REGHA
Saat aku tiba di Rumah sakit Santo Borromeus yang ada di jalan Ir. H Juanda, aku segera menuju bagian informasi untuk menanyakan dimana letak ruang ICU. Gedung Rumah Sakit yang bertingkat ini terlalu luas untuk ku jelajahi tanpa arah. Yang ada aku bisa tersesat diantara banyaknya bangunan dan ruang disini. Petugas jaga yang bernama Santi itu menjelaskan padaku dengan ke efisienan yang sudah terlatih. Dia sudah tahu bagaimana menghadapi keluarga pasien yang rata-rata mungkin terlihat sedikit histeris, panik dan kacau sepertiku.
Aku diantar oleh Ari kesini dengan menggunakan taksi. Ari tak yakin kalau harus membawaku dengan naik motor karena tubuhku yang lemas. Dia khawatir kalau nanti aku ambruk saat melaju di jalanan. Dalam perjalanan tadi aku sudah berusaha menguasai diri. Aku bahkan sempat menghubungi Pak Arya, asisten kepercayaan Zaki, agar beliau menghubungi pihak keluarga. Aku tak memiliki kontak dengan orang terdekat Zaki selain Pak Arya. Beliau yang terdengar sangat kaget segera tanggap dan bertindak.
Tepat saat aku tiba di ruang ICU, pintu ruangan itu menjeplak terbuka dan ku lihat Zaki yang terbaring disebuah ranjang dorong dengan wajah pucat. Beberapa orang perawat mendorong kereta itu diikuti oleh seorang pria berusia sekitar awal 40an berbaju putih.
“Dok, Zaki akan dibawa kemana?”
Pria itu berhenti melangkah dan melihatku, “Keluarga pasien?” Tanya Dokter itu cepat. Aku membaca name tag yang tersemat di dadanya. Dr. Hasan Sadikin. Nama seorang dokter yang klasik.
“Saya asistennya,Dok,” sahutku tak kalah cepat, “Semua keluarga Zaki sedang berada di luar negeri. Saya yang mewakili,” dan semoga aku tak disambar petir karena berbohong, lanjutku dalam hati.
Dokter Hasan menghela nafas, “Kami sudah mengeluarkan semua racun yang ada dalam tubuhnya. Dia selamat. Dan pastikan dia tahu, bahwa dia sangat beruntung. Sedikit saja kita terlambat, dia mungkin tak akan tertolong. Jadi pastikan dia tahu hal itubdan tak mengulang kebodohannya ini. Drugs bukan jalan keluar. Itu jalan kematian.”
Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku, patuh.
Lagi dokter Hasan menghela nafas, “Maaf. Saya terdengar terlalu kasar. Saya sering dibuat kesal oleh polah anak muda yang terlalu menyia-nyiakan masa muda mereka. Mari ikuti saya. Saya akan menjelaskan yang ingin anda ketahui. Kami akan memindahkan pasien ke kamar. Ada beberapa surat yang harus anda isi,” kata Dokter Hasan dan melangkah mendahuluiku. Diruangannya, secara singkat, dokter Hasan menjelaskan kondisi Zaki. Untungnya, dia tidak lagi dalam bahaya. Aku hanya mengajukan beberapa pertanyaan umum, hanya untuk memastikan dan meyakinkan bahwa Zaki baik-baik saja.
Aku sedikit mendapat kesulitan saat mengisi beberapa formulir sehingga harus menghubungi Pak Arya. Aku tak pernah tahu sejarah kesehatan Zaki. Untungnya Pak Arya telah menghubungi Dokter keluarga Zaki yang tiba dengan cepat di Rumah Sakit itu. Dia juga yang membantuku mengatur agar Zaki ditempatkan dalam kamar VIP. Aku juga diharuskan membayar uang muka perawatan dan kamar yang jumlahnya cukup membuatku menarik nafas. Aku harus mengambil semua isi tabunganku yang tersisa, dan harus meminjam pada Ari juga. Tapi yang penting, sekarang, Zaki sudah keluar dari keadaan kritis dan berbaring dengan tenang di kamarnya untuk memulihkan diri.
Saat aku melangkah masuk ke kamarnya, dan melihatnya untuk pertama kali di ranjang itu, dadaku sontan terasa sesak. Disanalah dia. Terbaring dengan lemas dan terlihat begitu pucat. Rambutnya yang biasa terlihat rapi dan tertata, kini roboh, lembab dan sedikit berantakan. Dua selang infus yang disalurkan di kedua lengannya makin memperparah penampilannya.
Aku mendekat perlahan di tepi ranjang. Tak ku lihat lagi warna kemerahan menggemaskan di bibirnya. Bibir itu kini terlihat begitu pucat dan nyaris kehilangan warnanya. Aku juga bisa melihat keringat yang bemanik di dahinya. Aku mengulurkan tanganku dan dengan perlahan aku mengusap keringat itu dengan telapakku.
“Apa yang membuatmu begitu bodoh?” gumamku lirih dan hampir tak tahan menahan tangis.
“Maaf….”
Kata yang diucapkan dengan lirih dan penuh penyesalan itu terdengar dari belakang, membuatku langsung berbalik. Anna berdiri dibelakangku dengan baju yang cukup seksi, tapi dia terlihat sedikit berantakan. Rambutnya terlihat kacau dan ada rona kelelahan di wajahnya yang tersapu make up.
Butuh waktu sesaat bagiku untuk mencerna makna kata maafnya tadi, “Maksudmu……dia begini karenamu?” tanyaku dan menatapnya tajam.
“Aku tak tahu kalau dia akan mengambil lagi pil yang ada di tasku. Sebelumnya aku sudah memberinya dua butir. Aku tak tahu kalau dia mengambilnya lagi. Tadinya dia baik-baik saja….”
Aku mengangkat tanganku untuk mencegahnya berbicara lagi, “Aku tak ingin mendengarnya lagi. Tapi aku mohon….” Kini aku berbalik untuk langsung menghadap dan menatap Anna, “Jangan kau buat dia seperti ini lagi. Ku kira aku tak perlu menjelaskan lagi bagaimana efek yang ditimbulkan oleh pil-pil setanmu itu kan? Kalau kau peduli padanya, aku mohon Anna......jauhkan dari jangkauannya. Jangan sampai ada sedikitpun dari benda jahanam itu menyentuhnya lagi.” Aku mengatakan hal itu dengan sepenuh hati. Namun yang mengherankanku, Anna justru tersenyum getir dan menggelengkan kepalanya. Dia kemudian malah tertawa kecut.
“Kau masih belum mengerti juga ya?” gumamnya tak percaya dan tertawa pelan.
Aku menatapnya dengan perasaan heran yang tak aku tutup-tutupi.
“Bukan aku yang bisa membuat Zaki seperti ini, Gha. Kau orangnya. Kau lah yang bisa membuat Zaki kacau dan sanggup bertindak konyol seperti ini. Keberadaanmu yang membawa pengaruh hebat pada dirinya. Bukan aku. Aku bukan apa-apa. Hanya sebuah pengalih perhatian saja. Sebuah alat untuk menghiburnya. Aku tak memiliki makna lebih dari itu baginya,” ujar Anna pelan. Aku bisa menangkap nada kalah dan juga kesedihan darinya yang tak bisa ku mengerti.
Aku ingin mengatakan sesuatu. Tapi mulutku tertutup rapat.
“Keadaannya sudah kacau, bahkan sebelum aku mengajaknya keluar. Aku membawanya ke club agar dia sedikit berganti suasana. Agar dia terlepas sebentar dari bayanganmu, Gha. Tapi bahkan di club, dia sempat mengira orang lain itu kamu. Zaki mengejar orang itu. Tapi begitu tahu kalau dia salah orang, dia kembali ke meja kami dengan wajah keruh dan resah. Setelah itu dia meminta pil itu dariku. Aku hanya memberi dan melihatnya menenggak dua butir. Aku tak tahu kalau beberapa saat kemudian dia mengambil tasku, dan meminum beberapa butir lagi. Kau lihat…..? Bukan aku yang mendorongnya seperti ini. Dari awal kami berhubungan, Zaki sudah menekankan bahwa diantara kami…..tak akan pernah terjadi apa-apa. Kami hanya akan menjadi teman, tidak lebih. Apapun yang terjadi dan telah kami lakukan, semua itu tak memiliki arti lebih.”
“Tapi kau masih tetap berada disampingnya….” tukasku datar.
“Karena aku dengan bodohnya telah jatuh cinta padanya, Gha!” jawab Anna pelan dengan senyum sedih. Dia kembali melihat ke arah zaki yang terbaring, “Aku mengambil remah apapun yang dia tawarkan padaku. Aku mengambil sedikit waktu luang yang dia berikan padaku. Tapi aku tahu, apa yang kami miliki, suatu saat akan berakhir. Karena bukan aku yang ada dalam benaknya.”
Aku kembali terdiam.
“Aku sangat menyesalkan semua ini, Gha. Percayalah. Aku orang terakhir yang menginginkan dia berada di ruangan ini, dalam keadaan seperti itu. Maaf,” kata Anna pelan. Lalu dengan segera dia berbalik dan menghilang dibalik pintu tanpa memberiku kesempatan untuk bereaksi.Aku segera beranjak untuk mengejarnya, namun langkahku terhenti saat aku baru keluar dari kamar Zaki. Dari ujung lorong, aku meihat dua orang terdekatku di Bandung ini yang melangkah dengan tergesa ke arahku. Vivi dan Regi.
“GHA!!” seru Vivi agak keras.
Rasa-rasanya pertahanan yang sedari tadi mati-matian coba ku pertahankan mulai melumer dengan mengenaskan. Sekali lagi aku ditunjukkan akan kehebatan dua orang sahabatku itu. Bahkan sekarang, pada saat lewat tengah malam, mereka masih mau untuk datang, memberikan dukungannya padaku yang sebenarnya sudah diambang batas ketahanan fisik dan mentalku.
Aku tak mengatakan apapun. Tapi saat Vivi telah dekat, aku langsung saja memeluknya erat. Mencoba menyampaikan apa yang kurasakan. Kelelahan, frustasi, sedikit kelegaan dan juga rasa bersyukurku lewat kontak fisik kami. Vivi tak mengatakan apapun. Dia hanya mengeluarkan desahan pelan dan balas memelukku. Tangannya mengusap punggungku pelan. Sementara Regi meraih tangan kananku dan meremasnya. Untuk beberapa saat lamanya kami seperti itu. Hingga kemudian aku merasa lebih baik dan melepaskan diri.
“Bagaimana kondisinya?” Tanya Vivi.
“Sudah melewati saat kritis,’ sahutku dan mengusap wajahku, letih, “Dokter berhasil menanganinya dengan segera, jadi gak ada resiko besar. Dia beruntung bisa segera dibawa kesini.”
“Tapi Gha…..over dosis? Itu seperti bukan Zaki,” gumam Regi.
Aku hanya tersenyum tipis, “Siapa juga yang nyangka, Gi. Tapi…..sepertinya aku turut andil menjadi penyebab dia begini,” ujarku lirih. Lalu aku menceritakan percakapan singkatku bersama dengan Anna tadi. Mereka berdua diam saja mendengarkan tanpa menyela. Saat aku selesai, kembali mereka berdua saling berpandangan dengan tatapan saling memahami seperti yang biasa mereka lakukan.
“Gua udah pernah bilang kan, kalau beberapa cowok kadang bersikap ekstrim dan bodoh dalam menghadapi masalah yang tak bisa mereka selesaikan,” gumam Regi.
Aku hanya mengulas senyum kecut, “Apapun penyebabnya, gue gak pengen dia kayak gini Gi. Jelas apapun yang dia rasain ke gue, tidak membuatnya nyaman. Dia tak menyukainya. Gue beruntung memiliki kalian, tapi Zaki…….” Aku menggelengkan kepala dengan mata yang mulai memanas, “…..dia menghadapi itu semua sendiri. Dia…”
Aku harus berhenti karena kalau tidak, aku akan merengek seperti anak kecil.
“Itu bukan salah elo Gha,” kata Vivi.
“Tapi keberadaan gue bikin dia seperti ini, Vi. Meski tidak secara langsung. Tapi jelas, itu gak bikin dia seneng. Bahkan bikin dia menderita. Kalo emang dia suka ma gue seperti yang kalian bilang, jelas banget hal itu gak dia inginkan. Gue bisa paham betul yang dia rasakan. Gue juga tahu banget gimana gak enaknya hal itu. Gimana gak nyamannya gue karena ngerasa salah, dosa, kotor dan menjijikkan. Lo tau sendiri gimana gue berulangkali mencoba mencari dalih buat menyangkal perasaan gue. Dan Zaki…..” aku mengusap air mataku yang terlanjur turun di pipi dengan punggung tangan,
“Dia punya segalanya, Vi. Masa depan dia sudah jelas. Dia akan menikah dengan seorang cewek, punya anak dan mungkin meneruskan usaha keluarganya. Hal itu yang seharusnya terjadi. Apa yang dia rasain ke gue, apa yang gue rasain ke dia, gak boleh bikin dia berpaling dari jalan itu. Gue juga enggak. Ini…..ini bukan jalan yang benar. Apa yang gue rasain bukan hal yang benar. Ini salah. Kalau ini benar, Zaki gak mungkin…”
Aku tak sanggup lagi. Rasanya tak ada lagi tenaga yang tersisa ditubuhku. Aku jatuh terduduk di lantai dan mengerang lirih. Vivi dan Regi segera meraih dan memelukku. Untuk beberapa saat lamanya kami bertiga duduk disana, saling berpelukan. Sementara aku membiarkan rasa sakit yang ada dalam dadaku untuk menguasai indraku yang makin terasa tumpul.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoirs : The Triangle [ BoyXBoy] [Completed]
Teen FictionRegha, seorang anak kuliahan dari Majalengka terjebak dikisah dilema dimana perang batin dan akal menyelimutinya. Zaki, Seorang Konglomerat yang begitu membenci Regha karena kecerobohannya menyebabkan mobilnya ringsek Rizky, Seorang Dokter yang meng...