Chapter 41 : Ego

3.7K 224 4
                                    

REGHA

Deringan ponselku yang akhirnya membuat aku menjauhkan diri dari perlindungan hangat dekapan Mas Rizky. Aku tersenyum padanya dengan perasaan yang sedikit ringan. Kehadiran Mas Rizky memberiku suntikan support yang sangat kubutuhkan. Aku tahu mungkin tindakanku kali ini agak impulsive, tanpa pertimbangan yang matang. Tapi, siapa lagi yang bisa kujadikan mentor untuk memahami dunia abu-abu yang membingungkan ini? Mas Rizky selama ini sudah begitu baik. Dia selalu memberiku ruang untuk berpikir, menunjukkan kasih sayangnya, tapi tetap memberiku kebebasan. Aku yang telah berlaku tidak adil dan menggantungnya. Aku selalu menjaganya untuk tetap berada didekatku,meski aku tetap tak bisa membalas perasaannya.
Kali ini aku berjanji pada diriku sendiri untuk lebih memperhatikannya. Mencoba membina sebuah hubungan yang lebih dalam dan bermakna.
“Sebentar, Mas,” pamitku dan menjawab panggilan pak Arya, “Ya, Pak?”
“Regha, aku sudah menghubungi Ibu Pak Zaki. Beliau sedang berada di Australia.”
“Kapan beliau datang, Pak?”
“Beliau tidak datang, Gha. Tadi beliau sudah bilang kalau dokter pribadi keluarga telah memberikan laporan lengkap, dan menurutnya, tak ada gunanya beliau berada disini karena kondisi Pak Zaki tidak membahayakan. Beliau hanya memintaku untuk menangani panti sementara ini.”
Aku tak percaya mendengarnya, “Tapi Zaki baru saja keluar dari ICU! Apakah beliau….” Aku memejamkan mataku saat sadar suaraku meninggi karena geram, “Maaf Pak. Saya…”
Pak Arya hanya tertawa kecil, “Kurasa beliau punya pertimbangan sendiri. Kita lebih baik membiarkannya dan mengurus tugas kita saja. Jadi, kau disana saja dan pastikan Pak Zaki dalam kondisi baik. Dokter sudah membolehkan beliau untuk rawat jalan dirumah. Jadi, pastikan ada mobil yang menjemputnya siang ini.”
“Baik Pak Arya…” jawabku singkat, tak ingin meninggalkan kesan lancang lebih parah lagi. Aku menutup telepon dan berpaling pada Mas Rizky, “Zaki boleh keluar dari sini siang ini, Mas. Aku harus memastikan kalau sopirnya menjemput kesini.”
Mas Rizky hanya mengangguk, “Syukurlah…”
Aku tersenyum, “Terimakasih sudah datang, Mas. Egha benar-benar membutuhkannya,” ujarku dan mendekat. Dengan gerakan sedikit kaku, ku ulurkan tanganku dan meraih jemarinya. Aku menautkan jari jemari kami dengan gerakan perlahan dan sedikit ragu, “Egha juga berterimakasih untuk kesempatan kedua yang Mas berikan. Egha tahu kalau Egha masih harus banyak memperbaiki diri. Egha harap, Mas Rizky mau bersabar membimbing Egha..”
Mas Rizky menggenggam jariku dengan kuat, “Kita sama-sama mencoba ya?” ujarnya.
Aku mengangguk, “Mas Rizky hari ini ke rumah sakit?”
“Ya. Jam 9 nanti masuknya..”
“Kalau begitu Mas Rizky sebaiknya pulang dan beristirahat. Egha sudah baik-baik saja Mas. Egha hanya akan disini sampai nanti sopir Zaki datang. Mungkin mengantarnya pulang dan setelah itu……. urusan kami selesai. Egha nggak akan lagi berhubungan dengannya. Zaki sudah memecat Egha. Jadi Egha bisa santai…”
“Kalau begitu aku akan menjemputmu di rumah Zaki.”
“Gak perlu, Mas. Mas bisa cape dan…”
“Aku akan ijin pagi ini…”
Aku tak bisa mengatakan apa-apa. Hanya mengangguk dan tersenyum. Aku beruntung memilikinya kan? pikirku. Cukup. Sudah cukup dengan keberadaannya disisiku. Aku akan baik-baik saja.
Aku lalu memberikan alamat dan petunjuk agar Mas Rizky bisa menemukan rumah Zaki dengan mudah. Aku lalu berpamitan untuk kembali ke Vivi,Regi dan yang lain, yang mungkin masih menungguku dan mengurus keperluan Zaki untuk pulang nanti. Mas Rizky hanya tersenyum dan mengangguk. Setelah itu, aku hanya mampu berdiri canggung didepannya, tak tahu harus bagaimana baiknya. Setelah kini kami memiliki sebuah ‘hubungan’, kalau berpisah begini sebaiknya bagaimana? Kan gak mungkin aku menciumnya atau…
Mas Rizky membereskan hal itu dengan mendekat dan memelukku. Dia kemudian memberikan sebuah ciuman ringan diujung kepalaku. Aku hanya mampu menunduk dan bergumam tak jelas, untuk kemudian melangkah pergi dengan wajah panas.
Saat hendak kembali masuk ke gedung, aku yang berjalan dengan mata ke bawah dan hampir saja menabrak teman Mas Rizky yang berdiri di sudut tembok.
“Eh, Mas. Maaf,” kataku pelan dan mencoba tersenyum. Dia tak melihat apa yang kami lakukan tadi kan? pikirku agak khawatir. Teman Mas Rizky, Ferdy kalau gak salah, hanya tersenyum dan mengangguk. Saat kami dekat begini baru aku menyadari betapa menariknya cowok ini. Wajahnya yang bersih dan tampan itu dihiasi dengan dua lesung pipit yang akan kelihatan begitu dia tersenyum. Meski matanya agak sayu. Sepertinya dia sudah mengantuk.
“Terimakasih ya, Mas. Sudah mengantar Mas Rizky kesini,” kataku, berusaha mengatasi kekakuan atmosfir.
“Sama-sama. Kebetulan saja tadi kami bersama. Regha baik-baik saja?”
Aku mengangguk, “Sekarang sudah merasa jauh lebih baik, Mas. Mas Ferdy kan ya?”
Dia kembali menunjukkan lesung pipitnya dan mengangguk, “Syukurlah kalau begitu. Aku akan ke Rizky dulu.”
“Iya, Mas. Tadi aku sudah meminta Mas Rizky buat istirahat saja. Nanti jam 9 kan ke rumah sakit. Tapi tadi katanya mau libur saja. Mas Ferdy juga sebaiknya istirahat. Mas kelihatan sangat lelah,” ujarku dengan nada menyesal.
Mas Ferdy tertawa kecil mendengarku, “Kalau saja kamu tahu…” selorohnya geli.
“Maaf, Mas. Regha bikin repot..” kataku lagi dengan tulus.
Mas Ferdy hanya tersenyum dan kemudian menepuk bahuku, “Kalau begitu aku pergi dulu ya..” pamitnya yang ku jawab dengan anggukan. Aku bergegas masuk kedalam. Dari ujung lorong ditempat Zaki dirawat, aku bisa melihat Regi dan Vivi yang masih berdiri didepan pintu kamar sembari mengobrol. Mereka yang melihatku, langsung terdiam, menunggu.
“Maaf…..aku tadi nyelonong,” kataku akhirnya setelah dekat dan mencoba mengalihkan mata dari memandang langsung wajah keduanya. Aku tak ingin melihat iba disana. Sudah cukup aku merasa kecil dan terbantu oleh mereka. Mereka pasti sudah mendengar dengan jelas, bagaimana pembicaraan terakhirku dengan Zaki tadi yang tidak berjalan dengan baik. Bentakan Zaki……
Belum lagi fakta baru, kalau aku sudah jadian dengan Mas Rizky. Jangan-jangan Regi bakal mencekikku kalau tahu. Tapi……bagaimanapun, aku harus memberitahukannya kan? Mungkin dengan begitu, mereka tahu kalau aku akan baik-baik saja. Bahwa aku nggak sendiri lagi.
Regi hanya mendekat kesamping dan meraih bahuku, “Kita tadi sempat khawatir dan….”
“Gue jadian ma Mas Rizky!!”
Aku bengong!
Sumpah! Tak ada rencana dibenakku untuk mengatakan kalimat tadi dengan begitu saja! Aku ingin menyampaikannya dengan pelan dan disertai sedikit kalimat pembuka yang mungkin bisa memperhalus suasana. Tapi saat Regi mengatakan kata khawatir tadi, mulutku tahu-tahu  saja bergerak dengan sendiri. Apa yang aku pikirkan tadi? batinku ngeri.
Baik Vivi maupun Regi hanya menatapku sejenak, kaget!
“JADIAN MA MAS RIZKY!!!!” pekik Regi keras!
“Ssssssttttt…..!” desisku dan melirik kearah pintu kamar Zaki dengan gugup. Vivi lalu menyeretku untuk menjauh sejenak dari pintu. Dan tiba-tiba saja, tangan kanannya menepuk belakang kepalaku dengan sedikit keras. Aku mengaduh hamper bersamaan dengan dengan bunyi plak yang ditimbulkan.
“Lu sarap ya?!!” desisnya geram.
“Lo gak bisa jadian Mas Rizky! Dia harusnya ma gue!!!” tuntut Regi dengan kedua tangan mengepal. Serentak, aku dan Vivi memandangnya kesal.
“Nick mau elo kemanain, bencong?!” sentak Vivi yang kemudian ganti noyor kepala Regi.
“Selingkuh ma gue maksudnya,” seloroh Regi, nyengir.
“Najis!” umpat Vivi dongkol, dan kemudian berpaling padaku, “Ghaaa……lo sadar lo udah ngelakuin apa?” tanyanya cemas dengan suara tertahan.
Aku mengangguk, “Gua rasa itu jalan yang terbaik, Vi. Gua gak tahu dengan pasti, pada titik mana hidup dan cara pandang gua berubah. Tapi……kalo pada akhirnya gua bisa masuk ke dalam dunia abu-abu ini, gua mau memahaminya dengan benar.”
“Memahami?” ulang Vivi pelan.
Aku mengangguk, “Yang gua tahu, gua gak mungkin hidup selamanya dalam dunia ini kan? Semua yang ada didunia abu-abu mungkin hanya berjalan untuk beberapa waktu saja. Sementara. Tak istilah ‘happily ever after’ atau ‘bahagia’ selamanya dalam dunia ini. Tak ada pernikahan diujung dunia abu-abu ini!”
“HEY!!! Gue berencana kawin ma Nick ye?!” protes Regi keras. Kami berdua memandangnya heran, “……di Belanda,” lanjutnya, nyengir.
“Tapi tidak disini, Gi. Gua hidup di Indonesia. Dan lagipula, sudah tertanam dalam diri gua, bahwa nantinya, gua akan hidup bersama dengan seorang wanita, menikah dan mempunyai keturunan. Apa yang terjadi pada diri gua dan Zaki………….adalah suatu hal yang tdak direncanakan. Semuanya tumbuh dengan sendirinya. Dan gua gak bisa menyangkal kalau gua, jatuh cinta padanya. Fakta bahwa gua bisa jatuh cinta seperti ini pada sebuah cowok, masih menjadi hal yang ………….” Aku berusaha mencari kata yang tepat, “……………..ajaib. Fakta bahwa gua bisa merasakan ini, menjadi misteri yang bahkan gua sendiri gak tahu gimana awalnya. Karena itu, gua pengen mahamin hal ini. Gua pengen ngertiin semua yang ditawarkan oleh dunia ini sekarang. Saat gua masih sendiri. Saat gua harus mempertanggung jawabkan hal ini sendiri. Agar nanti, saat gua mutusin buat menikah, gua udah tahu semua. Gua udah melihat dan merasakan sendiri, apa yang  ada dalam dunia abu-abu ini. Dan tidak lagi mempertanyakan apa yang mungkin bisa terjadi. Agar gua……bisa meneruskan hidup gua bersama dengan anak dan istri gua. Gua……….ngeri kalo ngebayangin, bahwa ada kemungkinan gua bisa meninggalkan anak dan istri gua, hanya demi sebuah ‘petualangan’ bersama dengan seorang lelaki. Kalian mengerti?”
“Agar lo gak tergoda lagi nantinya?”
Aku mengangguk pada Vivi, “Setidaknya, gua udah dapat pengalaman kan?”
“Lo yakin?” tanya Regi, “Lo yakin, lo gak bakal jatuh cinta lagi dengan seorang pria? Seperti lo jatuh cinta ma Zaki?”
Aku hanya menggeleng, “Gua gak tahu, Gi. Mungkin saja. Tapi kalopun itu terjadi, setidaknya, gua tahu apa yang ditawarkan oleh dunia abu-abu ini. Gua tahu ujung dari cerita itu. Karena gua paham, apa yang ada di ending-nya. Karena itu gua jadian ma Mas Rizky…”
“Gha….tidakkah itu seperti memanfaatkan Mas Rizky?” Tanya Vivi.
Aku tersenyum, “Pada suatu titik, iya. Tapi……….Mas Rizky memiliki pandangan yang sama,” jelasku. Vivi dan Regi memandangku tak mengerti, “Mas Rizky juga sadar, kalo pada suatu saat, dia harus menikah dengan seorang wanita, dan meneruskan garis keturunan keluarganya. Bukan hanya karena itu hal normal dan semestinya, juga karena tanggung jawabnya pada keluarga. Mas Rizky sudah mahfum, bahwa tak perduli sebesar apapun dia menyukai seorang pria, pada satu titik, dia harus melepaskannya. Dia ‘akan’ melepaskannya. Dia sadar sesadar-sadarnya, bahwa tak akan ada pernikahan di akhir cerita cinta antara dua anak Adam. Itu juga alasan kenapa gua mutusin buat jadian dengan dia Vi. Bersama, gua dan Mas Rizky akan belajar buat memahami hidup…”
Diam sejenak….
“Kenapa harus begitu sih?” cetus Vivi pelan, hampir dengan nada menyesal, “Kenapa gak boleh ada akhir bahagia bagi dua orang yang saling mencintai? Bahkan meski cinta itu terjadi antara dua lelaki…”
Aku tertawa kecil, sedikit getir, “Normalnya kan memang begitu, Vi…” selorohku mencoba bercanda. Meski dalam hati aku tak bisa menyangkal kalau aku juga ingin mempertanyakannya. Sentakan rasa nyeri didadaku saat mendengar Vivi tadi membuktikan hal itu.
“Normal… Itu kata yang bagus kan?” gumam Regi, membuat kami berdua berpaling, “Kalian mengerti nggak definisi normal itu apa?”
Kami berdua memandangnya dengan tatapan tak mengerti.
“Kalo lo liat definisi normal dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata normal berarti sesuai dengan aturan dan tidak menyimpang. Nah sekarang gua tanya, sesuai dengan aturan siapa? Tidak menyimpang menurut siapa?”
Aku dan Vivi memandangnya kebingungan. Tak tahu apa yang hendak disampaikan Regi.
“Kalian tahu tentang kaki teratai wanita kuno china? Dimana para wanita bangsawan, membebat kakinya, menekuk sedemikian rupa kakinya, sampai berlipat dan muat dalam sepatu berukuran kecil? Apa itu normal menurut kalian? Karena itu normal bagi para penduduk cina di jaman lampau. Bahkan menjadi sebuah identitas status social. Meski pada akhirnya, para wanita itu harus kesakitan sepanjang sisa usia mereka. Itu normal?”
Kami tak menjawab.
“Kalian pernah dengar, kalau suku Aghori di Varanasi India, memakan mayat keluarga mereka yang sudah meninggal? Menurut kalian itu normal? Karena menurut mereka, hal itu normal dan itu adalah salah satu jalan menuju pencerahan yang mereka yakini…”
Kami masih terdiam.
“Atau mungkin kalian pernah dengar kebiasaan orang-orang syiah yang akan menyakiti tubuh mereka dengan pisau dan lain-lainnya hingga berdarah di hari asyura? Mereka bahkan menggunakan agama sebagai dalihnya. Itu normal? Karena bagi gue, itu enggak. Menurut gua, normal bisa diartikan suatu kebiasaan atau tindakan yang dianggap wajar dan sesuai aturan oleh segolongan orang. Hanya segolongan orang! Standart normal, bahkan bagi setiap orang, bisa saja berbeda. Dalam sebuah komunitas, bisa saja anggotanya memiliki pemikiran berbeda akan definisi normal. Kalo lo nanya, apakah dua orang pria saling mencintai itu normal, gue bilang, iya. Tapi kalo lo nanya ke orang lain, belom tentu. Dan gue yakin, akan banyak yang menjawab, enggak. Pertanyaannya adalah, apakah elo, mau menyesuaikan diri dengan standart mereka, atau memiliki definisi normal sendiri?”
“Kita kan hidup disini, Gi..?”
“Siapa bilang lo hidup di akhirat?” serobot Regi ketus.
Aku terdiam. Nih anak kalo kumat judesnya, pinter dan seremnya keluar semua, batinku ngeri.
“Bukan gue tadi yang bawa-bawa kata normal ye? Tapi elu!” sambungnya lagi tanpa ampun, “Kalo seorang pria kudu menikah dengan cewek, tanpa memperdulikan ke ‘abnormal’an dia seperti yang lo bilang tadi itu normal,” Regi memberikan tanda petik dengan kedua tangannya untuk menekankan kata abnormal dan normal tadi, “….itu menurut lo! Bagi gue, itu enggak. Karena bagi gue, itu disebut dengan pilihan!”
“Gi, ajaran agama, adat dan istiadat kita bagaimana? Belom lagi hubungannya dengan orang tua kita?”
“Kenapa dengan mereka?” Tanya Regi dingin, “Kita gak ngomongin agama kan? Kita ngomongin normal yang lo bilang tadi. Gha, gue gak akan bilang kalo ajaran agama itu salah. Gila aja! Masa gue mo samain diri gue ma nabi! Bisa di gorok gue ma ormas Islam. Maksud gue, bagaimana kita menjalani hidup, itu pilihan Gha. Bukan standart normal yang lo bilang tadi. Sama dengan saat lo memilih sebuah agama. Lo punya hak penuh meyakini dan memeluk mana agama yang lo mau. Itu hak lo. Begitu pula dengan bagaimana lo menjalani hidup. Saran gue, jalani saja sesuai dengan keyakinan lo. Kalo emang jadian dengan Mas Rizky dan belajar jadi homo yang baik dengan dia adalah jalan yang terbaik, lakuin!”
Regi tak memperdulikan bagaimana aku mengernyit ngeri saat dia menggunakan istilah ‘homo yang baik’ tadi. Malah dia tersenyum geli seakan-akan menikmatinya.
“Jangan hidup dengan standart normal orang lain. Gue udah bolak balik bilang, ini hidup elo. Susah atau senengnya, elo yang jalanin. Elo yang tentuin! Jadi jangan gunakan kata normal yang bikin gue gondok tadi, ok? Karena gue suka lekong, gue mau kewong ma lekong. Dan gue normal, em?!” selorohnya dengan gayanya yang biasa.
Aku dan Vivi hanya tertawa kecil. Salah satu kehebatan Regi adalah bagaimana dia bisa menyetir sebuah pembicaraan yang serius, kembali ke suasana yang santai, hanya dalam hitungan detik. Meski kelihatan seperti cowok gay melambai yang dangkal, dia benar-benar memiliki pengetahuan dan pemahaman dalam tentang hidup. Orang bisa saja salah menilai Regi dari tampilan luarnya. Tapi aku telah belajar bahwa dia, jauh dari apa yang dia perlihatkan. Kadang aku merasa bahwa perilaku melambainya yang cenderung feminim hanyalah sebuah mekanisme pertahanan dan cover yang sengaja dia pasang untuk menipu.
“Jadi……………lu ma Zaki….” Vivi tak melanjutkan pertanyaannya.
“Dia udah pecat gue, Vi. Setelah ini selesai, gua gak akan lagi berhubungan dengan dia.Mungkin itu yang terbaik…” kataku pelan mencoba menampilkan ekspresi yang datar di wajahku.
Vivi tersenyum dan menepuk bahuku, “Mungkin memang itu yang terbaik. Lo aja yang terus maju. Kita berdua akan support kok. Meski……mungkin ada satu hal yang lo kudu tau..” ujarnya dan melirik Regi dengan mimik khawatir.
“Apa?’ tanyaku bingung dan jadi ikutan cemas.
“Waktu lo ma Zaki bertengkar tadi……….. Jordan denger semuanya. Dia…..tau,” lanjutnya lagi.
Aku hanya mampu ternganga.
“Tapi dia gak akan bilang apapun. Dia udah janji!” sambung Vivi cepat dengan suara mantap.
Aku hanya mampu mengangguk. Aku sama sekali tak melihat sosok Jordan tadi. Pikiranku terlalu penuh oleh hal yang lainnya. Meski yang tahu tentang perasaanku pada Zaki adalah Jordan, dan dia adalah pacar Vivi, aku masih merasa tak enak. Untuk menerima kenyataan bahwa aku menyukai Zaki sendiri membutuhkan waktu bagiku. Dan kini, fakta bahwa ada orang lain yang tahu akan hal itu, sedikit membuatku tidak nyaman. Mungkin aku harus membiasakan diri kalau memang ada yang akan memandangku dengan sinis. Toh aku memutuskan untuk memahami dunia ini kan? batinku kecut.
“Dia dimana?”
“Didalam…” jawab Vivi dan menunjuk kamar Zaki. Aku hanya mengangguk dan tanpa sadar menelan ludah.
“Aku-aku mau menelepon sopir Zaki dulu,” pamitku dan agak menjauh dari mereka. Mereka berdua hanya mengangguk dan kembali tersenyum.

Memoirs : The Triangle [ BoyXBoy] [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang