Chapter 36 : Hurts

3.8K 241 8
                                    

REGHA

Aku  berdiri disebelah kolam renang, membirkan udara dingin malam menerpa tubuhku dengan hembusannya yang sedikit kejam malam ini. Aku bisa merasakan gesekan udara di kulitku, merasakan dinginnya yang menembus tubuhku. Meski biasanya aku tak menyukainya, tapi malam ini aku menyambut rasa dingin itu dengan penuh rasa syukur. Aku lebih memilih merasakan dingin ini daripada kebingungan yang ada dalam benakku sekarang. Aku tak ingin memikirkan apapun. AKu ingin pikiranku kosong, hampa. Tapi… begitu banyak hal yang berkecamuk didalamnya. Hampir-hampir membuatku kewalahan.
Aaaaahhh........
Aku mendesah, mencoba mengenyahkan rasa sesak yang kurasakan sejak kami pulang dari makan malam tadi. Tak ada gunanya bukan? Entah apapun dalih yang aku pikirkan, hal itu tak akan mengubah kenyataan.
"Belum tidur Gha?"
Teguran yang berasal dari belakang itu sedikit mengejutkanku. Aku berpaling dengan cepat, mendapati Regi yang berdiri disana dengan senyum tipisnya. Dibelakangnya, aku bisa melihat sosok Nick yang melangkah masuk kedalam hotel.
"Baru pulang Gi?" tanyaku balik.
Regi mengangguk dan kemudian duduk di kursi panjang di pinggir kolam. Lalu dia kembali menatapku dengan sorot yang biasanya. Pandangan yang seolah-olah mengatakan bahwa dia tahu apa yang sedang kupikirkan.
"Gua  harus minta maaf ma elu Gha," katanya pelan, membuatku mengangkat sebelah alis. Regi tak langsung menjawab. Dia hanya kembali tersenyum lalu menunjuk ke kursi yang ada di depannya.
Aku menurutinya meski sedikit heran.
"Gue minta maaf kalau siang tadi gua  nyolot ma elo. Seharusnya gue bisa lebih bersimpati. Kalo gue yang udah jelas gini aja masih bisa galau dulu, apalagi elu yang normal asalnya," ujar Regi pelan.
Aku semakin mengerutkan dahi mendengarnya.
"Ketertarikan lo ma Zaki," jelasnya dengan nada gemas dan menjitak pelan kepalaku seraya menggeram pelan, "Dari semua orang yang ada, mestinya gue orang yang paling bisa ngerti kegalauan en kebimbangan yang lo rasain. Gue pernah berada dalam posisi lo Gha. Gue pernah berada dalam kebimbangan. Masa-masa dimana terkadang gue......ngerasa gak layak buat hidup. Apalagi dengan sikap bokap gue....." Regi menghela nafas dengan tatapan menerawang.
"Bokap gue adalah orang yang paling gak bisa nerima keadaan gue yang kayak gini. Dan dia sudah sering menunjukkannya tanpa sungkan. Baik lewat lisan, ataupun tindakan. Sering kali gue ngerasa kalo dia .....menyesal punya anak kaya gue. Ada masa dimana dulu gue mati-matian berusaha agar dia mau nerima gue. Gue ikut klub karate, merokok, pacaran ma cewek dan berbagai macam tingkah macho lainnya. Tapi gue tetep ga bisa. Gue selalu kalah dalam pertandingan. Minum bikin gue sakit. Merokok juga bikin gue batuk berkepanjangan. Pada akhirnya.......gue tetep ga bisa memenuhi ekpektasi dia. Dan....tetep mengecewakannya. Gue anak laki-laki dia yang bikin dia malu di hadapan teman-temannya. Padahal dia anggota militer di negara ini. Bisa lo bayangin gimana kacaunya keadaan gue dulu? Dan waktu itu....gue sendiri Gha. Ga ada yang bisa gue ajak bicara dan berbagi. Karena gue selalu ngerasa kalau gue.......aneh. Bahkan terkutuk. Jadi......gue tau bener apa yang lo rasain sekarang."
Aku terdiam. Duduk dengan kaku didepannya tanpa bisa mengatakan apapun.
"Gha, gua tahu, mungkin gua bukan orang orang yang paling sempurna dan baik. Gua masih punya banyak sekali kebusukan dalam diri gua. Gua juga telah banyak sekali melakukan kesalahan. Gua masih bisa ngerasa iri, dendam ataupun dengki. Dan nasehat dari gue mungkin bakal lo anggap sampah. Tapi tong denger gue. Gue tahu lo sekarang bingung, galau dan mungkin ketakutan. Tapi ga ada salahnya dalam mencintai seseorang Gha. Jangan pernah menganggap kalo diri lo hina. Apa lagi terkutuk. Gua tahu agama kita memandang homoseksualitas sebagai dosa dan perbuatan terkutuk. Tapi satu hal yang kudu lo yakinin, lo ada karena ada satu alas an di baliknya. Tuhan cip[tain lo, bukan untuk berakhir dengan sebuah predikat terkutuk, ataupun kesia-siaan belaka. Dulu gue juga berada di tempat lo sekarang ini. Gue selalu ngerasa kalo gue gak layak berada di dunia. Dunia akan lebih baik kalo makhluk seperti gue…tidak ada. Gua gak lebih dari sebuah produk gagal dari Tuhan Tapi perjalanan hidup membuat gue tahu.
Gue ada karena ada satu tujuan. Gue hidup karena memang Tuhan menginginkannya. Hidup gue, bukan sebuah kesia-siaan, apalagi petaka. Begitu juga elo. Sama seperti gue Gha. Lo punya pilihan. Lo mau hidup dengan penuh kepahitan, tenggelam dalam semua penyesalan dan gagal memenuhi ekspektasi orang yang gak tau dengan hidup yang lo jalani. Atau lu bangkit. Hidup dengan sesungguhnya dan merangkul apapun yang telah hidup berikan untuk lo. Memenuhi gelas kehidupan lo dengan pelajaran dan pengalaman yang akan membentuk lo menjadi sesuatu. Kesalahan bukan akhir dari sebuah perjalanan Gha. Kepahitan dalam hidup gak harus bikin lo jadi getir dan berhenti ngejalaninnya. Tapi dia bisa menjadi pengalaman yang bisa bikin lo kuat dan bijak. Lo yang nentuin gimana lo menjalani hidup. Kalau bisa gua kasih saran, jangan takut. Hidup Gha. Hiduplah. Itu aja."
“Tapi……gimana dengan hal lainnya Gi? Keluarga gue…. Gue memiliki kewajiban pada mereka. Gue harus berbakti pada orang tua gue dan…”
“Berbakti pada orang tua itu berbeda dengan menelan bulat-bulat arti kata itu Gha. Lo emag harus berbakti pada orang tua. Tapi yang lo kudu tau, lo juga punya kehidupan sendiri. Lo punya hak untuk menjalani apapun kehidupan yang lo inginkan. Benar bahwa orang tua kasih lo bekal buat ngejalanin hidup. Tapi hidup itu sendiri, elo yang jalanin. Berbakti pada orang tua bukan berarti lo hidup sesuai dengan cara dan keinginan mereka bukan?”
Aku tak menjawab. Aku hanya duduk terpaku dan memandang ke air kolam yang beriak. Tak berani mengatakan apapun pada Regi. Aku kembali berpaling saat kurasakan dia meraih bahuku.
“Jangan takut buat ngejalanin hidup ataupun berbuat salah,” ujar Regi dan tersenyum, “Dan jangan pernah nganggap kalo diri lo itu aneh dan gak layak. Inget aja satu hal, lo ada karena memang Tuhan menginginkannya. Dan ga ada satu orangpun didunia ini yang memiliki hak untuk mendiskreditkan pilihan hidup yang lo jalani. Apapun itu. Well, kecuali kalo lo berubah sinting dan mulai membantai orang-orang yang lo kenal.”
Aku tersenyum dan menepis tangannya, “Dasar banci sarap!!” umpatku pelan.
Regi tertawa kecil, “Jangan lupain itu ya?” katanya pelan dan bangkit. Aku yang mengikutinya hanya mengangguk.
“Makasih Gi,” kataku.
Regi mengangguk, “Lo ga masuk?” tanyanya lagi dan menunjuk ke belakang.
Aku menggeleng, “Gua masih pengen disini dulu,” jawabku tersenyum, “Lo aja yang masuk. Kasian si Nick lo anggurin.”
“Ih mana mungkin! Malam ini kita berdua bakal bulan madu. Jangan ngintip ya?” godanya sembari mengerlingkan mata.
“Najis!!!” umpatku dan berusaha memukulnya. Regi cuma cekikikan dan berlari menghindar dariku. Aku tersenyum melihatnya menjauh.
Mungkin banyak orang yang menyepelekan Regi karena caranya bersikap. Tapi dia benar-benar seseorangyang bisa diandalkan. Seorang teman yang tak akan pernah ragu untuk membantu. Bisa diandalkan dan dipercaya. Aku beruntung memilikinya. Bisa berbagi pengalaman hidup yang dia rasakan. Meski tak pernah sekalipun aku berpikir kalau kami akan memiliki masalah yang sama.
Aku kembali berbalik dan menatap laut dan deburan ombaknya di kegelapan. Melihat bayangan samar putih buih-buih ombak di kejauhan yang kadang terlihat.
Jatuh cinta pada Zaki…..
Aku kembali menarik nafas panjang. Membiarkan udara malam yang dingin memasuki rongga dadaku. Berharap dinginnya bisa sedikit meringankanku. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Meski mungkin aku bisa menerima kalau aku jatuh cinta pada Zaki yang nota bene sesame pria, kemudian? Tak ada yang bisa aku lakukan bukan? Zaki sudah jelas suka dengan cewek…
Benarkah Gha? Bagaimana kalau Regi dan Vivi benar? Bahwa Zaki juga menyukaimu…..
Benakku berputar, mencoba mengingat semua hal yang pernah aku lewati bersama Zaki. Mencoba mengingat, bagian mana yang membuat Regi dan Vivi berpikiran seperti itu. Apa karena Zaki pernah memelukku? Seingatku, tak ada sentuhan yang bersifat seksual darinya. Bahkan ciumannya waktu itu hanya dia maksudkan untuk membungkamku kan? Zaki memang mengatakan kalau dia tak bermasalah kalau memang dia harus ‘berhubungan’ dengan lelaki. Tapi siapa yang percaya? Anna dan Emma adalah bukti nyata kalau dia lebih menyukai cewek. Dan tak sekalipun pernah beredar kabar kalau Zaki memiliki hubungan istimewa dengan seorang pria.
Lalu…….aku harus bagimana?
Aku diam disana, entahuntuk berapa lama. Membiarkan benakku mengembara tak karuan. Mengacuhkan semua yang ada di sekelilingku. Menutup semua panca indraku dari segalanya. Aku ingin berada dalam sebuah kehampaan absolut dimana tak ada beban pikiran yang kurasakan. Dimana aku bebas dan menjadi diriku sendiri. Tak tersakiti.
“Kau bisa sakit?”
Bisikan pelan itu membuatku membuka mata. Tubuhku tahu-tahu telah terbungkus sebuah jaket . Dan rasa hangat yang menenangkan terasa dari arah belakang. Mengalir dari tubuh Zaki yang nyaris menempel di punggungku. Tanpa sadar aku menahan nafas.
”Apa yang kau lakukan disini?” tanya Zaki dekat dengan telingaku, “Aku memanggilmu beberapa kali tadi. Tapi kau tak menyahut. Are you okay?”
“Fine!” jawabku, terlalu cepat. Menunjukkan dengan jelas kegugupanku.
Zaki tertawa kecil. Tawa yang membuat dadanya berguncang dan sedikit menggesek punggungku. Tiba-tiba saja, indra perasa dibagian tubuhku itu menajam dengan intensitas yang mencengangkan. Bulu kudukku sontan meremang.
“Kau kedinginan,” ujar Zaki dibelakangku. Dan aku nyaris pingsan saat kurasakan tangannya melingkar didadaku dan menarikku untuk lebih mendekat. Menempelkan punggung didadanya. Membuat hawa hangat itu makin jelas terasa. Aku sudah hendak berontak tapi nafasku kembali terhenti saat Zaki menekan tubuh kami berdua dan dia…… mendesah pelan.
Lututku terasa lemas dan nyaris tak mampu menahan berat tubuhku. Tanpa kusadari tanganku mencengkeram erat lengan dan tangan Zaki yang melingkar didadaku. Kepalaku bersandar dengan sendirinya di bahunya, sehingga keningku bersentuhan dengan rahangnya.
Demi Tuhann!!!!!
“Tubuhmu dingin,” bisiknya dan aku berni bersumpah bahwa dengan sengaja dia mengusapkan rahangnya ke sisi wajahku, ”Ngapain sih diam disini?”
Aku ingin menjawab. Tapi mulutku tak sanggup mengeluarkan sedikitpun suara. Kedekatan kami begitu menguasaiku. Tubuhku yang jauh lebih kecil darinya seakan-akan tenggelam ke dalam tubuh Zaki. Aroma harum tubuhnya yang biasa tercium bagai melingkupi udara yang ku hirup ke dalam sebuah gelembung suara.
“Gha…?”
Aku mencoba berdehem untuk mengumpulkan suara, ”Hanya i-ingin ber-berpikir,” kataku, hamper-hampir tak terdengar, bahkan oleh telingaku sendiri.
“Berpikir? Tentang apa?” Tanya Zaki lagi.
“Entahlah………….. Banyak hal,” jawabku dengan nada sama.
“Nggak dingin?”
Aku memejamkan mataku dan hanya mampu mengangguk untuk menjawabnya. Apa yang bisa kulakukan?
“Kutemani sebentar, lalu kau harus kedalam ok?” kata Zaki dengan nada meminta.
Lagi-lagi aku hanya menjawabnya dengan anggukan.
Kemudian kurasakan tangan Zaki kembali mempererat pelukannya didadaku dan kini dia benar-benar menempelkan dan mengusapkan rahangnya ke pipiku. Aku mengeluarkan suara desahan pelan dan akhirnya menyerah. Kusandarkan tubuhku padanya. Ku pasrahkan kepalaku ke dalam naungan hangat lehernya. Ku hirup dalam-dalam aroma tubuhnya yang harum seperti biasa.
…………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………
Aku mencintainya…….

Memoirs : The Triangle [ BoyXBoy] [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang