REGHA
Aku berada ditempatku yang seharusnya, batinku berbaring dengan mata terpejam di bale-bale yang berada di bawah pohon jambu. Sinar matahari yang menembus rimbun dedaunan sesekali menerpa wajahku. Menciptakan ilusi samar bayangan selaput merah muda dengan urat yang saling melintang dan sedikit menyilaukan pada kelopak mataku. Angin yang berhembus pelan dan sejuk melenakan tubuhku yang terbaring telentang. Aku membiarkan suara-suara alam disekitar membuaiku dengan nyanyiannya. Aku bisa mendengar kicauan burung dikejauhan. Suara beberapa anak yang tertawa dan bermain tak jauh dari rumah. Suara ayam yang ada dikandang belakang. Bahkan suara samar tv yang terdengar dari ruang tengah. Sepertinya Asti masih asyik menonton FTV yang tayang di salah satu tv swasta nasional.
Suara-suara yang dulu setiap hari ku dengar dan entah mengapa terasa sangat ku rindukan. Aku menyambut suara-suara itu. Membiarkannya mengisi gendang telingaku dengan keakraban yang sama. Mencoba mengalihkan benakku yang terasa kusut dalam beberapa hari terakhir. Sudah dua hari aku berada di Majalengka. Melarikan diri dari hiruk pikuk keramaian dan keruwetan yang membelitku di Bandung. Jauh dari Zaki, Regi, Vivi dan yang lainnya. Menenggelamkan diriku pada nyanyian kuno kampung halamanku.
“Aa upami tunduh mah kunaon atuh teu bobo di lebet bae?”
(Aa kalau ngantuk kenapa nggak tidur didalam saja?”)
Sapaan pelan Mamah membuatku membuka mata. Beliau tersenyum lalu duduk disisi tubuhku. Matanya yang menatapku lembut seakan-akan mengungkapkan keprihatinannya yang tak terucap. Sejak aku datang langsung dari bandara ke sini, aku lebih banyak menjauh dari keluargaku. Menolak untuk mengatakan apapun yang ada dipikiranku, bahkan saat Mamah yang menanyakannya.
“Nuju palay gogoleran di dieu Mah,” jawabku dan kemudian kembali memjamkan mataku. Tak ingin kembali melihat sorot khawatir dimata Mamah. Aku akan menyerah kalau melihatnya dalam beberapa menit. Mamah tak mengatakan apa-apa, tapi sesaat kemudian aku merasakan usapan pelan tangannya di dahiku. Usapan ringan yang menjelaskan begitu banyak hal tanpa kata. Beliau mencoba mengatakan bahwa beliau cemas padaku. Bahwa beliau menyayangiku. Bahwa beliau ada untukku. (Lagi pengen bebaring disini Mah)
Semua itu ku tangkap dari belaian lembut Mamah tadi. Hati anak mana yang tak akan terenyuh? Aku bisa merasakan mataku mulai memanas dan berair dalam hitungan detik. Tapi aku tetap menolak untuk membuka mata. Dengan keras kepala aku terus memejamkannya.
“Aa teh tos dewasa nya?” gumam Mamah pelan, “Kapungkur mah Aa teh mun aya nanaon sok cerita ka mamah. Tapi ayeuna mah Aa teh tos tiasa mencoba ngarengsekeun sagala masalah anu di hadapi ku nyalira. Mamah teh meni bangga pisan”
(Dulu, Aa akan selalu cerita ke mamah tentang apapun. Tapi sekarang Aa mencoba menyelesaikan apapun yang Aa hadapi sendiri. Mamah sangat bangga.)
Dadaku sesak. Aku tak sanggup lagi. Aku membuka mata, membiarkan Mamah melihat galau yang mungkin terpancar dengan jelasnya di mataku. Biarlah beliau melihat kalau memang ada sesuatu yang tengah menggangguku. Tapi aku masih belum siap untuk menjelaskannya dengan mendetil. Aku mencoba menegarkan diri dengan menarik nafas panjang. Aku lalu bangkit dan duduk, bersisian dengan Mamah yang diam.
“Mah kumaha pami ternyata Aa sanes anak anu patut dibanggakeun? Kumaha mun Aa ngalakukeun suatu kasalahan nu mungkin bisa ngisinkeun Mamah sareng sakeluarga?” bisikku lirih dengan mata menatap kosong ke depan.
(Mah…….. bagaimana kalau ternyata Aa bukan anak yang patut dibanggakan? Bagaimana kalau Aa melakukan suatu kesalahan yang mungkin akan memalukan Mamah dan seluruh keluarga?)
“Nu pasti mah Mamah ngaharepkeun Aa belajar sesuatu tina kesalahan Aa eta sareng ngalereskeuna,” jawab Mamah dari sebelahku. (Yang pasti mamah mengharap Aa belajar sesuatu dari kesalahan Aa itu dan memperbaikinya)
“Aa teh sieun Mah. Kumaha mun engke Aa tumbuh jadi anak anu mungkin jauh ti harapan mamah sareng abah? Bagaimana kalau Aa jadi anak yang mengecewakan?”
(Bagaimana kalau nantinya Aa tumbuh jadi anak yang mungkin jauh dari harapan Mamah dan Abah?)
“Ari anak mah tetep wae anak kangge orang tua na, A. Teu peduli kumaha hancur sareng rusakna, Aa teh tetep anak mamah sareng abah. Ikatan darah mah teu tiasa diputus ku manusia. Teu aya orang tua nu tega miceun anakna.”
(Seorang anak akan selalu menjadi anak bagi orang tuanya A,” jawab Mamah, “Tak peduli bagaimana hancur dan rusaknya, Aa adalah anak Mamah dan Abah. Ikatan darah tak bisa diputus oleh manusia. Tak ada orang tua yang akan membuang anaknya)
“Meski Aa ngajalani kehidupan anu teu di restui ku Mamah? Meski Aa teu hidup na henteu sapertos dipikahoyong mamah sareng abah?” tanyaku lagi, kali ini tak bisa lagi menahan suaraku yang bergetar.
(Meski Aa menjalani kehidupan yang tidak mamah restui? Meski Aa tidak hidup seperti yang mamah dan Abah inginkan?)
Mamah tersenyum lembut sebelum menjawabku, “Aa, tugas orang tua mah masihan bekel hirup ka anakna. Ngajaran mana anu leres mana anu salah. Masihan elmu sareng mun ngamungkinkeun mah masihan harta lah sakedik-kedikeun kanggo ngamulai hirup. Tapi jalan atanapi kahirupan naon heula anu kudu dijalani, itu mah terserah ka anak na bae kumaha ngajalani na. Mamah atanapi abah mah moal tiasa maksa Aa kanggo hirup nu kawas kumaha. Itu sanes hak na mamah sareng abah. Anu jelas mah, orang tua tos masihan bekel, ajaran sareng pedoman supaya Aa bungah. Kumaha sareng sapertos kumaha hirup Aa engke, eta mah Aa nyalira nu mempertanggung jawabkeun sareng Gusti Alloh. Nya kita mah salaku orang tua heun tiasa masihan nasehat sareng wejangan”
(tugas orang tua adalah memberi bekal hidup pada anaknya. Mengajarinya mana yang benar dan mana yang salah. Memberinya ilmu dan bila memungkinkan sedikit harta untuk memulai hidupnya. Tapi jalan atau kehidupan seperti apa yang harus dijalani, itu terserah pada anak itu sendiri. Mamah ataupun Abah tidak akan memaksa Aa untuk hidup seperti apa. Itu bukan hak kami. Yang jelas, kami sudah memberi bekal, ajaran dan pedoman yang kami mampu ke Aa. Kalaupun Aa nanti hidup dengan cara yang mungkin tidak kami setujui, kami hanya bisa berharap dan berdoa agar Aa bahagia. Bagaimana dan seperti apa Aa hidup nanti, Aa akan mempertanggung jawabkannya pada diri Aa sendiri dan juga Tuhan. Kami orang tua mungkin hanya akan memberi nasehat dan wejangan sebisanya.)
Kepalaku tertunduk makin dalam. Ku biarkan air mataku mengalir membasahi pipiku. Apa lagi yang bisa aku lakukan? “Mamah teh janji moal sewot ka Aa?” tanyaku lagi tanpa mengangkat wajah.
(Mamah teh janji gak akan membenci Aa?)
Mamah tak menjawab, tapi tangannya merengkuh kepalaku dan mendekapnya di dada. Aku terisak keras seperti anak kecil dalam pelukan beliau. Kembali merasa seperti seorang anak bayi yang begitu lemah dan hanya merasa aman berada dalam dekapan orang tuanya.
Sekarang aku benar-benar iri pada mereka, anak-anak kecil yang pikirannya masih murni. Anak-anak yang dibenak mereka hanya memikirkan besok bermain apa dan dengan siapa. Mereka masih belum terpolusi oleh bobroknya dunia. Mereka masih dilindungi oleh kasih sayang orang tua mereka. Dipenuhi segala kebutuhannya. Tidak harus mengkhawatirkan akan bekerja apa, atau akan menjadi apa. Benak murni yang hanya terisi cinta akan keluarga. Aku ingin kembali menjadi anak itu.
Aku ingin untuk sejenak benar-benar menghilang dan melupakan semua kepahitan disekitarku. Aku memang bisa melarikan diri, kembali ke rumahku. Tapi hal itu tidak menyelesaikan masalahku. Aku sepenuhnya sadar bahwa masalah itu masih menungguku saat aku kembali ke Bandung. Atau saat aku kembali bertemu dengan Zaki.
“Aa mah alim janten jalmi dewasa, palay janten budak alit bae upami tiasa mah ,” gumamku setelah bisa menguasai diri.
(Aa teh gak ingin jadi dewasa Mah. Aa ingin jadi anak kecil saja kalau bisa)
“Kumargi budak alit mah moal ceurik ku cinta?” celetuk Mamah. Pelan, tapi tetap saja terdengar begitu jelas ditelingaku. Untuk sejenak aku hanya mengangkat wajahku dan melihat Mamah. Ada senyum geli yang tersungging disudut bibirnya. Senyum yang sering beliau berikan saat aku melakukan hal konyol semasa aku kecil.
(Karena anak kecil tidak akan menangis karena cinta?)
“Mamah mah kitu,” sungutku sembari membuang muka yang terasa memanas.
Mamah tertawa dan kembali mengusap kepalaku, “Eh, Mamah teh serius pisan ini. Mamah tos ngantosan waktos Aa jadi galau sapertos kieu. Dina waktos Aa mulai merhatikeun sareng mikanyaah batur salian keluarga Aa. Ieu salah sahiji tahap anu memang kudu Aa lewatan beh janten dewasa. Upami wios mah mamah nyarios, Aa tos ka asup telat. Si eneng mah tos galau kieu pas kelas 3 SMP,” goda beliau.
(Mamah sudah menunggu-nunggu saat dimana Aa jadi galau seperti ini. Saat dimana Aa mulai memperhatikan dan menyayangi orang lain selain keluarga Aa. Ini salah satu tahap yang memang harus Aa jalani untuk menjadi dewasa. Bahkan kalau boleh Mamah bilang, Aa sudah termasuk telat. Si eneng sudah galau begini pas kelas 3 SMP lho)
“Ari si Mamah teh meni kitu. Lain atuh Mah. Si Eneng teh masih cinta monyet. Paling oge heun sabulan galauna,” gerutuku.
“Jadi maksud Aa teh, Aa nyaah pisan ka jalmi nu tos pikeun Aa galau kieu? Aa teh labuh cinta?” Tanya Mamah dengan mata terbelalak lebar.
(Jadi maksud Aa, Aa teh sayang pisan dengan orang yang bikin Aa galau begini? Aa…… jatuh cinta?)
Aku merutuk dalam hati akan kesembronoanku. Harusnya aku tahu bagaimana pekanya Mamah dalam menangkap perasaanku. Selama bertahun-tahun ini, hampir tidak ada yang bisa aku sembunyikan darinya. Barusan saja contohnya. Hanya dengan sedikit petunjuk, beliau bisa menarik kesimpulan yang akurat. Aku tak menjawab pertanyaan Mamah. Dan kembali melancarkan aksi tutup mulut.
Mamah hanya tertawa, “Teu aya salahna upami Aa jatuh cinta, malahan sae. Eta teh berarti Aa gaduh jiwa nu sehat? Bukankah semua manusia memang diciptakan untuk hidup berpasangan?”
(Tidak ada salahnya kalau Aa jatuh cinta. Malah bagus. Bukankah itu berarti Aa memiliki jiwa yang sehat?)
Kalimat itu membungkamku. Ada sedikit sentakan nyeri didadaku yang merambat dengan perlahan merambat ke sekujur tubuhku. Nyeri itu terasa begitu menyengat saat mencapai otak, sehingga tanpa sadar aku mengernyit untuk menahannya.
“Tapi.. kumaha mun cinta Aa henteu kedah terjadi?” gumamku setelah terdiam lama, “Kumaha... mun cinta Aa salah sareng teu kenging terjadi?”
(? Tapi………..bagaimana kalau cinta Aa, tidak seharusnya terjadi Mah .Bagaimana………kalau cinta Aa salah dan tak seharusnya terjadi?)
“Padahal Aa teh tos berusaha nyangkal sareng ngaleungitkeuna? Tapi cinta eta teh masih bae membekas di hati Aa sareng teu leungit-leungit?” sambung Mamah pelan.
(Padahal Aa sudah berusaha menyangkal dan mengenyahkannya? Tapi cinta itu masih saja membekas di hati Aa dan tidak hilang?)
Aku kembali berpaling menatap Mamah disampingku, ternganga.
“Cinta itu teh membuat Aa ngarasa tersiksa sareng sakit nya? Nyakitkeun urang pas urang terang bahwa cinta urang teh mustahil. Tapi anehna, jauh dina jero hate urang, urang seneng bisa ngarasakeun na. Urang menikmati sakitna. Menyukainya. Siksaan anu membuat kita terluka, tapi tetep weh alim dilepaskeun ku urang na. Ngabingungkeun sanes?”
(Cinta itu membuat Aa merasa tersiksa dan sakit bukan? Menyakitkan saat kita tahu bahwa cinta kita adalah mustahil. Tapi anehnya, jauh didalam lubuk hati, kita senang bisa merasakan sakit itu. Kita menikmati sakitnya. Menyukainya. Siksaan yang membuat kita terluka, namun toh tak pernah ingin kita lepaskan. Membingungkan ya?)
Lagi-lagi aku hanya mampu ternganga tanpa menjawab Mamah. Bagaimana beliau bisa mendeskripsikan apa yang aku rasakan dengan begitu tepat? Aku tahu kalau beliau memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dari Abah. Tapi kemampuan beliau dalam memahami apa yang kurasakan saat ini diluar dugaan.
“Kunaon heran? Mamah oge pan pernah ngora pan.” seloroh beliau dan kembali terkikik geli, “Mamah oge apal atuh kumaha rasana jatuh cinta ka seseorang. Sakumaha nyeri na pas setiap orang anu aya disekitar kita teh menentang sareng mempertanyakeun kebenaran sareng ketulusan perasaan urang. Kumaha kita teh sampaikeun ka lelah berusaha keras jang mopohokeun sareng nganggap sadaya na teh heun fase konyol di hirup urang, tapi urang teu mampu. Sakumaha urang ngarasa begitu sono mun jauh bti manehna. Sareng sakumaha urang tetep rela aya di sisina, meskipun itu teh nga nyerikeun urang.”
(Kenapa heran? Ari si Mamah juga pernah muda kan? Mamah juga tahu bagaimana rasanya benar-benar jatuh cinta dengan seseorang. Bagaimana sakitnya saat semua orang yang ada disekitar kita menentang dan mempertanyakan kebenaran serta ketulusan perasaan kita. Bagaimana kita telah berusaha keras untuk melupakan dan menganggap semua hanya fase konyol dalam hidup kita, tapi kita tak mampu. Bagaimana kita terasa begitu merana jauh darinya. Dan bagaimana kita akan tetap rela berada disisinya, meski itu menyakitkan bagi kita.)
Oke! Kali ini aku memasang telingaku dengan baik-baik.
“Aa terang kumaha perjuangan mamah untuk bersama dengan abah kan?” Tanya Mamah.
(Aa tahu bagaimana perjuangan mamah untuk bisa bersama dengan Abah kan?)
Aku memang beberapa kali mendengarnya. Bagaimana keluarga Mamah menentang hubungan Mamah dan Abah, karena menganggap Abah tidak pantas dan kurang berpendidikan. Bahkan hingga kini, meski sudah puluhan tahun berlalu, Abah masih menyimpan sedikit luka yang tidak pernah hilang sepenuhnya. Keengganan Abah untuk mengutak-atik tanah warisan kakek yang menjadi milikku adalah buktinya. Abah lebih memilih berusaha sampai habis-habisan daripada menyentuh tanahku itu. Jadi……tentu saja. Abah dan Mamah memiliki pengalaman yang lebih dari cukup tentang cinta.
“Teras ayeuna Aa kudu kumaha mah?” tanyaku dengan suara memelas.
(Aa harus bagaimana Mah?)
“Mamah wios terang teu saha jalmina?”
(Boleh Mamah tahu siapa?)
Aku hanya menggeleng untuk menjawabnya. Untuk yang satu itu, aku akan berusaha sebaik mungkin agar Mamah tidak mengetahuinya. Tak akan kubiarkan keluar dari mulutku. Aku juga berusaha untuk menampilkan wajah datar, agar Mamah tidak bisa menebaknya.
Mamah kembali tertawa kecil dengan kekeras kepalaanku, “Muhun. Ayeunamah Mamah moal naros deui. Tapi... Aa teh bener bener bogoh ka manehna?”
(Baiklah. Mamah tidak akan menanyakannya lagi. Tapi………Aa yakin kalau Aa benar-benar jatuh cinta padanya?)
Aku mengagguk, “Nya sapertos Mamah tadi. Aa tos berulang kali nyoba nyangkal sareng mopohokieun manehna. Tapi Aa teu tiasa mah .”
(Seperti yang Mamah tadi bilang. Aa sudah berulang kali mencoba menyangkal dan melupakannya. Tapi Aa nggak bisa Mah)
Mamah tersenyum dan kembali mengusap kepalaku sekilas, “Bagi Mamah, cinta teh bisa diartikeun jadi 2 hal. Bisa sebagai berkah. Hadiah ti Gusti bagi urang, supados urang henteu nyalira ngajalani hirup. Itu cara Gusti ngajaran urang. Oge cara Gusti mikanyaah urang. Tapi..... cinta oge bisa jadi sebuah ujian bagi urang teh. Saat cinta itu henteu semestina terjadi, saat cinta itu bisa nganyerikeun sareng ngarugikeun batur. Saat cinta anu urang miliki, justru jadi nganyerikeun orang lain. Maka mungkin, cinta itu teh sebuah ujian bagi urang. Abih urang belajar dan janten jalmi anu leuwih sae.”
(Bagi Mamah, cinta itu bisa diartikan sebagai 2 hal. Bisa sebagai berkah. Hadiah dari Tuhan bagi kita, supaya kita tidak sendiri dalam menjalani hidup. Itu cara Tuhan untuk mengajari kita. Juga cara Tuhan dalam menyayangi kita. Tapi………cinta juga bisa menjadi sebuah ujian bagi kita. Saat cinta itu tidak semestinya terjadi, saat cinta itu bisa menyakiti orang banyak dan merugikan mereka. Saat cinta yang kita miliki, justru menjadi luka bagi orang lain. Maka mungkin, cinta itu adalah ujian bagi kita. Agar kita belajar dan menjadi orang yang lebih baik saat kita bisa melaluinya.)
“Jadi... Aa kedah terus berusaha ngalupakeun manehna?” tanyaku lirih.
(Jadi……………..Aa harus terus berusaha melupakannya?)
“Aa bisa ngalakukeun nu sakahoyong Aa. Eta mah keputusan Aa. Nya saur Mamah oge, ini hidup Aa. Kumaha sareng kawas kumaha engkena, Aa anu gaduh hak penuh dina nentukeun na.”
(Aa bisa melakukan apapun yang Aa inginkan. Itu keputusan Aa. Seperti yang Mamah bilang, ini hidup Aa. Bagaimana dan seperti apa jadinya, Aa yang punya hak penuh dalam menentukannya.)
“Tapi....... Aa sieun keputusan Aa ieu teh malah nganyerikeun banyak orang. Nganyerikeun orang nu di pikanyaah ku Aa atanapi keluarga Aa. Mamah sareng Abah.. Aa sieun salah.”
(Tapi……….. Aa takut kalau keputusan yang Aa ambil nanti akan menyakiti banyak orang. Menyakiti orang yang Aa sayang, atau juga keluarga Aa. Mamah dan Abah… Aa takut salah…)
Mamah mendesah mendengarku, “Aa teu kenging sieun. Kadang-kadang manusia mah memang kedah diajar tina kasalahan. Sanes mamah miwarang Aa berbuat salah. Aa teh kedah mikirkeun dengan baik tindakan Aa. Henteu heun nurutkeun hawa nafsu bae. Oge emosi. Lamun engkena keputusan Aa teh salah, nya sahenteuna Aa teh meunangkeun pelajaran anu berharga ti dinya. Sareng pelajaran sapertos kitu, moal pernah aya di bangku sakola ataupun di kuliah. Pelajaran hidup anu urang dapatkeun saat urang ngajalanina.”
(Aa tidak boleh takut. Terkadang manusia memang harus belajar dari kesalahan. Bukannya Mamah menyuruh Aa untuk berbuat salah. Aa harus memikirkan dengan baik tindakan Aa. Tidak hanya menuruti hawa nafsu saja. Juga emosi. Kalau toh nantinya keputusan Aa itu salah, setidaknya Aa akan mendapatkan pelajaran yang berharga darinya. Aa akan mengetahui kebenaran pada akhirnya. Hal itu akan menjadi modal bagi Aa untuk melangkah ke depan. Dan pelajaran seperti itu, tidak akan pernah Aa dapatkan di bangku sekolah ataupun kuliah. Pelajaran hidup kita dapatkan saat kita menjalaninya.)
“Jadi mamah teh ngawioskeun Aa berbuat salah?”
(Jadi Mamah teh membolehkan Aa untuk melakukan kesalahan?)
Mamah tersenyum arif, “Mamah sareng abah tos berusaha masihan bekel sareng ajaran anu cukup ka Aa. Mamah teh tos yakin kalo Aa terang mana anu leres mana anu salah. Mamah serahkeun sadaya keputusan na ka Aa. Karena Aa anu ngajalanina. Aa nu bade ngarasakeun pahit getir ataupun manis na engke. Sanes mamah ngawioskeun Aa berbuat salah. Mamah heun ngawioskeun Aa untuk menempuh hidup sesuai sareng nu dipika hoyong ku Aa. Itu bae.”
(Mamah dan Abah sudah berusaha memberikan bekal dan ajaran yang cukup bagi Aa. Mamah teh sudah yakin kalau Aa tahu, mana yang benar dan mana yang salah. Mamah menyerahkan semua keputusan pada Aa. Karena Aa yang menjalaninya. Aa yang akan merasakan pahit getir ataupun manisnya nanti. Bukannya Mama ngebolehin Aa berbuat salah. Mamah hanya membolehkan Aa untuk menempuh hidup sesuai dengan yang Aa inginkan. Itu saja.)
Aku hanya mampu mengangguk untuk menjawab beliau. Aku hendak kembali mengatakan sesuatu, namun urung saat ponselku berbunyi. Nama Zaki muncul di layar ponsel. Aku termangu menatap ponsel itu seakan-akan baru pertama kali melihatnya.
“Ari Aa, kunaon eta teu diangkat? Kali aja penting. Saha eta?” Tanya Mamah dengan nada heran.
“Zaki, Mah,” jawabku setelah terdiam beberapa lama.
“Nya angkat atuh A. Salam oge ti mamah nya? Taros iraha tiasa ameng deui ka dieu. Tos kangen Mamah teh jeung si kasep eta. Mamah ka lebet heula nya? Bade nyiapkeun kopi kanggo Abah.” pamit Mamah.
(Ya angkat atuh A. Salam juga dari Mamah nya? Tanya kapan bisa maen kesini lagi. Sudah kangen mamah sama si Ganteng itu.. Mamah masuk dulu ya? Mau siapin kopi buat abah)
Aku nyaris tak mendengar beliau pergi. Deringan ponselku berhenti, namun kembali berbunyi dalam hitungan detik. Aku tahu kalau aku harus mengangkatnya. Perlahan aku mendekatkan ponsel itu ke telingaku, “Ha-halo…..” kataku sedikit gemetar.
“Aku berada di kost-anmu, tapi kau tak ada disini. Where are you?” Tanya Zaki langsung, cepat. Suaranya terdengar sedikit teredam dan diselingi derum kendaraan yang sepertinya lewat. Mungkin dia ada didalam mobilnya yang dia parkir didepan kostan.
“Kau…….sudah pulang? Bagaimana Regi dan yang lain?” tanyaku balik tanpa menjawabnya.
“That’s not what I asked. Where are you?”
UGH!!! Kumat lagi sifatnya itu, “Di rumah,” jawabku akhirnya ketus, tapi sedihnya justru terdengar seperti anak kecil yang sedang merajuk. Sial! Diam sejenak.
“Ada apa dengan Abah? Is he bad?”
“Huh?”
“Agus? Ada yang salah dengan lukanya?”
“No! They’re fine!” sahutku kesal dengan geraham terkatup, mencoba menahan diri. Setidaknya dia khawatir akan keadaan keluargaku kan?
“Are you okay?”tanya dia lagi.
Kali ini aku yang tidak langsung menjawab. Aku mendesah pelan sembari menendang-nendang tanah di kakiku, “I’m fine!” jawabku. Dan lagi-lagi terdengar seperti sebuah rajukan.
“Aku akan kesana. Tunggu aku.”
“What? Zake, tunggu! Kau tak…”
Dia sudah memutuskan panggilannya. Aku menghembuskan nafas kesal sembari melihat jam yang tertera dilayar ponsel. Jam 1. Jadi kemungkinan sore dia baru akan sampai kesini. Belajar dari pengalaman, tak ada yang bisa kulakukan kalau dia sudah membuat keputusan. Jadi mungkin sebaiknya aku memberi tahu Mamah agar beliau bisa mempersiapkan hidangan.
Sisa hari itu kulewatkan dengan duduk resah di teras rumah, menunggu kedatangannya. Aku mungkin tak akan beranjak dari sana kalau saja Mamah tidak memintaku untuk mandi. Aku hanya menurutinya agar beliau tidak memarahiku. Begitu selesai dan berganti baju, aku segera kembali ke depan. Kali ini aku malah menunggunya dijalanan. Aku berjalan hilir mudik tak jelas sambil sesekali menoleh kearah selatan, dimana dia akan muncul nantinya.
Akhirnya, pada pukul 4 kurang, aku melihat mobilnya yang melaju di kejauhan. Debu-debu yang mengepul dibelakang mobilnya seperti iring-iringan kabur yang bergerak abstrak. Semakin dekat mobil itu ke arahku, semakin keras debaran jantung di dadaku.
Sial!!!
Sepertinya aku sudah tak bisa melepaskan diri lagi!
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoirs : The Triangle [ BoyXBoy] [Completed]
Teen FictionRegha, seorang anak kuliahan dari Majalengka terjebak dikisah dilema dimana perang batin dan akal menyelimutinya. Zaki, Seorang Konglomerat yang begitu membenci Regha karena kecerobohannya menyebabkan mobilnya ringsek Rizky, Seorang Dokter yang meng...