Twenty nine

3.4K 120 7
                                    

Entah bagaimana Tuhan bisa menciptakan keindahan ini dengan begitu sempurna. Apa yang dilihat oleh mata mereka sekarang seolah tak ada satupun kecacatan, semua tampak sangat menakjubkan.

Akhirnya, setelah perjalanan yang begitu melelahkan, mereka berempat tiba di puncak bukit Pulau Padar. Keindahan yang disajikan di sana membuat rasa letih mereka terbayar sudah. Rasanya tak sia-sia, tak ada rasa penyesalan ketika tiba di tempat ini.

Di posisi mereka berdiri sekarang, bukit bukit yang berada di pulau ini juga berhadapan langsung dengan teluk laut yang begitu dalam. Iklim pulau yang kering dengan hamparan semak-semak dan padang rumput yang menyelimuti seluruh pulau di padang sabana luas ini.

"Kau menyukainya, Anna?"

"Yeah, ini sangat sempurna."

"Sama seperti dirimu."

Anna tertegun, tubuhnya membeku mendapatkan kalimat manis dari Sean. Ia menoleh, memandang Sean yang kini juga tengah memandangnya. Tatapan mereka bertemu, menelisik ke dalam hingga detak jantung keduanya berdegup seirama.

"Kenapa kau mengatakan itu, Sean?"

"Karna dirimu memang lah sempurna, Anna. Kau dan keindahan ini adalah dua hal yang membuatku takjub, entah bagaimana Tuhan merancang kalian hingga terlihat begitu sempurna, seolah tak ada hal buruk yang terlihat."

Anna menahan senyumnya, ia salah tingkah bukan main, bahkan dirinya dapat merasakan kedua pipinya yang terasa hangat. Sementara Sean, ia terkekeh pelan, menoleh ke belakang memberi kode pada Lintang dan Lucas untuk berpindah tempat, membiarkan dirinya berdua saja dengan Anna di sini.

Setelah kepergian mereka berdua, Sean dan Anna duduk, menikmati pemandangan sang surya yang akan segera tenggelam, membuat langit di atas sana tampak berubah menjadi warna jingga, benar-benar sangat indah.

"Anna?"

"Hm?"

"Apa kau masih tidak percaya padaku?"

"Tentang apa?"

"Perasaanku."

Anna terdiam, ia tak mengira Sean akan kembali membahas soal ini. Ia pikir dirinya dan Sean akan menikmati hubungan ini yang terus mengalir tanpa memikirkan soal status ataupun perasaan. Namun, rupanya Anna salah.

"Aku ingin mendapat jawaban, Anna."

"Aku tidak tau harus memberikan jawaban apa, aku tidak memiliki jawaban."

Sean menoleh, memandang Anna yang kini masih memandang ke arah teluk.

"Kau hanya cukup menjawabnya dengan iya atau tidak."

Kini giliran Anna yang menoleh, hingga tatapan mereka kembali bertemu. "Apakah penting untuk membicarakan perasaan? Bukankah hubungan kita sudah baik-baik saja? Untuk apa melibatkan perasaan, Sean?"

"Karna aku tidak pernah main-main akan hal ini, Anna. Aku ingin kau menjawabnya, apa kau percaya dengan perasaanku?"

Sebenarnya Anna ingin menjawab iya tetapi, ia rasa ini bukan saat yang tepat, ia masih ingin melihat sampai mana perjuangan Sean dalam membuktikan perasaan cintanya.

365 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang