Washington daripada menunggu Sean yang tidak jelas.

"Menyebalkan sekali!" Anna memasukkan keripik ketela secara kasar ke dalam mulutnya. Ia sudah menyiapkan beberapa makanan tetapi, Sean tidak datang. Bukankah ia sama saja dipermainkan?

Beberapa saat ketika ia telah menghabiskan sebungkus camilannya, Anna merasa mengantuk, dan ia yakin pria itu tak akan datang. Alhasil Anna merebahkan dirinya di sofa tersebut, pandangannya yang awalnya menatap layar televisi, kini perlahan terpejam.

Sementara di sisi lain, Sean mempercepat langkahnya ketika berada di area parkir. Sungguh, ia akan memarahi Chris jika Anna marah kepadanya karena terlambat. Bisa-bisanya ia menerima pekerjaan tak penting itu dan menyepelekan Anna? Sean merasa menyesal.

Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, tak perduli pada para pengendara lain yang bahkan sampai membunyikan klakson, yang terpenting baginya sekarang hanyalah Anna saja, tak ada lainnya.

"Semua karna mu, Chris. Shit!"

Entah sudah berapa banyak umpatan yang Sean layangkan pada saudara kembarnya itu. Rasanya ia tak merasa puas sebelum benar-benar bertemu dengan Chris lalu memakinya. Sebab, bagi Sean sekarang dan seterusnya, yang terpenting dan utama adalah Anna.

Sesampainya di apartemen, ia meminta kunci cadangan dari sang petugas untuk berjaga-jaga jika Anna mengunci pintunya karena marah. Tentu saja wanita itu marah, Sean merasa sangat yakin.

Benar saja, sesaat ia telah tiba di depan kamar tersebut, pintu itu dikunci, bahkan ia sampai menekan tombolnya berulang kali tetapi, tak dibuka oleh sang empunya. Sean lantas membuka pintu tersebut menggunakan kunci cadangan yang ia bawa.

"Anna maafkan--"

Sean tertegun, ia berhenti sejenak di ambang pintu kala melihat Anna yang meringkuk di sofa. Apakah wanita itu benar-benar tidur? Pikirnya. Sean kemudian masuk setelah menutup kembali pintunya.

Ia menghampiri Anna yang tidur pulas di sofa, perhatiannya berpindah pada beberapa makanan hingga minuman yang tersaji di atas meja. Anna membeli banyak makanan hanya untuk dirinya sendiri? Sean rasa tidak, ia berpikir jika Anna mempersiapkan semua itu untuk kedatangannya.

Namun, karena lelah menunggu, akhirnya Anna tidur, mungkin saja, pikir Sean yang hanya menebak-nebak.

"Anna?" Sean mengusap pelan rambut Anna yang terasa halus di tangannya. Dengan posisi yang masih berdiri, ia kembali mencoba membangunkan Anna tetapi, wanita itu tak kunjung bangun.

"Anna, bangunlah."

Lagi-lagi tak ada jawaban.

Sean menghela napasnya pelan, ia memutuskan untuk rebahan di ranjang Anna sembari menunggu wanita itu bangun. Dari posisinya sekarang ini, ia bisa memandangi wajah Anna yang tampak cantik alami ketika tidur, Sean sangat suka.

365 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang