ZAKI
Sesekali aku melirik Regha yang duduk disebelahku dengan tenang. Atau lebih tepatnya lemas. Dia seakan-akan tak bertenaga. Tapi setidaknya, wajahnya sudah lebih berwarna lagi. Aku hampir saja tak bisa menahan diri melihatnya yang seakan-akan kehabisan nafas dan muntah-muntah tadi. Untung saja waktu itu kami berada di pinggir jalanan yang sepi. Jadi tak ada orang yang menghentikan mobilnya. Untuk beberapa lamanya aku hanya bisa memeluk Regha dan berkali-kali menggumamkan kata-kata untuk menenangkannya. Mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Hingga kemudian tubuh Regha yang menegang menjadi tenang. Tapi dia begitu lemas, sehingga kalau aku tidak menopangnya, dia mungkin akan jatuh ke tanah. Dia dapat menguasai diri setelah beberapa menit. Aku sendiri kemudian mencoba membujuk Regha ke rumah sakit terdekat untuk di periksa, tapi Regha menolaknya.
Dengan pelan dia meminta maaf akan sikapnya dan mengatakan kalau dia hanya mengalami serangan panik. Dia terlihat.............. seperti orang yang kalah. Mungkin itu pilihan kata yang salah dalam menggambarkannya. Tapi kata itu yang terlintas saat ku lihat bagaimana dia setelah bisa menguasai diri. Aku tak mengerti dan hanya bisa mencemaskannya.
Menyakitkan melihat dia seperti tadi.
"Hei....." panggilku dan menoleh sekilas padanya, "Kenapa nggak tidur saja?" tawarku. Sedari tadi dia hanya duduk lemas dengan mata terbuka dan kosong.
Regha menoleh padaku dan menggeleng, "I'm fine," jawabnya singkat. Suaranya terdengar sedikit serak.
Aku terdiam. Tak tahu harus mengatakan apa. Tidak tahu harus melakukan apa agar membuat dia menjadi lebih baik.
"Maaf," kata Regha kemudian, membuatku kembali berpaling padanya dengan sebelah alis terangkat. Regha menoleh padaku dan mencoba tersenyum, "Aku.............kacau sekali tadi. Kau pasti menganggapku....... keterlaluan."
"What? No!! Wajar saja kok. Hubunganmu dengan Abah dan Agus sangat dekat. Tentu saja normal kau mengkhawatirkannya. Plus, kau tidak bisa berada disana untuk merawat mereka karena kau mempunyai kewajiban lain. Meski konsep keluarga yang sedekat itu asing dan tak pernah ku alami, aku bisa memaklumi keinginanmu." Hebat! Aku ngoceh tak jelas, pikirku kecut.
"Bukan hanya itu Ki," kata Regha pelan setelah terdiam beberapa saat, "Aku..............baru saja menyadari beberapa hal yang selama ini tak pernah ku akui. Rasanya seperti baru saja terbangun setelah tertidur sekian lama. It's............. scaring me. A lot."
Ku lihat Regha menutup matanya dengan kedua tangan dan menghembuskan nafas berat. Aku kembali mengerutkan keningku. Aku tak mengerti apa maksud kalimatnya. Yang jelas, sepertinya itu bukan hal ringan kalau bisa membuat Regha bereaksi seperti itu, "Okay. Honestly? Aku sama sekali nggak ngerti apa yang kamu maksud barusan."
Dia tertawa sumbang, "Neither do I. Tapi..........pernahkah kau menyangkal sebuah kebenaran yang nyata-nyata ada didepan mukamu?"
Entah kenapa, pertanyaan Regha membuatku merasa tak nyaman dan membuatku bergerak-gerak gelisah di kursiku, "I-I stil don't get it," gumamku pelan.
"Selama ini ada satu hal yang.................. sedikit menggangguku," katanya, lalu diam sejenak, seolah-olah berpikir, dan kemudian tertawa kecut, "Aku kembali menyangkalnya. Ada satu hal yang SANGAT menggangguku. Tapi......... benakku mengingkarinya. Pikiranku secara otomatis, seperti membentuk perisai yang menyangkal semua hal yang jelas berada didepanku. Kebenaran yang nyata-nyata ada, di tolak dengan mentah-mentah olehku. Jauh dalam lubuk hatiku, aku tahu kebenaran itu ada, dan menyadarinya. Aku melihatnya dengan jelas. Tapi pikiranku menutupinya dengan dalih-dalih konyol. Berusaha keras untuk tidak mengacuhkannya."
"Bagaimana bisa?" tanyaku kemudian.
"Karena aku..........takut," jawab Regha pelan, tubuhnya semakin terlihat tenggelam di tempat duduknya saat Regha menekuk dan memeluk kedua kakinya di dada. Sejenak kukira tubuhnya sedikit gemetar. Tapi mungkin aku salah, mungkin aku hanya membayangkannya gemetar karena permainan ilusi singkat bayangan benda-benda yang kami melesat di sekeliling mobil kami. Tapi kemudian dia meluruskan kakinya dan kedua tangannya berkumpul di pangkuannya. Saling menggenggam dan bertautan. Dan kedua tangan itu gemetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoirs : The Triangle [ BoyXBoy] [Completed]
Teen FictionRegha, seorang anak kuliahan dari Majalengka terjebak dikisah dilema dimana perang batin dan akal menyelimutinya. Zaki, Seorang Konglomerat yang begitu membenci Regha karena kecerobohannya menyebabkan mobilnya ringsek Rizky, Seorang Dokter yang meng...