Epilogue

7.6K 250 84
                                    

ZAKI

Aku meneliti blue print yang diserahkan oleh arsitek yang ada didepanku dengan seksama. Aku memang sudah menyetujui rancangan baru panti jompo cabang Bali yang akan direnovasi awal bulan nanti. Setelah lima tahun beroperasi, kami memutuskan untuk menambahkan beberapa fasilitas. Selain itu, ada beberapa rekan kerja baru yang bergabung dengan kami. Jadi gedung staff juga perlu mendapatkan penambahan.
Agus yang merekomendasikan kontraktor yang kami sewa. Arsiteknya yang bernama Dava ini cukup brilliant. Dia tidak hanya menambahkan gedung baru. Dia juga menambahkan dan memperbaiki beberapa detil landscape kami yang dia bilang, masih kurang ‘Bali’. Dia ingin menggabungkan fasilitas modern kami dengan budaya asli Bali. Bukan usul yang jelek. Apalagi dengan adanya beberapa member baru kami dari Australia yang memang ingin panti cabang Bali ini lebih bernuansa Bali.
“Jadi berapa lama pastinya?” tanyaku tanpa mengangkat muka.
“Maksimal 3 bulan akan sudah selesai, Pak,” jawab Dava dengan pasti. Dia menoleh ke arah pantai saat mendengar pekik anak kecil. Istri dan anaknya sedang bermain disana.
“Maaf kalau aku meminta bertemu pada saat seperti ini. Aku mengganggu acara liburanmu,” kataku dengan nada menyesal. Tapi memang hanya hari ini waktu yang kami punya. Aku dan Regha punya banyak hal yang harus kami urus. Besok kami akan terbang ke Bandung.
“Tidak apa-apa, Pak. Sudah tugas saya…”
Aku tersenyum, “Still, I should say it. And…..” aku menghentikan kalimatku saat melihat Regha yang baru masuk dari lobby hotel. Aku segera melambai padanya yang melangkah mendekat dengan membawa beberapa bungkusan. Tadi dia pamit untuk membeli beberapa pesanan Asti dan Agus, “Udah dapet?” tanyaku padanya yang mendekati kami.
“Udah. Tinggal sarung bali aja yang……”
“WAIT!!!” seruku saat ayunan tas yang dia bawa terlalu dekat dengan meja disamping kami yang diatasnya terdapat beberapa botol minuman bekas orang. Terlambat! Tas yang dibawanya menyenggol benda itu dan segera saja terdengar suara gaduh saat botol-botol itu jatuh dan pecah.
Untuk sesaat Regha berdiri bengong dan kemudian nyengir dengan muka menyesal, “Sorry…” bisiknya lemah. Seorang staff hotel segera mendekat dan membersihkan lokasi.
“Kapan kau akan sembuh dari sifat cerobohmu itu?” gerutuku yang hanya dia jawab dengan juluran lidah. Ku kira setelah hampir 7 tahun kami bersama, dia akan menjadi pribadi lain yang lebih baik. Well, in a way, he is actually. Setidaknya cara dia berbicara dan berpakaian sudah lebih baik. Tapi untuk beberapa hal, dia masih Regha yang dulu.
“Guess somethings remain the same,” selorohnya dan duduk di sebelahku.
Aku mendengus dan melirik ke sekumpulan tas yang dia letakkan di sebelahnya, “Do you have something for me?”
“Tadinya. Tapi berhubung tadi kau memanggilku ceroboh, aku akan memakainya sendiri,” selorohnya dan tersenyum santai saat mendengarku menggeram, “Kidding! Aku menemukan kaos pantai couple yang bisa kita pakai nanti.”
Aku tersenyum meraih tangan kanannya. Dimana cincin pertunangan kami dia pakai. Entah kenapa, aku senang mengusap jari manisnya dimana cincin itu tersemat. Aku selalu melakukannya dimanapun aku bisa. Kecuali saat kami berada di Bandung.
“Eeeuuhh, Zake? You do realize we got company, right?” protesnya dengan sudut bibir dan melirik kearah Dava.
“Dava, I want you to meet Regha,” kataku dan memperkenalkan mereka. Regha menarik lepas tangannya untuk bersalaman dengan Dava. Aku bisa melihat tatapan pria itu yang menyiratkan rasa ingin tahu yang besar, “He’s my partner,” jelasku lagi.
Lagi-lagi dia tercenung dan hanya mengangguk.
“Kau………..tidak bermasalah meski harus bekerja untuk kami yang gay bukan?” tanyaku langsung. Kalau memang dia keberatan, aku akan langsung mencari perusahaan lain.
“Oh, tidak!” sahutnya cepat dan menawarkan senyumnya yang terlihat sedikit gugup, “Kehidupan pribadi Bapak tidak ada sangkut pautnya dengan bisnis kita.”
Aku tersenyum untuk menenangkannya.
“Maaf, tapi sudah lama anda bersama?” tanya Dava lagi.
“Sekitar tujuh tahun. Kami akan menikah di Australia minggu depan,” kataku lugas. Keterus teranganku bukan hanya membuat Dava tertegun, tapi juga mengejutkan Regha. Dia menatapku kaget. Selama ini, kami berdua sudah setuju untuk menyembunyikan apapun urusan pribadi kami dari mata masyarakat luar. Terutama mereka yang ada di Indonesia. Aku masih harus melindungi Regha dan keluarganya.
“Ki…?” tegur Regha mencoba memperingatkanku.
“Relax. He’s gay too. Or at least, he was karena dia sudah menikah dan memiliki anak,” kataku sembari menunjuk keluarga Dava yang bermain dengan daguku, “Bukankah begitu, Dava?” tanyaku santai.
“Zake!!” tegur Regha meski matanya terbelalak dan memperhatikan Dava dengan tatapan ingin tahu. Wajah pria didepanku berubah pucat. Tubuhnya segera kaku dan defensive.
“Kenapa…Bapak bisa berkata seperti..”
“Kita berada kurang dari setengah jam disini. Tapi kau sudah melihat dan memperhatikan dadaku setidaknya 5 kali. Dan juga selakanganku for at least ten times. Lebih banyak daripada kau melihat kearah istri dan anakmu yang sedang bermain di pantai. I’m a businessman Dava. I read people  to win. Kau nyaris menelanjangiku dengan matamu tadi. Jadi aku membuatnya mudah untukmu. Yes, I’m gay. But I’m not interested with you. I’m about to married.”
“Maaf, pak. Saya tidak bermaksud untuk kurang ajar atau…”
Aku sudah mengangkat tangan untuk menghentikannya, “Aku hanya ingin memberi sedikit preview padamu tentang bagaimana berurusan denganku. I don’t deal with bullshit. I don’t take crap. So don’t you dare trying.”
Ku lihat dia menelan ludah sejenak. Bagus. Aku sudah mendapat perhatiannya sekarang. Dan dia bisa berhenti omong kosong didepanku.
“Baik, Pak. Saya mengerti,” ujarnya dengan nada lemah.
“Bagus! Saranku, lain kali berhati-hatilah. Kau tentu tak ingin mereka tau,” ujarku lagi dan menunjuk keluarganya dengan daguku.
Dava mengangguk setelah terdiam beberapa saat lamanya, “Terimakasih, Pak. Tapi maaf, apakah sejelas itu?” tanyanya lagi. Aku bisa menangkap sedikit ketakutannya.
“Jadi benar?” sergah Regha yang sedari tadi diam. Aku langsung meliriknya tajam, “What? You brought it up,” kilahnya.
Dava tersenyum melihat kami, “Tidak apa-apa. Saya……pernah memiliki hubungan dengan seseorang disini. Satu-satunya pria yang pernah saya pacari…”
Regha ternganga tapi segera sadar dan menutup mulutnya, “Kita harus mengobrol setelah meeting kalian usai. Kalau kau tidak keberatan,” ujarnya bersemangat. Akhir-akhir ini dia memang memiliki keingintahuan yang besar akan pengalaman seseorang yang pernah terlibat di dunia gay. Dia bahkan menjadi member di sebuah forum gay Indonesia. Tentu saja dengan menggunakan nama samaran. Dia juga memberiku beberapa cerita yang dimuat dalam forum itu. Sebagian bagus. Meski sebagian lain terlalu drama bagiku.
Kebiasaannya itu dulu sempat membuatku khawatir. Bagiku, Regha seakan-akan berusaha mencari petunjuk dan dukungan untuk menjauh. Pertama kali, aku mengkonfrontasinya dan mengajukan berbagai argument. Hanya karena aku takut kehilangan dia. Kami sempat bertengkar. Salah satu pertengkaran terhebat yang pernah kami alami selama kami bersama.
Namun Regha mengatakan bahwa dengan mengunjungi forum itu, dia tahu, bahwa dia bukan satu-satunya orang di Indonesia ini yang jatuh cinta dengan sesama jenis. Forum itu membuatnya sedikit merasa lebih baik dan tidak sendiri. Tidak merasa menjadi satu-satunya orang aneh. Aneh karena dia tidak bisa lepas dariku. Forum itu memberinya sedikit kelegaan. Meski itu tidak mutlak.
Aku tahu kalau selama ini dia selalu bergelut dengan dirinya sendiri. Fakta bahwa gay masih dianggap tabu dan cacat di Negara ini selalu menjadi beban baginya. Ajaran, adat, hukum agama dan sosial disini masih menghramkannya. Dan Regha terus berusaha berdamai dengan satu sisi dirinya yang masih menjadi bagian Negara dan adat disini. Satu sisi dirinya yang terluka akan pandangan mereka. Satu sisi dirinya yang tak bisa ku obati. Menyakitkan tiap kali aku melihatnya kembali terluka saat kami harus bersembunyi seperti pencuri. Dari masyarakat umum. Dan yang paling menyakitinya, dari keluarganya.
Hingga kini, tak ada seorangpun keluarganya yang tahu. Dan kami berusaha menjaganya seperti itu. Bukan untuk kami. Tapi untuk mereka. Apalagi sejak Abah meninggal 1 tahun yang lalu. Regha menjadi lebih sensitif dan paranoid kalau berurusan dengan keluarganya. Aku berusaha mengikuti dan memahami. Tapi saat dia berbicara tentang forum itu, aku ketakutan.
Aku takut dia akan menemukan alasan untuk tidak bersamaku lagi. Alasan untuk bisa bertahan tanpaku. Apalagi saat dia mengatkan bahwa beberapa orang di forum itu juga menikah secara normal.
Aku meledak!
Hingga dia mengatakan dengan jelas, bahwa dia tak akan meninggalkanku. Bahwa dia hanya ingin mencari sedikit ketenangan.
Akupun akhirnya mengakui dan menjelaskan akan ketakutanku padanya. Bayangan kalau dia meninggalkanku benar-benar tak tertahankan. Selama ini, meski dia menganggapku sebagai pihak yang selalu kuat, sedikit banyak aku bergantung padanya.
Bersama Regha, aku menjadi sosok yang lebih baik. Bersamanya, aku selalu ingin menjadi seseorang yang kuat, dan bisa dia andalkan. Bersamanya aku merasa kalau aku bisa melakukan segalanya. Aku harus bisa melakukan segalanya. Bukan hanya untukku. Tapi juga untuknya. Aku ingin menjadi orang yang bisa memecahkan dan menghilangkan semua masalahnya. Aku ingin menjadi satu-satunya orang yang tempatnya bersandar. Yang dia harapkan. Dan yang dia inginkan. Bersamanya, seakan-akan tak ada limit bagiku. Bersamanya, aku kuat. Dia jangkar yang membuatku bisa tenang. Dia mungkin mengira aku akulah pihak yang menguatkannya. Dia tidak tahu bahwa pada kenyataannya, justru dialah yang membuatku kuat. He make the best out of me.
Dan setelah pertengkaran itu, setelah semua kami tumpahkan dan dia menjelaskan alasannya, aku melamarnya. Aku meminta Regha untuk mengikat dirinya padaku dalam sebuah janji hidup bersama. Dalam sebuah sumpah pernikahan. Sumpah yang bisa meyakinkan dan menangkanku dari ketakutan bahwa dia berusaha lepas dariku. Bahkan jika kami masih harus merahasiakannya di Indonesia ini. Tapi di luar sana, jauh dari mata keluarganya, aku ingin dia memiliki ikatan permanen denganku.
Dan dia setuju.
Akupun tenang dan membiarkannya dengan forum itu. Aku bahkan membaca beberapa cerita yang dia ambil dari sana. Dan dia paling suka cerita dengan tokoh straight yang entah bagaimana, akhirnya jatuh cinta pada sesame jenis. Jadi saat dia tahu Dava adalah salah satu contoh hidup, dia langsung antusias seperti itu.
Meski aku membiarkannya, bukan berarti aku suka. Apalagi Dava adalah pria yang cukup menarik. Pembawaannya yang terlihat cukup tenang dan matang menjadi ancaman samar yang tak ku sukai. Wajahnya yang mungkin bisa dibilang jantan terlihat bersih. Dan kalau saja dia tidak memperhatikanku dengan matanya, aku mungkin tak akan tahu kalau dia gay. Dia benar-benar terlihat seperti lelaki normal.
“Tentu saja. Tapi mungkin………saya harus mengantar keluarga saya pulang dulu. Karena…” Dava tampak sedikit ragu.
“Ah ya, tentu. Tapi berjanjilah kalau kita bisa ngobrol sembari makan atau minum nantinya. Besok siang kami harus kembali ke Bandung. Ya kan?” tanya Regha padaku untuk memastikan. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan singkat.
“Baiklah. Bagaimana kalau jam 5 sore nanti saya kembali ke sini?”
“Sounds great,” jawabku yang segera dianggukkan oleh Regha. Tak berapa lama, Dava sudah berpamitan untuk kembali bersama keluarganya. Aku hanya mempersilahkannya dan memperhatikannya yang berjalan menjauh dengan langkah pelannya.
“I have no idea that he’s like us..”
“Dia masih mencintai siapapun pria yang dulu dicintainya itu…” kataku dan bangkit sembari mengambil beberapa barang yang Regha bawa tadi. Aku menyadarinya sekarang. Tatapan Dava yang sedikit melamun saat melihatku dan Regha, menunjukkan hal itu. Cara dia memperhatikan kami seakan-akan dia melihat sebuah mimpi yang dulu pernah dia miliki. Aku mengerti kalau dia membayangkan bahwa dia sedang melihat dirinya bersama pria yang dulu dicintainya saat melihatku dan Regha.
“Kenapa begitu?” tanya Regha yang segera mengikutiku.
“Tatapannya saat melihat kita nyaris seperti orang yang bermimpi. It’s like he’s not seeing us. But seeing himself with his boyfriend. If you ask me, menurutku dia memiliki urusan yang belum tuntas dengan mantannya. Apapun itu. He’s holding on to it,” kataku dan masuk ke kamar kami. Kuletakkan bungkusan Regha tadi di atas tempat tidur dan langsung menuju balkon hotel.
Aku duduk disana, setengah berbaring di kursi malas panjang berlapis busa tebal dan empuk, menikmati hembusan angin pantai. Dari tingkat dua ini, aku masih bisa mendengar suara orang-orang di pantai yang terbawa angin. Malah sayup-sayup aku bisa mendengar teriakan anak Dava yang memanggilnya dengan keras.
“Menyedihkan ya…” ujar Regha yang menyusulku. Dia langsung saja duduk dan menyusupkan dirinya diantara kedua kakiku. Bersandar di dadaku dengan santai dan menghela nafas. Kupeluk perutnya, lalu memberinya ciuman sekilas di sisi keningnya.
“Salah satu alasan lain aku bersyukur karena memilikimu…” kataku pelan.
Regha menelengkan kepalanya sejenak untuk melihatku. Dia tersenyum dan kemudian mencium rahangku dengan suara cipokan keras sembari tertawa kecil, “Aku juga bersyukur memilikimu…” balasnya nyengir.
“You’re okay with me, aren’t you?” tanyaku.
“Maksudnya?” tanya Regha tak mengerti. Dia kembali menyandarkan kepalanya dibahuku dan memandang ke hamparan laut dan langit diluar sana.
“Aku memintamu untuk menikah denganku. Tapi itupun tidak bisa dibilang dalam artian yang selama ini kau tahu. Kau masih harus menyembunyikan semuanya dari Mamah dan yang lain. Apakah itu cukup bagimu? Have I given you enough?”
“Bukannya pertanyaan itu seharusnya ku ajukan padamu?” tanya Regha balik setelah menghela nafas panjang, “Aku menyembunyikanmu seakan-akan aku malu. Seakan-akan kau adalah sebuah aib yang harus ku tutupi. Apakah itu cukup bagimu?”
“Apa kau malu denganku?”
Dia tertawa kecil dan meraih tangan kananku. Dia mencium telapakku dengan lembut untuk kemudian dia usapkan dipipinya, “Sebenarnya aku ingin memamerkanmu pada semua orang. Aku ingin meneriakkan pada semua orang bahwa kau, milikku. Aku ingin mereka semua tahu agar tak ada lagi yang melihatmu dengan tatapan lapar. Terutama wanita-wanita bebal yang berpikir dia bisa menjadikanmu sugar daddy mereka. I hate them all!!” gerutunya membuatku tergelak. Masih ingat akan pertemuan bisnisku di Singapura beberapa waktu yang lalu. Ada beberapa orang wanita yang nyata-nyata menunjukkan ketertarikannya padaku. Salah satu dari mereka malah membisikkan no kamar hotelnya saat kami berdansa. Regha dengan kesal mendekat, menyela kami dan menarik tanganku.
“Aku suka saat kau cemburu…” godaku dan kembali mencium sisi wajahnya dan memberinya sedikit gigitan di telinga.
“Mungkin aku harus memberi tulisan di keningmu yang berbunyi, ‘private property of Regha. BACK OFF’ dengan tinta permanen.’
“Yeah, right. Dan aku tidak akan terlihat konyol karenanya,” selorohku dengan nada sarkas.
Regha tak menjawab. Dia hanya memiringkan tubuhnya. Menyurukkan wajahnya diantara leher dan bahu kiriku, sementara tangan kanannya bergerak perlahan mengusap dadaku. Salah satu hal yang sangat suka dilakukannya. Apalagi saat kami menjelang tidur. Meski aku protes beberapa kali karena kadang dia juga mempermainkan puting dadaku, yang justru membuatku sulit tertidur gara-gara geli dan malah horny.
“Maaf, aku tak bisa berteriak keras, memberitahu semua orang yang ada di Indonesia ini, bahwa kau milikku. Tak ada satu halpun yang membuatku malu. Kau tahu kalau hanya Mamah, Asti dan Agus lah yang menjadi alasanku. “
“Kau tak menyesal memilih hidup dalam ‘dosa’ ini bersamaku?” tanyaku lagi.
“Kalau ini memang dosa, aku tak sendiri kan? Aku memilikimu bersamaku kan? You’re not gonna leave me, are you?”
Aku meraih tangan kanannya, menyatukan jemarinya dengan jemari tangan kiriku. Tanganku kembali mengusap cincin yang melingkar di jari manisnya, “Not as long as I live,” bisikku dan mencium jemarinya yang dihiasi cincin pertunangan kami itu.
Regha lalu menegakkan dirinya. Dia menyilangkan kedua kakinya hingga kini dia menduduki perutku. Satu tangannya terulur mengusap pipiku, “Kalau begitu sudah cukup. Itu sudah cukup bagiku,” bisik Regha dan kemudian mencium leherku, “Kita akan membuat dunia kecil kita sendiri dalam luasnya dunia ini. Our own world, dimana kita bebas dari tudingan dan penghakiman manusia lain. Dimana kita hanyalah dua orang yang hidup dalam sebuah ikatan sakral pernikahan, seperti mereka yang menyebut diri mereka normal. Dunia kita sendiri. Kebahagiaan kita.”
Aku melingkarkan kedua tanganku dibelakang pinggangnya, “Our own little world…” bisikku pelan. Kalimat itu terdengar begitu magical ditelingaku. Aku suka bagaimana kalimat tadi terucap dari lidahku, “I like that…”
Regha tersenyum, “I do too…”
Lucunya, saat itulah aku teringat akan Dava dan keluarganya tadi. Entah kenapa, aku membayangkan kalau mereka sudah memilikinya. Aku ingin seperti itu. Seperti Dava memiliki dunia sendiri. Meski aku tak menginginkan kegetiran yang dia rasakan. Tapi dunia kecil seperti dia yang ku inginkan. Hanya saja, akan kupastikan, duniaku akan lebih indah dan hangat. Membuatku tak mampu menahan senyumku.
“Apa?” tanya Regha heran.
“Bagaimana pendapatmu tentang seorang anak?”
Butuh waktu sejenak bagi Regha untuk memahami apa yang ku katakan. Begitu dia paham, bola matanya langsung saja membesar, “Anak?” sergahnya terperangah.
Aku mengangguk sigap, “Anak…” ulangku mantap.
“Adopsi..?”
Aku menggeleng, “I’m thinking about surrogate mother. Mommy pernah menyarankannya padaku. Dan kurasa itu ide bagus. Taruhan, Mommy akan langsung berburu kandidat terbaik begitu aku meyebutkannya,” ujarku dan nyengir.
“Surrogate mother?”
“Yes! Kita bisa memiliki dua kalau kau mau. Satu dariku. Dan satu darimu. More if you want to. I don’t mind 3 or  4 kids. That’s gonna be awesome!!!”
“Me-menurutmu ki-kita si-siap?” tanya Regha sedikit tergagap.
“Well, I am!” jawabku. Aku lalu merangkum wajahnya, menariknya untuk mendekat dan mencium bibirnya, “Aku ingin memiliki keluarga dalam artian yang sebenarnya denganmu. Membesarkan anak-anak kita bersama. Growing old together. Isn’t that what a marriage is?”
Regha masih terperangah. Dia lalu bangkit dari tubuhku dengan wajah panik, “Ya Tuhan. Ini nyata …. This is real…! We’re really gonna do it, aren’t we? Anak…” dia berjalan ke kamar dan mondar mandir dengan kedua tangan menutup mulutnya.
“Regha?” panggilku yang sudah mengikutinya ke dalam dengan cemas.
“Anak kita…” gumamnya dia lalu berhenti dan menatapku dengan takjub.
Aku mengangguk padanya, “Anak kita…” ulangku.
Diam sejenak. Dia lalu berlari dan melompat kedalam pelukanku dan hampir saja membuat kami jatuh, “Yess!!! Let’s do it!!!” bisiknya ditelingaku.
Aku tertawa bahagia.
Dan kebahagiaanku akan segera lengkap, batinku.

Memoirs : The Triangle [ BoyXBoy] [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang