Chapter 35 : An Old Friend

3.1K 223 0
                                    

ZAKI

Matahari nyaris hilang cahayanya. Air laut terlihat berkilau kemerahan. Lampu-lampu dibawah mulai dinyalakan. Angin yang berhembuspun mulai terasa agak dingin bila dibandingkan dengan siang tadi. Aku duduk di balkon ini, memandang pemandangan sore. Here I am. Di tepi sebuah pantai yang cukup dikenal didunia. Mencoba menikmati indahnya sunset. Mencoba menyerap semua keajaiban alam. But............ nothing. Ada sesuatu yang kurang. Mungkin suasanya saja yang kurang sepi. Aku masih bisa mendengar samar suara-suara yang ada di bawah dan pantai. Keramaian pantai Kuta masih bisa ku tangkap. Kalau mungkin aku bisa berada dalam kesunyian dan ditemani gemericik air seperti saat di Majalengka, aku bisa merasakan keajaiban alam itu lagi. Aku merindukan atmosfir yang menakjubkan itu. Merindukan sihir yang seakan-akan menyebar di udara saat aku berdiri diam.
"Zaki...!"
Panggilan Regha itu sedikit membuatku kaget dan membuka mata. Dan ingatan akan suasana waktu itupun menghilang. aku menarik nafas. Sedikit bingung akan apa yang kurasakan, "Out here!!" sahutku saat Regha kembali mengulangi panggilannya. Tak berapa. lama dia muncul dengan menenteng sebuah tas plastik. Wajahnya tampak sedikit kemerahan.
"Hei! Regi ingin tahu apa kita ada rencana malam ini?" tanya Regha yang kemudian ikut keluar ke balkon.
"Aku sudah reserve tempat di restoran dekat sini. Are you guys having fun?' tanyaku kemudian,
Regha tertawa kecil, "Aku tak akan pernah mau lagi belanja bareng mereka kalo kamu nggak ikut. I swear, those two are shopping monsters. Mereka keluar masuk toko puluhan kali hanya untuk membeli beberapa potong baju. Oh ya, Regi tadi juga bilang kalau dia pergi sebentar. Katanya mungkin akan kembalisekitar dua jam-an. Is it okay?"
Aku tersenyum dan mengangguk. Dengan kepribadian Regi, tentu saja itu bisa diduga. Dan Vivi adalah cewek. Jadi, dia tak bisa disalahkan. Hanya Regha yang mungkin memang tak akan tertarik belanja, "You wore your hat, didn't you?"
"Yeah! Emang kenapa?" tanya Regha bingung.
"Wajahnya sedikit kemerahan. Mungkin kau harus menggunakan sun block," kataku dan mengulurkan tanganku.
"Well, mungkin cuma gak terbiasa dengan panasnya daerah pantai. Hawa disini beda dengan Bandung yang...." kata-kata Regha terputus saat aku mengusap rona kemerahan di pipinya dengan punggung tanganku. Sejenak dia terlihat kaku dan nyaris gugup.
"Kau bisa meminta sunblock ke Regi. Atau kau akan terlihat seperti udang rebus lain kali kau keluar," kataku dan kembali menarik tanganku dari wajahnya.
Regha mengangguk cepat, "I will. Dan...... ka-kamu sendiri ngapain dari tadi?"
Aku hanya mengangkat bahu, "Hanya beristirahat. Sebelum kau datang tadi, aku sedang duduk disini dan teringat saat aku ikut ke Majalengka pertama kalinya denganmu. Do you remember it? Lalu............" aku terdiam. Ingat saat terakhir kali aku melihat matahari terbenam di sungai itu bersama Regha.
"A-apa?"
"Come here," kataku dan secara impulsif menariknya mendekat untuk berdiri didepanku, "Ingat nggak sore terakhir kita di Majalengka. Di tepi sungai waktu itu?"
Regha tak menjawab. Tapi beberapa saat kemudian dia mengangguk.
"Well, that's what I remember. Kau bisa mengingat bagaimana suasana waktu itu?" tanyaku dan meletakkan tanganku di bahunya, "Aku ingat bagaimana rasanya berada disana. Aku seakan-akan tersihir akan keajaiban suasananya. Herannya waktu itu, kau bersikap biasa-biasa saja. Kau tak bisa merasakan indahnya. I swear, it was magical. But you..... malah kedinginan. And I remember I hugged you like this."
Aku melingkarkan tanganku diperut Regha dan menariknya untuk lebih mendekat ke dadaku. Menyatukan kedua tubuh kami. Tubuh Regha terasa sedikit tegang dalam pelukanku.
"Aku mencoba mengingat kembali apa yang kurasakan saat itu," kataku pelan didekat telinganya, "Tapi entah kenapa, rasanya ada yang kurang. Tak mungkin rasanya kalau sunset di Majalengka lebih baik daripada sunset di Legian Kuta. But it does feel that way. Sayangnya aku tak bisa mengatakan apa sebabnya. Bagaimana menurutmu?"
"Hmmmh? A-apa?" tanya Regha.
"Mana yang lebih kau suka? Matahari tenggelam di Majalengka, atau disini?" tanyaku dan menyandarkan pipiku di kepalanya.
"Disini........... cukup indah kok," jawab Regha pelan dan nyaris tak terdengar.
Aku diam, kembali memperhatikan siluet warna senja yang nyaris hilang. Warna kemerahan dan nyaris ungu di langit semakin terlihat samar. Hanya secarik sinar mentari yang tersisa di ujung langit. Kegelapan mulai mengisi alam di sekeliling kami. Warna matahari mulai terkalahkan oleh warna lampu-lampu. Dan aku bisa mendengar bunyi deburan ombak dan gemerisik angin yang bertiup. Yeah....
Mungkin Regha benar. Di Majalengka musik alam yang terdengar adalah gemericik air yang mengalir dan terpecah oleh bebatuan. Ditambahi oleh bunyi berbagai macam serangga. Sementara disini, bunyi debur ombak dan angin yang menjadi artisnya. Ditambahi oleh bunyi samar aktifitas manusia di kejauhan. Seperti yang Regha bilang, cukup indah dan memiliki pesonanya sendiri.
Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya, "Yeah......... Sepertinya kau benar. It's not bad at all," kataku pelan dan tanpa sadar mengetatkan pelukanku padanya.
Entah berapa lama kami berdiri disana seperti itu. Keheningan kami dipecah oleh bunyi perut Regha. Aku sontan melepaskan pelukanku dan tertawa keras.
"Okay..." kataku dan berusaha menguasai diri, tapi kembali tertawa keras saat ku lihat wajah Regha yang menjadi kemerahan. Tersipu malu.
"M-maaf," katanya sembari menggaruk kepalanya.
"It's fine," kataku, tapi aku harus memegang perutku untuk menahan tawa, "You go get shower and get ready for dinner. Kasih tahu yang lain, ok? Kau sms Regi aja kita makan malam di *MACCHIO  yang ada di kanan hotel. Minta dia untuk menyusul kita kesana."
Regha hanya mengangguk dan keluar dengan kepala tertunduk serta wajah yang masih memerah.

Memoirs : The Triangle [ BoyXBoy] [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang