Chapter 24 : Silly Me

3.6K 259 35
                                    

REGHA

Aku tak pernah menyangka kalau aku akan mengatakan ini, tapi ku akui kalau aku lebih suka dibentak-bentak oleh Zaki, daripada didiamkan seperti ini. Sudah hampir seminggu ini dia mengacuhkanku. Menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan nada singkat dan dingin. Menganggap aku yang berada dalam satu ruang dengannya seperti sebuah hiasan dinding yang tak bisa bicara. Lebih suka memintaku mengerjakan sesuatu dengan cara tertulis. Kalau aku mencoba bertanya kenapa, dia hanya akan memandangku dengan kesal, hingga aku yang semula ingin protes, hanya mampu mundur.

UGH!!!!!!

Suasana kerja dirumahnya jadi lebih menekan daripada biasanya. Bukannya dulu kami hangat atau kompak. Tapi setidaknya sebelum ini, dia masih mau ngomong langsung,, marah dan terkadang menyebutku dengan berbagai nama panggilan yang mengesalkan. Tapi suasana hening yang sekarang ini, justru terasa lebih menekan daripada suasana itu.

"Gue musti gimana coba Gi, Vi?" curhatku pada mereka saat rapat redaksi siang ini. Meski kuliah baru dimulai minggu depan, Mas Angga tak ingin kami ikut-ikutan santai. Tugas bulletin kami terus berjalan seperti biasanya.

"Lu juga sih Gha! Asal mengap aja! Masa sih lu bisa berpikir kalo Zaki bakal nyuruh lu masuk kerja, padahal dia tahu banget kalo lu sakit," gerutu Vivi. Aku jelas bengong tak percaya. Masa dia juga mau berpihak pada Zaki?!!

"Em!!" timpal Regi sembari mengganyang camilan yang dibawanya, "Kalo ikke pikir ya Nek, si Zaki tuh orangnya baek lho! Dia cuman gak bisa berekspresi normal kek kita orang."

"Maksud lo dia biasa berekspresi kayak iblis biasanya?" ganti aku yang sekarang ngedumel.

Regi cuman tertawa dan menepuk punggungku, "Rumpik!! Bukan itu maksud ikke. Tapi si Zaki tuh cuman tinta bisa aja bersikap manis. Orangnya ya emang gitu. Nyolot, ngeseli bin semaunya sendiri. Tapi kalo jij mau berpikir, diana tetep bermaksud baek kok. Contohnya aja saat dia kasih kesempatan jij but kerja di panti buat gantiin mobil dia yang rusak. Dia juga orang yang dengan relanya ngadain pesta ulang taon buat jij. Padahal jij udah panggil dia bule setengah jadi pengidap megalomaniak sinting akut. Terus kemaren, dia dengan pedulinya nungguin jij. Kalo dese jahat, gak mungkin kan dese mawar ngelakuin itu semua. Em?"

Aku ganti memandang Regi yang tadi, dengan lancarnya menguraikan dosa dan hutang budiku pada Zaki.

"Ampar?" tanya Regi bingung dengan reaksiku.

"Sebenernya lo temen siapa sih?!!" sentakku dongkol.

Regi dan Vivi cuman mesem mendengarku, "Nggak gitu Nekk. Ikke cuman ungkapin fakta yang mungkin jij gak sadari. Kalo Zaki tuh sebenernya baek, cuman kadang lu jij yang salah sikap, dan selalu memandang Zaki dari sisi negatifnya doang. Em?" ujar Regi membela diri.

"Iya kok Gha! Kalo kemaren si Zaki agak marah, itu karena seeakan-akan lo nuduh dia buat lu kerja rodi, meski lu dlam kondisi gak fit. Itu aja kok. Hanya salah paham," timpal Vivi.

"Terus gue mesti gimana?" tanyaku setelah diam beberapa saat, memutuskan untuk mengalah dan menerima usul dua manusia sinting didepanku ini.

"Ya lu ajak bicara dia aja," kata Vivi lagi.

"Gue kan udah bilang kalo dia gak mau ngomong ma gue Vi!" gerutuku.

"Ikke ada ide yang mungkin bisa bikin dia ngomong ma jij!" seru Regi dan jejingkrakan.

Aku mengangkat sebelah alis, curiga. Kalo Regi sudah seperti ini, biasanya, apapun idenya itu hanya memiliki satu ema, kehebohan! Tapi akhirnya memutuskan untuk mendengarkannya.

Kalau ditanya, apa pendapatku tentang ide Regi, jawabanku adalah, konyol! Rasanya nggak masuk akal dan mustahil berhasil. Sama sekali gak nyambung. Tapi aku sudah putus asa sekarang. Dan ide apapun akan kucoba. Jadi hari ini, saat hampir jam pulang seperti biasanya, aku menunggu-nunggu dengan cemas. Aku meraih hape ku, yang hanya selang beberapa detik kemudian berdering dengan nyaringnya.

Memoirs : The Triangle [ BoyXBoy] [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang