Aftermath Chapter 46 : Rizky

4.6K 190 14
                                    

RIZKY

Keberadaan seseorang akan terasa maknanya tatkala dia telah menghilang dari hidup kita. Aku tak bisa mengatakan efek apa yang kurasakan akibat kehilangan Rizky. Yang jelas ada sebuah celah yang terus menganga, dan tak ku ketahui, bagaimana menambalnya. Bukan hanya aku yang merasakan kehilangan itu. Seminggu setelah kepergian Ferdy, Shella meneleponku dengan menangis. Mengatakan diantara isakannya bahwa Ferdy telah berangkat ke Jerman, tanpa mengatakan apapun padanya.
Tak ada yang bisa kukatakan padanya selain bahwa dia harus bersabar dan merelakannya. Sedikit menyakitkan bagaimana aku yang harus menjilati lukaku dan harus mengobati luka Shella, sementara yang menjadi sumbernya adalah orang yang sama.
Tapi hidup terus berjalan.
Tak peduli bagaimana luka menggerus kita, roda hidup tidak akan berhenti berputar. Dan kita akan dipaksa untuk terus menjalaninya. Tak peduli bagaimana susahnya kita harus bangkit dari tempat tidur dan menjalankan apa yang menjadi kewajiban kita. Menyeret kaki kita untuk berjalan, selangkah demi selangkah. Semua di sekeliling kita akan terus berjalan dan berubah mengikuti aliran waktu. Memaksa kita untuk berjalan dengannya.
Dan itulah yang aku lakukan.
Aku terus menjalani hidupku. Menelan bulat-bulat semua pahit getirnya. Menjalani hari demi hari, menyelesaikan semua tugas dan kewajiban, berpura-pura bahwa semua baik-baik saja. Meyakinkan diri sendiri bahwa peristiwa kemarin hanyalah sebuah episode kelam yang akan segera terlupakan. Bahwa akan ada episode baru yang sudah menanti didepanku.
Hubunganku dan Shella berkembang dengan sendirinya. Kami dipersatukan oleh duka kami akan kepergian Ferdy. Telepon berjam-jam, saling memberikan pesan untuk mengangkat semangat dan saling mengingatkan, bahwa hidup kami, tidak berhenti disini. Kedekatan kami terus berkembang tanpa kami sadari.
Bahka keputusan Shella untuk akhirnya meneruskan kuliahnya di Bandung, terasa normal dan sudah sewajarnya. Aku yang membantunya mencari kontrakan, mengantar ke kampus dan menyelesaikan keperluan lainnya. Setiap kali memiliki waktu luang, kami menghabiskannya bersama. Berdua kami saling mengobati luka kami. Tanpa sadar kami mulai terbiasa dengan kehadiran masing-masing diri kami. Secara alami, kami tahu kapan harus berada disisi salah satunya. Dengan sendirinya kami membiasakan diri dan mengikuti ritme masing-masing.
Aku membiarkan semuanya. Aku tak melawannya.
Dan ketika kami berdua secara tak sengaja bertemu dengan Ibu dan Ayah di suatu mall, aku mengenalkan mereka dengan biasa. Aku bisa melihat bagaiamana Ibu langsung menyukai Shella. Beliau tak pernah berhenti mengajaknya bicara. Ayah tak mengatakan apapun. Tapi saat kami makan malam bersama, senyum lebar tak pernah lepas dari wajahnya. Dan dia, melihatku dengan tatapan bangga.
Aku tahu apa yang ada dalam benak mereka.
Karena itu, kuutarakan niatku pada Shella untuk membina sebuah hubungan khusus. Malam itu, tak ada yang Shella katakana. Dia hanya menundukkan kepala, terisak pelan dan membiarkanku memeluknya. Tak perlu ada kalimat yang harus kami ucapkan lagi. Masing-masing dari kami sudah mengerti.
3 bulan kemudian, aku melamarnya.
Saat aku mengutarakannya pada Ibu, beliau langsung memekik gembira dan segera memelukku dan menangis dengan kerasnya. Berkali-kali beliau mengucapkan syukur kepada Tuhan atas keputusanku. Ayah tak mengatakan apapun. Beliau hanya tersenyum dan menepuk bahuku.
Setidaknya ada lebih dari satu orang yang akan bahagia sekarang, pikirku.
Persiapan segera dilakukan. Ibu segera heboh mempersiapkan semua keperluan yang akan dibawa ke Yogyakarta, menemui calon besannya. Melamar Shella secara resmi untukku. Aku membiarkan beliau yang seolah-olah memiliki tenaga ekstra. Tak mengenal lelah bolak balik keluar dan berbelanja. Aku hanya melihatnya dan menganggukkan kepala. Setuju dengan apapun yang beliau putuskan. Aku bahkan sedikit menikmati bagaimana paniknya beliau saat ada hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Belum pernah sekalipun aku melihat Ibu begitu bersemangat dan penuh gairah hidup.
Acara lamaran kami berlangsung dengan lancar. Orang tua Shella menerima lamaran kami dengan gembira. Aku memenuhi harapan mereka. Dan segera saja mereka menentukan tanggal pernikahan yang akan dilakukan dalam 3 bulan kedepan. Dan berhubung Shella masih berkuliah di Bandung, mereka menitipkan shella dan berpesan agar kami berdua harus bisa menjaga diri. Bahwa kami harus bersabar karena pernikahan kami hanya 3 bulan lagi.
Aku hanya mengangguk dan berjanji akan menjaga Shella untuk mereka.
Kini, malam minggu aku punya jadwal tetap bersamanya. Meski kebanyakan kami menghabiskan waktu bersama Ayah dan Ibu dirumah. Ibu dengan telatennya mengajarkan berbagai macam hal pada Shella. Seakan-akan dia memang mempersiapkan putrinya sendiri untuk menjadi istri yang baik. Semua pelajaran memasak pertama yang Shella ajari adalah semua masakan yang menjadi favoritku.
Aku sudah mengatakan pada Shella kalau dia santai saja dalam menghadapi Ibu. Tapi Shella ternyata merasa cocok dengan beliau. Dengan serius dia sibuk berdua dengan Ibu, tiap kali kami menghabiskan malam minggu di rumah. Dia juga tak sungkan untuk datang membantu Ibu di wwarung makan. Hanya dalam waktu sebentar saja, keduanya hampir tak terpisahkan.
Dan kejutan datang sekitar satu bulan setelah pertunangan kami. Waktu itu seperti biasa, Shella bereksperimen dan berlatih dengan Ibu didapur.
“Apa yang mereka buat kali ini, Ky?” tanya Ayah yang muncul dari kamarnya.
“Nggak tahu, Yah. Katanya kudapan buat temen kita nonton tv malam ini,” sahutku yang sedang duduk diruang tengah menonton.
Ayah terkekeh, “Entah bagaimana dengan kamu, tapi….rasa-rasanya, sejak Shella ada, semua celana Ayah jadi makin sempit. Tiap hari kali ada Shella, ibumu itu adaaaa saja yang mau dimasak.”
Aku tersenyum. Ingat bagaimana minggu kemarin, kami dipaksa harus menghabiskan 3 gulung roti lapis yang mereka buat. Padahal sebelumnya kami sudah makan malam dengan soto ayam special yang mereka persiapkan.
Ayah yang duduk tak jauh dariku menelengkan kepalanya saat mendengar tawa Ibu yang terdengar dari dapur, “Sudah lama Ayah tak mendengar tawa seperti itu dari Ibumu. Ayah berterimakasih padamu. Ayah tahu kalau mungkin tak mudah bagimu untuk melakukannya?”
Tubuhku mendadak kaku. Aku hanya mampu berbalik untuk menatap Ayah yang duduk santai di sebelah kananku, “Maksudnya?”
“Ayah tahu kalau ada sesuatu yang mendorongmu untuk melakukan ini. Kau………….yang tak pernah membawa seorangpun ke rumah, tiba-tiba saja hendak menikah dalam hitungan kurang dari setahun? Pasti ada cerita disana. Dan Ayah ykin, kau mungkin tak ingin membaginya dengan kami, keluargamu. Tapi………apapun itu, Ayah senang kau melakukannya. Kalau Ayah boleh mengatakannya……..kau sudah benar melakukan hal ini. Jangan ragu untuk terus maju melangkah. Kadang kita harus menelan pil pahit kehidupan untuk tumbuh sehat,” kata beliau dengan mata yang kemudian beralih ke televisi.
Aku sudah hendak bertanya namun urung saat mendengar suara ponsel Shella bordering. Dan kemudian hening yang mencekam terasa, sesaat setelah Shella menjawabnya. Dia muncul dari arah dapur dengan mata yang melebar, kaget. Secara naluriah, aku berdiri karena merasakan emosinya.
“Mas Ferdy?” tanya Shella dengan kaget.
Aku memberinya isyarat untuk mengikutiku keluar ke teras, sambil mencoba tidak mengacuhkan tatapan penuh tanya Ayah. Ku tutup pintu rumah begitu Shella keluar, agar pembicaraan kami tidak terdengar oleh Ayah ataupun Ibu. Aku meraih ponsel Shella dan menekan tombol speaker.
“Selamat ya, Shel atas pertunangannya. Maaf terlambat. Lagi sibuk dengan sekolah,” terdengar suara Ferdy yang lama tak kudengar. Kurasakan sebuah remasan di dadaku saat suara itu menyapa telingaku. Suara dari masa lalu yang pernah membayangiku, meski kini aku telah menguburnya dalam. Berpura-pura bahwa dia menjadi sebuah episode yang telah berlalu. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi menahan diri. Jelas Ferdy telah berusaha keras untuk bisa melakukan ini. Jadi aku member tanda pada Shella untuk menjawabnya.
”Makasih ya, Mas. Mas Ferdy apa kabar? Sehat?”
Ferdy tertawa, “Sehat, Shell.Cuman agak demam dari kemaren. Musin dingin disini gila banget. Gimana persiapan pernikahannya? Sudah beres semua?”
“Hampir, Mas. Sudah 60% sih. Ibu Indri yang paling heboh mempersiapkannya, Mas. Mas Ferdy akan pulang kan?”
“Akan kuusahakan, Shel. Kalau bisa aku pasti datang. Tanggalnya masih belum berubah kan?”
“Enggaklah, Mas. Masih sama.”
Ferdy tertawa, “Kalau begitu beres. Aku akan mencoba membersihkan jadwalku hari itu. Shella aja yang harus mempersiapkan diri. Jangan banyak begadang lho. Kuliahnya bagaimana, Shel? Kuliah di Bandung seru, kan?”
“Seru, Mas. Disini suasana rame. Lagipula ada ayah dan Ibu. Jadi Shella ndak kesepian.”
“Itulah enaknya kalau dekat mertua. Rizky, kamu apa kabar?”
Pertanyaan itu mengejutkan kami berdua. Ferdy bertanya dengan nada seolah-olah dia sudah tahu kalau sedari tadi, aku bersama dengan Shella. Aku meraih ponsel Shella, “Shella ke belakang saja dulu sama Ibu ya? Biar Mas yang ngomong dengannya,” ujarku.
Shella tak menjawab, hanya mengangguk dan segera berlalu meski matanya memncarkan keraguan. Salah satu kualitas yang dia miliki adalah dia sangat menghormati pasangannya.
“Sehat, Fer?” tanyaku dengan suara kubuat tenang.
“Tidak. Aku masih menahan marah dan ingin memakimu dari tadi,” jawab Ferdy dengan nada yang jauh lebih santai, “Tapi……….kurasa itu tidak akan menimbulkan efek bagimu.”
“Maaf, Fer?”
“Untuk apa Ky? Menyakitiku? Menikahi mantan tunanganku? Yang mana?”
“…………..semua…” jawabku dengan nada tercekat, “Kau tak memberiku kesempatan untuk menjelaskan sejak kejadian di rumah sakit waktu itu.”
“Menjelaskan apa, Ky? Bukannya sudah jelas? Aku hanya tak ingin membahasnya karena tahu apa yang akan kau katakan. Lagipula, kalau dipikir-pikir, aku juga yang salah. Aku yang selalu jadi pihak yang mengemis perhatian darimu. Aku selalu jadi pihak yang siap menerima sisa remah darimu…”
“Tapi tidak waktu itu…”
“Karena aku sudah terlampau sakit, Ky. Aku tak bisa terus berada disana. Tidak saat kau memintaku untuk jadi pacarku, dan tidak mengakuinya dihadapan Regha beberapa jam kemudian…”
“Keluarkan semua, Fer…” pintaku. Aku benar-benar ingin dia mengungkapkan semuanya. Ferdy tertawa pahit.
“Untuk apa? Agar kau merasa kalau kita impas setelah aku mencaci makimu?”
“Apa itu akan mampu menyamakan keadaan?”
“Menurutmu? Coba kau katakan padaku apa yang rasakan kalau kau berada di pihakku? Setelah semua yang terjadi diantara kita, beberapa bulan kemudian aku menerima berita akan pertunanganmu bersama Shella. Dan kemudian dilanjut dengan undangan pernikahan. Kalau kau jadi aku, apa yang akan kau katakan, Ky?”
“……….entahlah,” jawabku akhirnya.
“Tepat. Aku juga tak bisa menjelaskannya dengan kata-kata. Aku bahkan tak tahu menggolongkanmu sebagai manusia apa?”
“Aku juga membenci diriku sendiri….” Bisikku.
“Oh please, aku ragu kalau kau memiliki kepedulian akan orang lain selain dirimu sendiri. Kita berdua tahu itu. Aku bahkan menerima surat undanganmu yang indah itu…”
“Kau tak akan datang….” Kataku lemah.
“Oh, aku pasti datang. Aku akan memberimu kesempatan terakhir untuk memnyakitiku. Percayalah, aku pasti datang agar kau bisa melihatku terluka lagi. Kado terakhirku untukmu..”
“Aku tak pernah bermaksud menyakitimu, Fer.”
“Simpan kalimat itu untuk dirimu sendiri, Ky. Kita berdua sama-sama tahu kalau hal itu hanya basa-basi. Yang aku khawatirkan adalah Shella. Apa yang dia ketahui tentangmu? Aku tak sanggup membayangkannya kalau akan tetap berkelakuan sama setelah kalian menikah..”
“Fer…..setelah aku menikah, aku tak akan pernah menoleh lagi ke dalam dunia abu-abu. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri akan hal itu. Bahkan sebelum aku bertemu denganmu..”
Diam sejenak…
“Semoga saja itu benar.”
“Itu benar!”
“Kalau begitu maafkan aku karena tidak mempercayaimu. Masalahnya aku memiliki sedikit masalah untuk mempercayaimu setelah apa yang terjadi antara kita,” sergah Ferdy dengan nada sinis, “Sudahlah. Aku hanya ingin mengucapkan selamat pada Shella. Tak kusangka kalau dia ada di rumahmu. Sampaikan salamku padanya.”
‘Fer, aku benar-benar minta maaf atas semu..”
Dia telah menutup teleponnya. Aku diam disana mendengarkan nada statis yang terdengar dari seberang sana. Dan kemudian hening…
Ya Tuhan…. Kenapa seakan-akan aku harus terus menerus menyakitinya? Apa yang sebenarnya terjadi? Aku lalu mencoba melihat nomor Ferdy. Namun langsung lemas saat kulihat dia memanggil dengan menyembunyikan nomornya. Masih kuingat bagaimana dia berkata tadi, bahwa dia akan datang ke pernikahanku. Bahwa dia akan memberiku kesempatan untuk menyakitinya, terakhir kali.
“Bagaimana aku bisa menebus kesalahanku, Fer?” bisikku lirih dan berjalan gontai untuk kembali masuk ke dalam. Shella menyambutku dengan tatapan khawatir. Aku tersenyum menenangkannya.
“Ada salam dari Ferdy. Dia bilang dia akan memastikan kedatangannya,” kataku.
Shella tersenyum dengan lega dan kembali ceria, mengobrol dengan Ibu. Dia tak perlu tahu, batinku. Tak perlu menambah jumlah orang yang telah terluka. Biar saja hanya aku dan Ferdy yang memiliki bekas luka masa lalu kami. Aku tak akan pernah menoleh ke belakang lagi. Hidupku akan berjalan ke depan. Bersama dia, istriku.

Memoirs : The Triangle [ BoyXBoy] [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang