Chapter 39 : Confusion

3.3K 216 1
                                    

ZAKI

Aku tahu kalau aku seharusnya merasa lega. Regha tak menuntut apapun dariku. Dia tidak mengungkapkan perasaannya ataupun menunjukkan perasaanya itu melalui sikap. Dia justru berusaha terlihat dan bersikap normal. Meski dia jelas menahan diri. Dia berusaha untuk tidak berada dalam satu ruang denganku terlalu lama. Berusaha berbicara denganku hanya seperlunya. Di kampus aku nyaris tidak pernah melihatnya. Bahkan saat kami berangkat bersama ke Panti, dia selalu menyibukkan diri. Meski aku sudah membawa sopir dan dia bersamaku di kursi belakang, dia akan selalu melakukan sesuatu. Entah memeriksa berkas, mendengarkan mp3, mengetik sesuatu di laptopnya, ataupun bermain dengan hapenya. Seharusnya aku merasa tenang kan?
Tapi, tidak! Aku justru merasa dijauhi dan tidak tenang. Beberapa kali aku mendpati diriku mencoba untuk menarik perhatiannya. Mengajaknya ngobrol tentang pekerjaan atau yang lainya. Dia akan menjawabnya dengan singkat dan cepat. Dan, begitu sudah tak ada lagi yang aku bicarakan, dia akan segera berlalu pergi.
UGH!!!!
Kami jadi lebih mirip seperti pasangan yang sedang perang dingin.
Akhirnya aku menyerah. Aku mencoba mengalihkan perhatianku pada Anna. Dia sedikit bisa menemaniku. Dan hari ini, dia kembali menginap dirumahku setelah kami berpesta semalaman yang dilanjutkan dengan pesta panas pribadi kami di kamar.
Aku harus mengatakan kalau dia adalah partner bercinta yang menakjubkan. Anna tahu bagaimana memuaskan pasangannnya. Dia bisa melakukan hal-hal yang aku kira tak akan pernah mau dilakukan oleh seorang cewek. Kreatifitasnya dalam bercinta hampir membuatku mengangkat alis. Begitu mengagumkan bagaimana dia bisa menemukan hal-hal berguna yang bisa dilakukan dan dijelajahi dari tubuh seorang pria. Dan bersamanya, aku bisa mendapat sedikit ketenangan. Pagi ini aku kembali bangun dengan tubuh lemas dan lelah.
Aku turun ke bawah tanpa mandi terlebih dulu karena jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Regha pasti sudah menungguku diruang kerja. Dan benar saja, dia sudah tampak mengetik sesuatu di laptopnya saat aku membuka pintunya.
“Aku sarapan dulu,” kataku lemas. Regha mengangkat wajahnya dan melihatku dengan tatapan tak suka. Ahh, persetan! Dia tahu kalau aku mengencani Anna. Lagipula dia sudah bisa menerimanya kan?
“Ada beberapa berkas yang harus kau periksa dan tanda tangani,” katanya seraya kembali memalingkan wajahnya ke screen. Tidak bisakah dia menatap wajahku sedikit lebih lama dari itu? pikirku kesal.
“Bawa ke ruang makan,” sahutku pendek dan melangkah mendahuluinya. Di ruang makan ternyata sudah ada Anna yang menungguku. Dengan hanya mengenakan piyama dengan belahan dada rendah, dia duduk sembari mengoleskan mentega di roti panggangnya.
“Kau mau?” tawarnya. Aku hanya mengangguk sembari duduk lesu dihadapannya. Kusambar gelas susu didepanku dan menandaskannya. Tak berapa lama Regha muncul. Semula dia tampak ragu saat dia melihat Anna.
“Hai, Regha. Sarapan?” tawar Anna.
Regha hanya menggeleng, “Te-terimakasih. Aku sudah tadi,” jawabnya dan mengangguk kikuk. Aku hanya mendengus dan memberinya isyarat untuk duduk.
“Mana berkasku?” tanyaku langsung. Regha mendekat dan duduk dalam jarak dua kursi dariku. Apa dia akan tertular penyakit kalau duduk disebelahku? Pikirku kesal. Aku lalu meraih berkas yang dia sodorkan. Memeriksanya sembari melahap sandwich yang tadi dibuat oleh Anna.
“Kalian akan ke Panti?’ Tanya Anna.
“Yup!” jawabku, sementara Regha mengangguk, “Biasanya kami sudah berangkat. Tapi kau semalam kau membuatku kelelahan. Jadi kami terlambat,” sambungku lagi. Ku lihat punggung Regha tiba-tiba saja menegang dan tegak. Aku hanya meliriknya sekilas.
Anna mengangkat sebelah alisnya padaku, “Kau kelelahan?”
“Three times is quite amazing, you know,” godaku dengan senyum simpul, “Lagipula siangnya aku cukup banyak pekerjaan. Jadi wajar saja kalau tadi malam menguras tenagaku. But I can promise you, lain kali, kau yang akan kelelahan.”
“You do know that we have a company now, don’t you?” tukas Anna dengan kening berkerut.
Aku megibaskan tangan sembari mengunyah rotiku, “Please, Regha tak akan tertarik dengan hubungan kita. Dia menyukai hal lain,’ selorohku singkat, sedikit tertawa kecil saat Regha kembali menegang.
Anna tak mengatakan apa-apa lagi dan melanjutkan makannya seolah-olah tak mendengar apapun. Regha juga tak mengatakan apa-apa. Dia diam disana sembari menyibukkan diri dengan berkas-berkas yang telah aku periksa dan tanda tangani, meski aku tahu dia sudah melakukannya tadi. Baru saat kami melaju dijalanan dia mengajukan ketidak sukaannya.
“Kau tak harus mengatakannya kan?” tegurnya singkat.
“Soal apa?” tanyaku acuh sembari memainkan ponselku.
“Hal yang kau katakan tadi pada Anna tentangku,” sahutnya lagi.
Aku menoleh dengan sebelah alis terangkat, “Memang apa yang ku katakan? Bahwa kau gay dan menyukaiku? Tidak kan?”
Aku tahu kalau aku mungkin sudah keterlaluan dan melewati batas. Wajah Regha terhenyak dan memucat. Dia melirik pada Pak Adam yang aku yakin mendengar kami dengan jelas karena dia melirik dari spion mobil. Punggung Regha kembali menegak. Tapi aku hanya menatapnya dengan mulut tersenyum mengejek. Well, setidaknya aku mendapat sedikit reaksi darinya, pikirku.
“Ada apa denganmu?” desisnya pelan.
Aku memutar bola mata, “Well, I didn’t say the words, did I? Aku hanya mengatakan bahwa kau menyukai hal lain. I said nothing about sex. Kau sudah tahu bahwa kita memiliki pandangan yang berbeda akan hal itu. Kau sudah menegaskannya beberapa waktu yang lalu,” sahutku santai.
“What the hell is wrong with you?” desis Regha lagi, “Haruskah kau mengatakan tentang itu sekarang?”
“Excuse me, bukan aku yang memulainya bukan? Kau yang bertanya, aku hanya mencoba menjawab.Kenapa kau marah?”
“Aku kira kau cukup terpelajar dengan mengatakan sesuatu itu dalam bahasa yang layak. Kita tidak sendirian sekarang kan?”
“Look, kalau kau tak suka akan jawban yang mungkin akan kau dengar, lebih baik kau tak usah bertanya, ok?” selorohku kesal.
Regha menatapku geram. Ku kira dia akan meledak dan memberiku alasan lain untuk memancingnya, tapi Regha hanya menarik nafas dan kemudian bersandar dengan mata lurus ke depan. Aku hanya mengangkat bahu acuh dan kemudian meneruskan bermain dengan ponsel tanpa menoleh lagi padanya. Berusaha menyembunyikan kedua tanganku yang sedikit gemetar.
Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi rasa-rasanya aku memang harus melakukannya. Aku harus bersikap seperti ini. Karena kalau aku tidak begini, kalau aku bersikap lembut padanya, aku akan….
Aku mendengus keras! Mengenyahkan pikiran sinting yang mulai membayang dibenakku!
Dan itu berlaku pada beberapa hari kedepannya. Setiap melihat Regha, rasa-rasanya aku harus terus marah. Mempermasalahkan hal-hal sepele yang sebenarnya tak perlu membuatku meledak. Mengeluarkan kata-kata kasar yang bahkan membuatku bergidik sesudahnya. Menyuruhnya melakukan hal-hal yang sebenarnya tak perlu, dan mencela setelah hasilnya hanya berbeda sedikit dengan apa yang ku inginkan.
Aku benar-benar kesal hanya dengan memandangnya saja. Ada saat-saat dimana aku ingin meraihnya, mengguncang-guncang-tubuhnya, hanya agar dia balas marah dan meledak. Berharap kalau dia akan mengkonfrontasiku. Berharap agar dia marah dan pada akhirnya akan membuat kami bertengkar hebat. Atau mungkin……..berkelahi. Membiarkannya melayangkan bogem padaku. Sepertinya akan sangat melegakan kalau itu terjadi.
Tapi tidak! Bocah sial itu seakan-akan memiliki kesabaran seorang santo! Dia menerima semua perlakuanku dengan diam dan nyaris tanpa ekspresi. Dia menelan begitu saja semua sikapku yang kasar dan bahkan bagiku sendiri, sangat menjengkelkan. Aku yang justru makin lama makin kesal! Sial!!
Hampir setiap hari aku harus selalu mengingat bagaimana kasarnya sikapku. Bagaimana buruknya aku memperlakukannya. Dan bagaimana dengan heningnya, dia menerima semuanya. Aku….kesal! Aku tak tahan. Seakan-akan aku terus menerus, perlahan-lahan justru membuat diriku sendiri terluka. Nyaris gila rasanya. Aku ingin sebentar saja mengenyahkannya dari benakku. Untuk sejenak saja, aku ingin berada dalam keadaan yang tenang, damai dan rileks. Tidak selalu dikejar bayangan dosa dan perbuatanku sendiri.
TAPI AKU TAK BISA!!!!
Seakan-akan ada yang sengaja menyiksaku. Seakan-akan ada orang yang dengan sengaja meletakkan rekaman apa yang telah aku lakukan dan bagaimana wajah Regha. Persis didepan mukaku. Pernah dengan nekat aku menghabiskan sebotol anggur yang kuambil dari tempat penyimpanan sendiri, Hasilnya, pagi sesudahnya kepalaku serasa terbelah dua. Untuk beberapa jam aku hanya diam ditempat tidur. Dan selama aku berbaring itu, mencoba memulihkan hang overku, bayangan Regha kembali bermain dengan kejamnya dibenakku. DAMN!!!!!
“Kenapa kita tidak ke club?!” saran Anna yang malam ini berkunjung ke rumah, “Sepertinya kau butuh sedikit suasana baru. Kau sadar kalau kau terlihat super kacau kan?” celanya dan melenggang masuk kekamarku, melewatiku yang tadi membuka pintu dan hanya diam memandangnya.
“Club? Yang pernah kita kunjungi dulu itu?” tanyaku. Teringat akan club yang menyajikan stripper pria dan wanita dulu itu.
“Yeah! Mungkin suara hingar binger disana akan membuatmu lebih baik. Plus, we can dance and drink, all night!”
“Good idea! I’ll get shower first!” pamitku dan langsung ke kamar mandi. Menghabiskan malam ini ditengah dentuman musik keras, minuman serta kerumunan orang banyak sepertinya akan menjadi solusi yang bagus. Karena itu, dalam beberapa menit kemudian, kami sudah melaju untuk menuju tempat itu.
Dentuman suara musik yang menyambut kami sempat membuatku mengernyitkan dahi. Suasana remang-remang, kilatan lampu dan tubuh-tubuh telanjang yang menari dalam sangkar-sangkar yang bertebaran di beberapa tempat, seakan-akan mengucapkan selamat datang. Tanpa dapat ditahan, aku mengulas senyum. Mungkin hingar bingar seperti ini yang aku butuhkan.
“Kita minum dulu,” ajakku pada Anna yang hanya tersenyum dan menarik tangan kananku. Seperti biasanya, Anna yang sudah dikenal disana disapa oleh bartender kenalannya. Kali ini yang melayani kami bernama Danny.
“Gin and tonic,” pesanku sedikit mengeraskan suara.
“Bagaimana?” tanya Anna yang duduk sembari menggerakkan kepalanya disebelahku.
Aku hanya tersenyum mendengarnya dan menyesap minumanku yang telah datang, “Lumayan. Mungkin aku memang but…..” aku yang sudah merasa sedikit baik langsung tercenung saat kulihat kelebatan tubuh Regha yang sangat ku kenal melintas. Tak mungkin dia ada disini, pikirku dan mengejar orang tadi cepat, “WHAT THE HECK ARE YOU DOING IN HERE?!!” bentakku keras dan menyambar tangannya.
“HEY??!!”  pemuda itu mengibaskan tangannya dari genggamanku dengan kesal. Wajahnya yang semula kaget langsung berupa geram. Dan aku sama sekali tak mengenalnya.
“Sorry,” gumamku cepat dan segera berbalik, kembali ke Anna dengan kesal.
“Siapa?” Tanya Anna heran begitu aku kembali.
“Nobody,” gumamku dan langsung kembali menyambar gelas minumanku dan menandaskannya. Ku beri Danny kode untuk mengisinya kembali.
“Dia mirip Regha sekilas,” ujar Anna yang hanya ku jawab dengan dengusan keras. That’s what I thought.
“Kau punya multivitamin yang biasa?” tanyaku membuat Anna mengangkat sebelah alis. Dia tidak menjawab tapi langsung menarik keluar sebuah tabung obat yang isinya masih cukup banyak.
Aku menyambarnya dan mengambil dua buah pil dan menelannya, “Let’s dance!” ajakku dan menarik tangannya. Anna menurut setelah terlebih dahulu menitipkan tasnya. Dan kamipun menari dengan iringan music elektronik yang menghentak. Kucoba menepiskan bayangan-bayangan kacau yang melintas. Pil-pil tadi cukup membantuku. Kepalaku mulai terasa ringan, apalagi ditambah beberapa gelas minuman yang terus kupesan. Suara-suara berisik disekelilingku mulai terasa kacau. Orang-orang disekeliling kami yang tadinya kulihat bergoyang dengan gerakan dinamis seiring dengan music, kini menjadi pelan, seakan-akan ada orang yang mulai menekan tombol slow. Aku tertawa keras dan memejamkan mata. Kami semua seperti bergerak dalam air.
Aku tertawa, tapi itupun hanya sebentar. Aku kembali melihat sosok Regha yang kini berdiri disebelah bar tempatku duduk tadi. Dia melihatku dengan tatapan tak suka dan nyaris marah. Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Meyakinkan diri bahwa itu memang sosoknya dan bukan bayanganku saja.
Sosok itu masih ada disana. Masih menatap tajam. Bahkan kini sepasang mata itu mencorong dan senyum mengejek tersungging di bibirnya.
Aku mendengus keras dan segera menghampirinya tanpa memperdulikan panggilan Anna. Dan begitu sampai didekat bar, tiba-tiba sosok itu hilang. Lenyap tak berbekas. Aku memandang berkeliling, mencarinya yang mungkin sedang melarikan diri.
Nihil! Aku bahkan tak bisa melihat dengan jelas. Gerakan-gerakan orang disekelilingku makin terlihat kacau. Bahkan bayangannyapun tak terlihat. Tapi mata itu…. Tatapannya yang menusuk itu terus membayang dengan begitu jelasnya.
“Fuck!!!” umpatku kesal dan duduk. Aku lalu meminta Danny untuk memberikan tas Anna tadi. Aku kembali mencari tabung obat itu dan mengambil beberapa butir pil, kemudian langsung menelannya.
Aku tak ingat jelas apa yang terjadi selanjutnya.
Yang jelas aku merasakan panas dan sesak didadaku yang kemudian merambat naik dan terasa mencekik dileherku. Bayang-bayang orang yang bergerak dengan aneh dan suara-suara tak jelas disekelilingku kemudian lenyap mendadak. Digantikan dengan gempa bumi yang begitu keras dan mengguncang-guncang tubuhku dengan hebatnya.
Dan kemudian, hitam!

Memoirs : The Triangle [ BoyXBoy] [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang