Chapter 37 : Regrets?

3.2K 230 4
                                    

ZAKI

"You are one stupid jerk!" desis Regi geram dan segera berlalu dari hadapanku. Vivi hanya mengikuti, sementara Jordan menatap bingung padaku, tapi kemudian menyusul Vivi. Aku diam disana dengan tubuh yang tiba-tiba saja terasa dingin dan kaku. Aku tak sempat membalas kata-kata Regi tadi. Hanya menatap semuanya dengan pikiran kebas dan kosong. Aku tak tahu pasti apa yang kurasakan, yang jelas, sentakan yang terasa di dadaku hampir-hampir tak tertahan. Aku melepas pelukanku pada pinggang Anna dan kembali ke tempat dudukku. Ku raih gelas jus jerukku sembari merutuki tanganku yang sedikit gemetar.
"Did you have to do that?" tanya Anna yang kemudian mengikutiku.
Aku menoleh padanya, mencoba menampilkan wajah pokerku, "Apa maksudmu?" tanyaku balik.
Anna tak menjawab, hanya menatapku sejenak dan mengangkat bahunya. Dia lalu menyambar gelas yang kupegang dan menandaskannya. Dia kemudian tersenyum puas lalu meletakkan gelas itu didepanku, "Well, it's your life honey. Kau bisa melakukan apapun yang kau inginkan," ujarnya.
"Honestly, aku sama sekali tidak paham apa maksudmu," selorohku.
"I reminded you last night," ujar Justin yang baru kusadari masih duduk didepanku. Sedari tadi dia dan Robin hanya diam saja.
"About what? Oh by the way, Anna. I want you to meet my friend, Justin. Dan itu pacar Justin, Robin,' kataku seraya mengibaskan tangan. Mereka saling memperkenalkan diri dengan sopan. Aku sendiri berusaha menghindari tatapan Justin. Pada akhirnya, dia tampak menyerah dan menghembuskan nafas. Aku hanya nyengir dan mengangkat bahu.
"So, kemana rencananya kita hari ini?" tanyaku.
"Kau .......jadi ikut?' Tanya Robin, terdengar heran.
"Yeah, sure! Why not?" tanyaku balik.
"Tidakkah kau harus menyelesaikan sesuatu Zake?" tegur Justin.
"Apa?"
"Regha?!" ujarnya dengan nada tanya dan sedikit kesal.
Kembali aku mengibaskan tangan, "Oh, he's fine. Regha anaknya memang sedikit ceroboh. Mungkin dia hanya sakit kepala dan membutuhkan istirahat. I'm sure he'll be fine soon," kataku santai.
"Aku harap kau tak pernah menyesalinya Zake," kata Justin setelah terdiam beberapa saat. Aku hanya memutar bola mataku mendengarnya.
"Don't be such a drama," gerutuku pelan dan bangkit, "I'm gonna get ready. Ayo Anna. I'll show you my room," kataku. Anna kembali mengangkat bahu dan mengikutiku.
"Kalian tunggu disini sebentar ok?" kataku pada Justin dan Robin sembari melangkah dengan menggandeng tangan Anna. Berusaha menghapus kejadian beberapa menit tadi dari mataku.


REGHA

Entah berapa lama waktu berlalu. Aku sudah kehilangan orientasi sejak beberapa jam tadi. Yang jelas, aku menyadari Regi dan Vivi sama sekali tak beranjak dari sisiku. Mereka berdua duduk diam disampingku tanpa mengatakan apapun. Hanya tetap berada disana untuk menunjukkan dukungan mereka yang tak terucap padaku. Hingga kemudian keheningan diantara kami dipecahkan oleh dering ponselku.
Aku bangkit dari tempat tidur dengan tubuh kaku, nyaris tak bisa digerakkan. Regi yang akhirya ikut bangkit dan menyerahkan ponselku yang tadinya ku letakkan dimeja. Aku menyambutnya dengan senyum tipis. Ada nama Asti yang muncul dilayar. Dan detik itu juga, aku seakan-akan baru diingatkan bahwa aku masih memiliki mereka, keluargaku. Tempat perlindungan terakhirku. Tempat dimana aku mendapatkan bantuan, kapanpun aku butuh. Bahkan saat dunia dan seluruh isinya memusuhiku.
"Assalamu'alaikum..." sapaku dengan suara sedikit bergetar.
"Wa'alaikumsalam.Halo, Aa?" suara Mamah dari seberang menjawabku. Dan hanya dengan mendengar suaranya, leherku kembali terasa tercekat. Aku kembali merasa begitu cengeng dan lemah. Rasa-rasanya suara beliau menarik jiwaku.
"Mah....." hanya itu yang sanggup aku katakan. Kalau aku meneruskannya, sudah dapat dipastikan aku akan kembali merengek.
Mamah diam sejenak mendengar suaraku, "Aa tidak pulang?" Tanya Mamah akhirnya setelah aku menunggu dengan sedikit tegang. Tak ada pertanyaan atau apa. Tapi sepertinya Mamah telah memberitahu dengan jelas, apa yang harus aku lakukan. Beliau seperti mengajukan jawaban dari pertanyaan yang tidak aku ajukan.
"Iya Mah. Aa segera pulang," jawabku, berusaha sebisa mungkin agar suaraku terdengar biasa.
"Diantosan nya?" ujar Mamah yang segera kuiyakan. Beliau langsung pamit dan menutup telepon, seakan-akan tahu, kalau tak ada lagi yang bisa aku katakan. Aku berpaling pada Regi dan Vivi yang kembali menatapku dengan mata iba. Membuatku semakin merasa kecil dan nelangsa.
"Gue harus pulang," hanya itu yang bisa aku bisikkan dengan lirih pada mereka.
Regi bangkit dari duduknya dan kembali duduk dipembaringan, tepat disisi kananku. Tangan kirinya terangkat dan menyentuh bahuku. Dia meremasnya dengan pelan, "Gue tahu kalau saat ini, gak akan ada kalimat penghiburan yang bisa bikin lo ngerasa lebih baik. Gue bisa berempati akan shock yang lo rasain. Setelah melewati masa-masa penyangkalan dan dalih yang berulangkali lo katakana, pada akhirnya kini, lo bisa menerima dan mengakui apa yang lo rasain. Dan............. lo kudu ngeliat hal tadi. Gue bisa tahu kalo lo sakit."
"Gi.."
"Tapi lo kudu inget juga satu hal," potong Regi mendahuluiku, tahu bahwa sebenarnya aku tak ingin membahasnya, "Masa-masa penyangkalan, tak percaya dan berusaha mencari dalih yang lo lakuin en rasain dulu..... hal itu juga mungkin sekarang dialami ma Zaki."
Aku diam. Tak tahu harus menjawab apa. Hanya duduk disana dengan kepala tertunduk.
"Hal ini bukan hanya berat bagi lo Gha. Gue tahu dan yakin, Zaki juga merasakannya. Dia bahkan mati-matian buat ngeyakinin dirinya bahwa dia gak ngerasain apa yang lo rasain sekarang."
"Gue kira dia sudah menunjukkan dengan jelas bahwa lo salah Gi," kataku pelan.
"Gha.."
"Gue mau pulang," ganti aku yang kini memotong kalimatnya. Tubuh dan pikiranku terasa penat untuk berpikir. Yang ingin ku lakukan adalah pergi secepatnya dari sini. Kembali ke naungan rumah orang tuaku di Majalengka. Berada kembali pada kedamaian desa disana. Jauh dari semua ini, "Gue harus pulang," kataku lagi. Kali ini dengan nada yang lebih tegas.
"Lo inget aja apa yang Regi katakana tadi Gha," cetus Vivi yang akhirnya membuka suara. Dia menatapku dengan senyum mendukungnya, "Karena gue juga berpikiran sama. He's in denial. Dan gue kira hal itu wajar. Gak ada satupun dari kalian, elo maupun Zaki yang berpikiran buat jatuh cinta pada sesama cowok. Dia juga ngerasain apa yang dulu lo rasain."
"Gue harus pulang," kataku lagi cepat, pura-pura tak mendengar kalimat Vivi tadi dan bangkit, "Maaf, gara-gara gue kalian gak jadi jalan-jalan. Tolong sampein maaf gue ke Nick dan juga Jordan, ok?!" kataku dan mengambil tas ranselku dari kloset kecil yang ada di sisi pembaringan. Tapi kemudian aku ingat satu hal. Aku meraih dompetku dan mengeluarkan kartu kredit Zaki yang semalam lupa aku kembalikan. Aku mengulurkannya pada Regi.
"Ini punya Zaki?" Tanya dia yang kemudian ku jawab dengan anggukan, "Terus, lo ada uang buat beli tiket?"
Aku tercenung sesaat dan berbalik pada menghadap mereka kembali. Baru aku sadari kalau kantongku super cekak saat ini, "Maaf, bisa kalian pinjamin gue..."
"Biar gue yang urus," serobot Regi dengan tersenyum, "Lo packing aja. Gue kasih tau Nick bentar kalo gue mo anter lo ke bandara, ok?" ujarnya dan segera bangkit.
"Gue ke Jordan dulu. Kita tunggu dibawah ya?" kata Vivi yang juga bangkit menyusul Regi. Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Aku harus segera pergi, batinku dan kembali memberesi barang-barangku.


Memoirs : The Triangle [ BoyXBoy] [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang