Aftermath Chapter 43 : Regha

6K 252 19
                                    

REGHA

Orang bilang, pacaran itu enak, bikin ketagihan dan bikin lupa yang lainnya. Pacaran tuh bikin dunia serasa milik berdua, sementara orang lain cuma ngontrak! Tapi kalau aku ditanya, saat ini pacaran itu MEMBINGUNGKAN!!!
Mungkin kalau aku pacaran dengan Emma atau yang lain, semuanya akan menjadi lain. Aku sedikit tahu dan punya bayangan akan apa yang harus aku lakukan pada cewekku nantinya. Tapi……aku pacaran dengan Zaki yang boleh dibilang adalah sebuah enigma. Bagiku, dia juga seorang sosok, yang tak akan mungkin bisa memiliki hubungan dengan manusia seperti aku.
Yang pertama, dari fisik, dia sudah mendapat pengakuan dari berbagai kalangan. Kalo dibandingin denganku…..? Mungkin hanya butuh waktu satu detik bagi orang untuk memutuskan hasilnya, kalau dia harus memilih salah seorang dari kami.
Kedua, dia berasal dari kultur berbeda dengan aku. Dia tumbuh dengan pola pemikiran yang mungkin jauh lebih modern, liberal dan frontal. Aku tumbuh di Majalengka, yang boleh dibilang masih kental budaya ketimurannya. Dalam bergaul, kami yang hidup disana, masih memiliki norma dan batasan yang jelas. Aku tahu kalau hal itu berlaku bagi pasangan berbeda jenis, tapi kan tetap saja. Bagiku yang tumbuh dan besar dengan budaya timur, semua hal itu tetap berlaku.
Zaki memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak dan lebih lengkap dibandingkan denganku. Aku sudah menjadi saksi hidup, bagaimana gaya berpacarannya. Sementara aku, ciuman baru sekali. Itupun dengan Zaki dan dalam situasi yang tidak kondusif. Waktu itu Zaki menciumku hanya untuk membungkam dan mengejekku. Aku benar-benar minim pengalaman. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Aku tak mau kalau sampai Zaki berpikiran bahwa dia punya pacar seorang pengidap autis akut. Yang membawaku ke poin ke tiga.
Aku merasa bahwa kami berbeda kelas. Dan Zaki, menurutku, lebih pantas bersama dengan orang yang memiliki kualitas jauh lebih baik dariku. Semua hal yang menempel di tubuh Zaki meneriakkan kelas elit yang jelas. Cara dia bersikap, berpakaian, berbicara ataupun berjalan. Semuanya. Rasa-rasanya aku hanya menjadi upik abu konyol kalau bersanding dengannya. Seringkali aku merasa rendah diri. Bahkan, terselip rasa tak tak percaya bahwa kami benar-benar ‘bersama’.
Dan ternyata………….aku tidak sendiri dalam hal ini. Zaki sendiri juga jelas mendapatkan sedikit ‘kesulitan’ saat beradaptasi denganku. Contohnya saja kejadian pas dia main ke kostku.
Waktu itu Zaki memang memberiku kabar kalau dia akan maen dan kebetulan saja Regi dan Vivi juga lagi bareng disana untuk menyelesaikan artikel bulletin kampus. Kami berempat duduk santai di serambi kostan. Ngobrol dan sesekali bercanda.
Saat itu lewat Mas Bagus. Pedagang sate keliling yang asli dari Madura dan berwajah arab gelap. Regi yang beberapa kali pernah mencicipi kelezatan sate Madura-nya langsung saja bangkit dan berteriak heboh memanggil Mas Bagus. Banci sarap yang satu itu emang kadang suka menggoda Mas Bagus yang menurutnya berwajah manis. Keduanya sudah cukup akrab untuk ukuran penjual dan pelanggan. Mas Bagus terkadang suka membalas godaan Regi dengan tak kalah serunya.
“Mas ikke mawar dong satenya. Yang pedes ya? Lapangan bola nehh. Kalian mawar juga kan?” tawarnya pada Vivi dan aku yang segera saja mengangguk antusias.
Saat itu Zaki hanya mengangkat bahu dan kemudian berpaling padaku, “You know what, sometimes I don’t get him. Dia terkadang berbicara dengan pola kalimat yang absurd dan sulit dimengerti. It’s like he’s talking with a different language,” tukasnya dengan kening berkerut.
Vivi tergelak kecil, “Itu bahasa gaul, Ki.”
“Bahasa gaul? Is that a new languange?”
“Nope! Bahasa gaul sebenarnya hanya pengembangan dari bahasa Indonesia yang sudah ada. Bahasa gaul lebih sebagai bahasa yang digunakan untuk kalangan tertentu. Sejenis bahasa sandi yang menggunakan kata-kata yang sudah ada, tapi bermakna lain. Semua orang sudah pake kaleee,” seloroh Regi yang sudah kembali duduk disebelah kami untuk menunggu satenya.
“Tapi kenapa tak ada satupun selain kamu yang menggunakannya?” tanya Zaki bingung.
“Karena cuma anak gaul yang hip dan up to date yang bisa menggunakannya. Gampang kok. Misalnya saja kalau kamu mau beli sate kayak aku tadi, kamu hanya harus bilang, ‘Mas, akika mawar makasar satenya juga. Lapangan bola nih,’. Yang kalau diartikan dalam bahasa baku berarti, Mas, aku mau makan satenya juga ya? Lapar berat ,” celoteh Regi lancar yang membuat aku dan Vivi cuma mesem mendengarnya.
“Akika….mawar makasar sate? Lapangan bola?” ulang Zaki dengan kening sedikit berkerut.
“Yup!!” sahut Regi yang kemudian bangkit dipanggil Mas Bagus. Aku dan Vivi Cuma saling menatap dan menggelengkan kepala dengan keisengan Regi, lalu kembali mengetik artikel kami yang hanya perlu sedikit editing.
Dan kami berdua langsung terlengak kaget saat beberapa detik kemudian kami mendengar Zaki berkata, “Eeeuuh Mas, akika mawar…makasar juga satenya. Lapangan bola.”
Kalau Regi bisa mengucapkan kalimat itu dengan luwes dan gaya yang khas, Zaki mengucapkan kalimat tadi dengan sikapnya yang macho, kaku dan tegas. Aku, Vivi dan Regi yang masih berdiri memegang piringnya, bengong hebat. Bahkan Mas Bagus juga tak kalah kagetnya.
“Ya Allaaaahh, jadi ente banci juga? Gak nyangka ane. Padahal muka bule, cakep, gagah lagi. Ck..ck…ck…” decak mas Bagus dengan suara maduranya yang lantang membahana.
Aku, Vivi dan Regi langsung bangkit, balik arah dan berjingkat pergi dari sana secepat mungkin. Hanya beberapa detik kemudian terdengar raungan keras Zaki yang membahana.
“REGIIIIII!!!!”
Kalian lihat kan? Kadang ku kira Zaki itu cuma salah bergaul. Dia seperti orang yang salah tempat jika bersama dengan kami. Seakan-akan dia lebih pantas bersama dengan orang lain. Mereka yang boleh dibilang lebih beradab dan lebih….sophisticated daripada aku dan teman-temanku.
Dan tak ada lagi tempatku untuk bercerita, selain pada banci sarap satu yang jadi temanku. Regi.
Pertama kali aku memberitahuku akan perasaanku tentang hubunganku dengan Zaki, dengan soknya dia mengangguk paham.
“Lo masih ragu kalau dia beneran suka ma lo apa enggak?” rangkumnya singkat. Menakjubkan bagaimana dia bisa menyingkat cerita panjangku selama hampir setengah jam itu dengan sebuah kalimat tanya. Tapi memang itu benar kan? Aku boleh dibilang memang ragu akan semua ini.
“Gue…”
“Ragu…” timpal Regi kalem.
“Gi, dia bisa ngedapetin siapa aja yang dia mau. Cowok ataupun cewek. Gak akan aneh misalnya kalo dia jalan ma Jordan. Mereka lebih pantas..”
“Dan Vivi pasti bakal ribut ngajak gue ke dukun buat nyantet Zaki kalo aja dia ngegaet Jordan,” selanya kemudian. Mau tak mau aku jadi tertawa kecil mendengarnya.
”Sarap lo!” gerutuku.
“Gha, dia emang bisa ngedapetin siapa aja yang dia mau. Tapi dia kan cuma mau ma elu.”
“Gi…”
“Iya gue tahu,” sergahnya, memotong rengekanku, ”Gini aja. Gue punya ide. Gue akan bawa kalian berdua ke suatu tempat. Weekend ini kita kesana. Kita test kesiapan dan kesungguhan kalian berdua dalam menjalin hubungan ini. Gue tahu ini sangat baru dan aneh buat kalian berdua. Jadi wajar kalo kalian ngerasa gak karuan begini. Anggap aja gue jadi guide kalian berdua, ok?”
Aku bengong saat dia menggunakan kata ganti orang ketiga jamak pas bicara tadi. Padahal awalnya dia cuma menggunakan kata ganti orang kedua. Regi sepertinya tahu kalau aku merasa heran. Karena dia kemudian memberikan isyarat padaku untuk menoleh ke belakang.
Hatiku mencelos saat kulihat Zaki berdiri dipintu masuk ruang redaksi yang sepi. Jelas dia sudah mendengar semuanya. Aku sudah khawatir kalau dia akan meledak seperti biasanya. Tapi cowok itu hanya berjalan mendekat untuk kemudian berhenti disebelahku.
“Sure! Aku siap pergi,” ujarnya singkat dan meletakkan satu tangannya dibahuku. Regi tersenyum dan kemudian berpaling padaku dengan tatapan tanya.
Akupun akhirnya mengangguk untuk menyanggupinya.
******************************************************************************************

Memoirs : The Triangle [ BoyXBoy] [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang