RIZKY
Suara tone ponsel yang mengalunkan sebuah karya musik Mozart membangunkanku. Aku mengerang sembari menutup telingaku dengan bantal. Suara itu tak berhenti. Dengan susah payah aku mencoba membuka mataku yang sangat berat.
Siapa sih yang nelpon jam segini? pikirku jengkel. Kemaren adalah hari yang sangat melelahkan. Dokter Stevan tak masuk karena ada seminar di Jakarta. Ferdy tiba-tiba izin tidak masuk juga. Sialnya, hari itu banyak sekali jadwal pasien lama, sementara beberapa pasien penyakit dalam baru, tiba-tiba saja menyerbu. Aku dan yang lain dibuat cukup kelimpungan. Kami bahkan harus melewatkan jam istirahat kami. Dan aku sudah memutuskan untuk tidur nyenyak sesampainya dirumah, tapi ponsel sialan itu lupa kumatikan, dan sekarang sedang berbunyi nyaring membangunkanku.
Aku melihat jam digitalku yang juga berfungsi sebagai alarm. Jam 4.30 pagi?!!!! Gila!! Siapa sih?!!! Dengan terseok aku bangkit menuju meja belajar, tempat aku menaruh ponselku semalam. Keningku berkerut saat melihat nama Ferdy yang muncul di layar. Aku segera mengangkat panggilannya.
"Rizky?" sapa Ferdy di seberang dengan suara pelan yang terdengar lelah.
"Ada apa, Fer?" tanyaku balik dengan suara berat oleh kantuk yang masih menggelayut.
"Maaf membangunkanmu. Tapi......... bisa tolong jemput aku di bandara sekarang?" pintanya.
Aku tak langsung menjawab, tapi duduk di kasurku dan mengucek mataku, "Bandara?" ulangku tak mengerti. Namun beberapa saat kemudian aku baru sadar kenapa kemarin Ferdy tak masuk.
"Ya, Bandara," sahut Ferdy.
"Aku akan segera kesana. Tunggu, ok?" kataku dan segera mematikan ponsel. Aku langsung ke kamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi. Setelah berganti pakaian aku keluar ke kamar dan melihat Ibu yang sepertinya baru saja shalat. Beliau masih mengenakan mukenanya.
"Mau kemana Ky?" tanya Ibu heran.
"Ada temen yang minta bantuan buat dijemput di Bandara Bu. Rizky keluar dulu," pamitku sembari buru-buru pergi.
"Hati-hati Ky!!" pesan Ibu yang hanya kujawab dengan gumaman pelan.
Aku melajukan mobilku dengan cukup kencang di jalanan Bandung yang saat ini begitu lengang. Kontras dengan suasana siangnya yang hiruk pikuk dan macet. Lampu-lampu lintas yang kulewati memberi ilusi sekilas seakan-akan mereka menggantung di udara yang dingin. Pikiranku yang sudah siaga melayang ke beberapa hari kemaren.
Setelah pembicaraan kami yang cukup intens waktu itu, Ferdy lebih banyak menghindariku. Dia selalu mengusahakan agar saat bersamaku, minimal ada 1 orang lain lagi bersama kami. Aku mencoba kembali mengajaknya bicara, tapi Ferdy menolaknya. Dia akan memilih meningalkanku kalau aku mulai membicarakannya. Karena tak tahan dengan perlakuannya, suatu malam, aku muncul didepan pintu kontrakannya.
Begitu melihatku, Ferdy langsung berusaha menutup pintu. Tapi aku bergerak lebih cepat dan menahan pintu itu dengan satu kakiku.
"Fer, kita harus bicara!" kataku.
"Tak ada yang harus kita bicarakan Ki. Tolong cabut kakimu," pintanya pelan dengan nada final.
"Ada yang harus kita bicarakan, kau tahu itu! Buka pintunya!!" pintaku dengan kejengkelan yang tak lagi ku sembunyikan.
Ferdy menampakkan sedikit wajahnya di pintu, "Tolong jangan buat semuanya bertambah sulit. Please," pintanya pelan dengan mata memohon.Kalau dia mengira tatapannya itu membuatku menuruti permintaannya, Ferdy salah besar. Dengan tindakannya itu, dia makin meyakinkanku bagaimana perasaannya yang sebenarnya. Dia tak akan bisa bertahan dengan semua ini. Aku yakin dia akan makin menderita. Jelas-jelas dia keberatan dengan keadaannya. Perasaan geram yang sedari kemarin ku tahan akhirnya memuncak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoirs : The Triangle [ BoyXBoy] [Completed]
Teen FictionRegha, seorang anak kuliahan dari Majalengka terjebak dikisah dilema dimana perang batin dan akal menyelimutinya. Zaki, Seorang Konglomerat yang begitu membenci Regha karena kecerobohannya menyebabkan mobilnya ringsek Rizky, Seorang Dokter yang meng...