Chapter 42 : He's Mine...

4.8K 225 25
                                    

ZAKI

Tak sekalipun aku menoleh pada Regha yang duduk disebelahku. Terlalu kesal pada pengumumannya tadi di rumah sakit. Like hell I care. Biar saja dia dijemput oleh Rizky. Apa peduliku?! They can fuck each other for all I care. That ain’t my business, pikirku. Regha juga memilih untuk diam saja. Sesekali dia mengetik sesuatu di hapenya. Mungkin janjian dengan Rizky.
Dan tentu saja, saat mobil mendekati pagar depan rumah, aku melihat Rizky yang berdiri dengan tangan berlipat didada, bersandar pada mobilnya. Aku tak mampu menahan diri untuk tidak memutar bola mataku kesal. Jelas kunyuk itu berdandan khusus untuk menjemput Regha. Dia terlihat segar dengan pakaian rapi. Bahkan rambutnyapun tampak masih basah.
Pak Adam membunyikan klakson dan menunggu hingga pintu pagar terbuka. Tapi aku sudah turun dari mobil untuk menemui tamuku yang tak diundang.
“Bagaimana keadaanmu, Zaki?” tanya Rizky padaku dengan nada seorang sahabat lama yang baru bertemu setelah sekian tahun.
Like you care, batinku kesal. Tapi kalau memang dia ingin bersikap civil, aku juga bisa melakukannya kan? Jadi aku mengulas senyumku yang aku yakin tidak mencapai mataku yang masih menatapnya kesal, “Cukup baik. Tidak kesulitan menemukan rumahku kan?”
“Sama sekali tidak,” sahutnya ringan dan mengalihkan pandangannya pada Regha yang mendekat dari belakangku. Tanpa mengatakan apapun dia mengulurkan tangannya. Yang membuatku mengatupkan geraham kesal adalah saat Regha menyambut uluran tangan itu. Untuk sejenak mereka berdiri disana dengan dua tangan bertaut.
Great! pikirku, lebih kesal dari sebelumnya. Sekarang kita tonton acara selanjutnya. Gay romance, live!
“Kau bagaimana?” tanya Rizky dengan tatapan lembut. Regha kulihat hanya mengangguk. Perlahan kemudian dia berbalik untuk melihat ke arahku.
“Kurasa…….ini terakhir kalinya kita berurusan,” katanya padaku.
Meski menujukan kalimat itu padaku, mata Regha tertuju pada sesuatu dibelakangku. Bukan padaku. Dia melakukannya dengan sengaja. Dan aku tak suka karenanya. Aku ingin dia melihat jelas padaku!! Kenapa dia tak melakukannya?
“Aku……………berterimakasih atas semuanya, Zak. Bantuanmu padaku, pada keluargaku…..semuanya. Aku mungkin tak akan bisa membalasnya. Dan sekali lagi……maaf. Juga atas semuanya..”
Aku tak menjawab. Meski aku mendengarnya, tapi mataku tertuju pada tangan Rizky yang berhenti di pinggang Regha, sementara satu tangannya yang lain dibahunya. Dia menarik tubuh Regha mendekat sehingga punggung Regha menempel di dadanya. Kulihat tangan kiri Regha kini berada diatas tangan kanan Rizky yang sudah melingkar diperutnya. Aku bisa membayangkan dengan jelas. Dengan posisi mereka yang seperti itu, Rizky hanya harus memutar pinggang Regha yang dipeluknya, dan dia bisa mencium Regha didepanku.
Dan matakupun tertutup oleh selaput merah, marah!
Sebelum aku bisa menahan diri, aku sudah maju dan merenggut tangan Regha dari pelukannya. Tanpa memperdulikan kekagetan dimata Regha, aku menariknya untuk berada dibelakangku. Ku tatap Rizky dengan kemarahan yang tak lagi ku tahan.
“Pergi dari sini! Dan jangan pernah lagi kau sentuh Regha dengan tanganmu. Paham?!” desisku dengan nada terdingin yang aku bisa.
Hening!!
Perlahan aku berpaling pada Regha yang berdiri dibelakangku dengan mata terbelalak lebar, “Jangan pergi. Aku membutuhkanmu…” bisikku pelan.

REGHA

Ini lelucon, pikirku. Tak mungkin ini  terjadi. Dia pasti merencanakan sesuatu.Tapi………..mata itu begitu jujur dan sarat akan penekanan. Tak ada sedikitpun riak keraguan ataupun main-main. Seakan-akan dia memang bermaksud begitu.
Aku membuka mulut hendak mengatakan sesuatu. Tapi apapun yang akan ku katakan tadi, semuanya tiba-tiba hilang diujung lidahku. Aku tak bisa mengingatnya.
“Aku tahu aku sudah mengatakan banyak hal yang menyakitkan. Aku tahu aku melukaimu. Tapi aku membutuhkanmu. Dan tak akan pernah ku biarkan kau bersama dengannya.. Tidak selama aku masih hidup. Stay! Stay here,” ujar Zaki dengan nada sedikit bergetar. Entah bagaimana, kini aku bisa melihat kerapuhan yang selama ini ku kira tak akan pernah ada padanya. Ada panik dan takut yang ku kira melintas dengan cepat dimatanya.
“Ki….”
“I’m scared….” bisiknya lirih.
Ketakutan yang tadi hanya sekilas membayang dimatanya, kini terlihat jelas bagiku. Tak ada lagi sosok Zaki yang keras dan ketus tadi di rumah sakit. Seakan-akan dia sedang  menunjukkan padaku apa yang sebenarnya dia rasakan sekarang. Tak ada lagi topeng berlapis yang selama ini dia kenakan. Aku mengerjapkan mata bingung. Mana sosok dia yang sebenarnya? Mataku lalu tertumbuk pada Mas Rizky yang berdiri terpaku dibelakangnya. Mungkinkah?
“Aku tak tahu harus bagaiamana menanganinya. I’m really scared, Gha. It’s like I’m loosing my mind!”
“Zaki, kau tak perlu melakukan ini karena Mas Rizky. Dia…”
“I DON’T GIVE A DAMN ABOUT HIM!!!” sentaknya keras. Zaki menjambak pelan rambutnya dengan gerakan kalut dan frustasi. Dia lalu tertunduk lemas, “Don’t you see? Aku tak peduli Rizky melakukan apa dengan siapa. As long as it’s not with you. Aku tak peduli dia memegang ataupun memeluk siapa. Tapi saat dia menyentuhmu…….. all I can see is red. Angry! Aku tak suka dia melakukannya. Aku tak ingin dia menyentuhmu seperti tadi,” ujarnya pelan. Dia lalu menoleh ke belakang pada Mas Rizky, “Dan aku bersumpah! Kau akan menyesal bila aku melihatmu melakukannya lagi,” ancamnya dengan tubuh gemetar menahan marah.
Aku menutup mulutku dengan tangan, terperangah. Ini………….mustahil. Aku masih termangu kaget saat dia mendekat dan meraih tangan kananku.
“I don’t get it. Aku tak mengerti,” bisiknya lirih, “Tapi aku tak pernah bisa mengeluarkanmu dari pikiranku. I’ve tried everything. Sex, anger, drink, drugs… Mereka tidak berguna. Kau masih ada didalam sini,” dia menunjuk kepalanya dengan tangan kirinya, “Aku menyerah, Gha. I can’t do this no more. I’m giving up now.”
“Ki….”
“Stay….” pintanya bergetar, “Tinggallah disini. Bantu aku mengerti dan memahaminya. Aku tak mau melihatmu bersama dengan orang lain. Aku tak bisa. Aku sudah kalah. Aku tak bisa membuatmu pergi dari sini,” ujarnya pelan dan meraba dadanya sekilas.
Aku tak menjawabnya.
“Don’t leave. Help me. Bantu aku untuk memahaminya. Hanya kau yang bisa membantuku…”
“Pernahkah kau berpikir kalau aku juga tak mengerti?” ujarku dan menarik tanganku perlahan dari genggamannya. Aku melangkah mundur satu langkah, sedikit memberi jarak pada kami. Jarak memberiku sedikit kekuatan. Memberiku sedikit keberanian untuk mengatakan apa yang ada dalam benakku. Kalau kami dekat, aku hanya akan terdiam. Larut dalam kehangatan tubuhnya yang menyapa kulitku dengan keakraban yang ku rindukan. Bahkan bau harum tubuhnya sanggup membuatku kalah.
“Kau bukan satu-satunya yang bingung. Believe me. Aku juga berusaha mati-matian untuk menganggap semuanya ini cuma fase konyol yang akan berlalu dalam hitungan hari.”
“Kalau begitu kita berusaha bersama memahaminya.”
“Hingga kapan? Berapa lama yang kau tawarkan? Satu bulan? Dua? Atau mungkin setahun?” kejarku. Aku mulai melihat pola itu sekarang. Sama sepertiku. Zaki juga mengalami apa yang dulu ku rasakan. Semua kebingungan, ketakutan dan dilemma yang sama. Dia ingin memahami dan mengerti. Tapi dia juga takut. Karena dia sadar bahwa bukan hal ini yang ada dalam benaknya. Sama sepertiku. Dia juga berpikiran bahwa dia akan menikah dengan seorang wanita, membina sebuah rumah tangga dan mungkin dengan satu atau dua anak.
Jatuh cinta pada sesama jenis tidak ada dalam agenda hidupnya. Rute hidupnya saja yang tiba-tiba berubah dan mempertemukan kami. Dan akupun tahu, bahwa seindah apapun yang kami miliki, jika kami bersama, pada satu titik nanti, kami akan berpisah.
Dan aku tak bisa membayangkan kalau aku berada disana jika hal itu terjadi. Karena kini, aku menyadari betapa kuatnya perasaanku padanya. Kalau aku bersamanya, jika tiba saat kami harus berpisah, aku yakin, aku akan lebur menjadi kepingan-kepingan kecil yang tak akan pernah utuh lagi. Dan aku tak ingin itu terjadi.
“Kau tak bisa mengatakannya kan? Karena kita berdua tahu dan sadar sepenuhnya, tak ada masa depan bagi kita. Aku tahu kau ingin menikah dengan seorang wanita. Memiliki anak dan tua bersama dengannya. Aku juga, Ki. Aku juga memiliki impian yang sama. Jadi…………sebaiknya jangan. Jangan biarkan dirimu tersentuh hal ini. Jangan bereksperimen ataupun ingin tahu. Pergilah dan kembali ke dalam hidupmu yang sempurna. That’s where you belong,” ujarku pelan dan melangkah untuk melewatinya. Aku harus segera pergi. Aku tak bisa berlama-lama menatap wajahnya yang sepertinya semakin pucat dimataku.
Memang sudah seharusnya begini. Zaki memiliki segalanya. Jauh lebih banyak dan lebih baik daripada yang aku miliki. Dia bisa memiliki masa depan yang baik dan indah tanpa ada aku didalamnya. Dia tak perlu harus berurusan dengan hal yang bagi sebagian orang adalah aib ini. Kalau bisa, aku tak akan membiarkannya. Cukup aku saja. Dan ini mungkin akan menyelamatkan kami berdua dari luka permanen yang mungkin akan timbul nantinya.
“Please….”
Hanya tinggal satu langkah, aku akan berada disisi Mas Rizky yang sepertinya masih terlalu kaget dengan situasi kami. Tapi satu kata itu membuat langkahku sontan terhenti.

Memoirs : The Triangle [ BoyXBoy] [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang