ZAKI
Hari itu, setelah datang, orang tua Regha memintaku untuk beristirahat, dan aku menurutinya tanpa banyak protes karena aku benar-benar lelah. Mereka memberiku kamar tamu yang tempat tidurnya terbuat dari busa, dan ketebalannya hanya sekitar 20 senti. Yang mengherankanku, aku hanya membutuhkan beberapa menit untuk bisa tertidur pulas. Tak ada mimpi. Hanya tidur lelap dan tenang. Bahkan aku sendiri tak ingat kapan aku pernah memiliki kualitas tidur seperti itu.
Saat bangun, hari telah gelap. Aku bisa mendengar suara berbagai serangga diluar rumah. Juga suara televisi yang menyala. Beberapa berikutnya kudengar suara tawa beberapa orang. Pelan aku bangun dari tidurku. Dengan langkah pelan dan lemas karena tidur tadi aku menuju sumber suara mereka. Kutemukan mereka berkumpul diruang tengah yang sepertinya memang berfungsi sebagai ruang santai dan menonton. Minus Abah Regha.
Regha sedang tidur berbantal paha Mamahnya. Beliau pun dengan santai menonton tv sembari sesekali mengusap kepala Regha. Dasar manja, gerundengku dalam hati.
“Maaf, aku ketiduran,” kataku pelan membuat mereka sadar keberadaanku.
"Cep Zaki aos gugah?" sapa Mamah (beliau memintaku memanggilnya dengan sebutan itu juga) ramah. (Nak Zaki sudah bangun?)
"A Zaki, tingal gera acarana bodor," tawar Asti bersemangat.
Aku hanya menjawab dengan senyuman melihat antusiasmenya. (Kak Zaki, liat deh acaranya lucu)
"Zaki lapar nya?" tanya Mamah. (Zaki lapar ya?)
Meski tidak sepenuhnya aku mengerti kalimat Mamah tadi, tapi kalau cuma kata lapar, aku tahu. Sepertinya tubuhku bereaksi dengan sendirinya begitu pertanyaan tadi terlontar. Perutku tiba-tiba saja mengeluarkan suara sedikit keras.
“Well. . . . ,sepertinya perut saya sudah menjawab pertanyaan Mamah,” sahutku sedikit tersipu. Mamah tertawa mendengarnya.
“Kalo gitu Aa temenin dulu Zaki makan ya?” kata Mamah seraya menatap Regha. Regha sudah siap untuk protes, tapi jadi urung saat menerima tatapan menegurdari Mamah. Dia segera bangkit mendekatiku.
“Ke belakang,” kata Regha dan mendahuluiku.Aku mengikutinya keruang makan yang ada di belakang. Untuk sejenak aku yang telah duduk Cuma bisa diam bengong menatap hidangan yang tersaji didepanku. Tak satupun masakan yang ada disana pernah kulihat sebelumnya. Gorengan ikan yag tak kuketahui jenisnya. Semangkuk sayuran yang tak kukenal. Sesuatu yang kelihatannya seperti sambal. Lalu. . . . benda bulat berwarna hijau yang baunya langsung menyengat hidung dan membuatku mengernyit.
“What the hell is that?!” sergahku seraya langsung menutup piring berisi benda hijau itu dengan piring kosong yang ada didepanku.
“Petei. Kenapa? Nggak suka? Enak lho!” kata Regha dengan senyum licik lalu membuka piring tadi. Dia mengambil sebuah petei, mencolekkannya ke sambal itu, lalu memakannya.Aku sontan mengernyit jijik. Apalagi saat Regha sengaja meniupkan udara dari mulutnya yang jadi berbau menyengat itu kemukaku. Dengan cepat aku menutup hidungku.
“EEWWWW!!! GET THE HELL OUT OF MY FACE!!!” raungku. Tapi anak itu justru tertawa senang dan makin bersemangat meniupkan nafas naganya ke mukaku.
“AA!!!” tegur Mamah yang tiba-tiba saja ada dibelakang kami. "Rerencanganan bade neda kalah dihereuyan gera nya. Teu kengeng kitu ah. Mun Aa Zaki teu resep pete kan tiasa disimpen dipengker," tegurnya dan segera meraih piring berisi petei sialan itu lalu membawanya kebelakang. Meski aku tak paham sama sekali dengan apa yang dikatakan oleh Mamah, aku yakin beliau sudah menegur Regha tadi. (Temen mau makan kok malah digodain itu. Nggak boleh gitu dong. Kalau memang Zaki nggak suka petei kan bisa disimpan dibelakang.)
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoirs : The Triangle [ BoyXBoy] [Completed]
Teen FictionRegha, seorang anak kuliahan dari Majalengka terjebak dikisah dilema dimana perang batin dan akal menyelimutinya. Zaki, Seorang Konglomerat yang begitu membenci Regha karena kecerobohannya menyebabkan mobilnya ringsek Rizky, Seorang Dokter yang meng...