ZAKI
Sejak aku mengerti bagaimana berpacaran, ini adalah kali pertama aku tak tahu harus melakukan apa. Biasanya pada setiap kencan, aku akan memulai dengan makan malam dengan suasana yang tenang, dilanjut dengan menghabiskan waktu bersama. Entah itu dirumahku, atau di kamar teman kencanku. Atau kalau tidak, kita nonton dan kemudian melakukan sesuatu didalam cinema dan sesudahnya. I thought I was an expert. Or at least, I know what to do. But with Regha…………..I absolutely have no idea!
I swear it is very confusing! Aku tak mau memperlakukan Regha seperti aku memperlakukan mantan-mantanku yang dulu. First, because he’s a boy. And I’m very aware of that. Dan aku tak mau dia tersinggung dengan menganggapnya sebagai cewek. And second, because I have no experience of being…… a gay.
See? Aku bahkan masih memerlukan waktu untuk terbiasa dengan istilah itu. Menyandangkan nama itu pada diriku saja cukup untuk membuatku mengernyit. I know I will get used to it. Someday.
Hopefully!
Berhubungan dengan Regha sebenarnya cukup ‘menantang’. Banyak hal baru yang aku pelajari dengannya. Selalu ada kejadian unik dan terkadang lucu.
Contohnya kejadian dengan Mommy.
Aku tahu kalau suatu saat aku harus menjelaskannya. Niatku sebenarnya ingin melakukan hal itu dengan caraku sendiri. Pada waktu yang ku anggap tepat. Tapi siapa sangka kalau si ceroboh itu memaksaku untuk bertindak lain. Waktu itu aku masih ingat reaksinya saat aku memergokinya ngobrol dengan Mommy di taman Panti.
“Mom? You’re here?” tanyaku heran. Tak ada berita apapun darinya selama beberapa waktu. Ku kira Mommy masih ada di Australia, menyelesaikan apapun itu urusannya. Siapa sangka kalau dia tiba-tiba saja ada dipanti minggu ini. Terlebih lagi asyik ngobrol dengan Regha.
Tapi jelas Regha tidak tahu kalau wanita yang bersamanya adalah Mommy. Karena waktu itu dia terlihat super kaget. Mulutnya menganga terbuka dan sepertinya hendak mengatakan sesuatu. Tapi tak ada suara yang keluar selain beberapa bunyi vocal dan gumaman tak jelas. Dahiku langsung mengernyit begitu melihat wajah Regha mulai memucat.
“What are you guys talking about?” tanyaku lagi dengan nada sedikit tegang. Jangan katakan kalau mereka sedang membicarakanku! batinku.
“I-I w-was j-just…”
“Hanya membicarakan panti ini. Temanmu yang satu ini memberikan opini yang bagus dan patut untuk diperhitungkan. Menarik sekali,” ujar Mommy santai.
Regha tak mampu mengatakan apapun. Akhirnya dia bergumam, pamit dan kemudian pergi dengan langkah tergesa-gesa. Aku hanya melihatnya pergi. Tercabik antara keinginan untuk menyusulnya dan menghadapi Mommy. Tidak perlu ditanya aku lebih suka melakukan yang mana. Tapi……aku harus menghadapi Mommy. Jadi aku kembali memalingkan wajah padanya.
“Kapan Mommy datang?”
“Tadi pagi. Hampir bersamaan saat kau berangkat kemari” ujarnya dan bangkit. Matanya masih melihat ke arah tempat Regha menghilang tadi, “He’s…………….interesting.”
Tubuhku sedikit menegang saat mendengarnya. Kalau pendapat itu keluar dari Mommy, aku tak yakin apakah itu pujian ataukah kritik. Tapi, persetan! Cepat ataupun lambat, aku toh harus menghadapinya. Jadi, kenapa tidak sekarang saja?
“Mom, kau tahu tentang aku dan dia?”
Mommy melihatku sejenak, “Sedikit,” jawabnya dan berjalan mendahuluiku, “Mungkin kita membutuhkan tempat yang sedikit pribadi untuk membicarakannya, don’t you think?!”
Aku mendengus dan langsung mengikutinya. It’s time to face the devil. Jadi meski aku bisa mengira chaos seperti apa yang akan terjadi, aku melangkah dengan kepala tegak. Menolak untuk terintimidasi. Kami memasuki ruang kantorku yang kedap suara. Dan Mommy menututp pintu begitu aku masuk. Aku sendiri langsung duduk di kursi tamu, menunggunya.
“So……Regha. Anything you want to tell me about him?” Tanya Mommy untuk kemudian duduk didepanku dengan kedua tangan bersatu diatas meja.
“Tentang apa, Mom? Bahwa kami berkencan? Yes, that’s true. Bahwa aku mencintainya? Yes, that’s also true. Aku yakin tak ada hal yang belum kau ketahui,” jawabku dingin.
I caught her off guard, I could tell you that. Mommy kehilangan kata-kata untuk sesaat. Dia cuma duduk disana dengan tubuh kaku dengan mata terbelalak, memandangku kaget. Mungkin dia mengira kalau aku akan mengarang berbagai macam dalih untuk menutupinya. But you’re wrong, Mom. Kali ini kau akan langsung mendengarnya dariku. No cover. No lies! I’m ready! batinku.
“You’re dating?”
“Seperti kau tidak tahu saja,” dengusku.
“Bagaimana dengan gadis-gadis itu? Emma? Anna?” tanyanya sedikit bingung.
See? Dia mengenal dua nama yang bahkan tak pernah ku sebutkan didepannya, pikirku lagi, “What about ‘em?” tanyaku santai.
“Well, don’t you like them?”
“I did! Tapi aku tidak serius dengan mereka, Mom. I’m just being a guy. Melakukan apa yang membuatku senang. Tak ada yang berarti diantara kami.”
Ganti Mommy yang mendengus, “Aku bisa melihat kemiripanmu dengan ayahmu sekarang. Like father like son, I guess. Dan dengan Regha ini kau…………..”
“I’m serious. We. Are. Serious!” jawabku dan menekankan setiap patah kata dari kalimat tadi. Mommy kembali terdiam dengan mata yang tertancap padaku. Aku sendiri menolak untuk kalah dan berpaling. Jadi dengan keras kepala, aku balas menatapnya.
“I guess you are,” gumamnya pelan, “Kalau tidak, tak mungkin kau berhubungan dengan lelaki manapun. Sepanjang yang ku tahu, kau selalu dengan gadis-gadis bebal itu. Kimberly saat kau di Australia. Dia yang paling lama. Disini Emma yang cukup lama mengikatmu. Dan Anna. Tapi tidak ada satupun yang kau biarkan untuk terus berada disamping. Tak ada satupun dari mereka yang tahu tentang panti ini. Sudah berapa lama….?”
“Come on, Mom! Clearly you know it already,” ujarku dengan nada bosan.
“Aku tadi hendak menanyakan, kenapa kau membantunya dengan bekerja disini, Zake. Aku hanya ingin tahu alasanmu membawa Regha kesini. Bukannya kenapa kalian berpacaran.”
Ganti aku yang kini terdiam, “Kau………….tidak tahu?”
Mommy menggeleng, “Yang aku tahu bahwa dia bekerja disini. Dan kau yang membawanya. And yes, aku juga tahu kalau dia telah beberapa kali ke rumah kita. Tapi aku tak tahu kalau ada konteks romantis disana. Ku kira kalian hanya berkawan baik. So, yes. I don’t know. At all!”
Well, SHIT!!!! batinku kaget. Padahal selama ini, Mommy selalu tahu akan segalanya. Bahkan hal yang tidak pernah ku singgung didepannya. Jadi, kukira dia pura-pura saja. Meski kalau dipikir-pikir, wajar saja tak ada yang tahu. Selama ini aku dan Regha lebih terlihat sebagai teman daripada sepasang kekasih. Bukan hanya karena kami sama-sama pria, dan aku sudah biasa terlihat mengencani cewek, tapi juga karena sikap kami. Kami berdua masih kaku dan aku juga belum tahu bagaimana harus memperlakukannya. Jadi baik didepan umum, atau saat kami sendiri, kami hampir-hampir tak pernah terlihat intim. Berpegangan tangan saja jarang, apa lagi berciuman. Jadi…………kalaupun ada yang mengawasi, mereka mungkin mengira bahwa kami hanya berteman. And I just blurted it out to her, pikirku kecut.
“Zake, are you sure with this?” tanya Mommy lagi, membuatku terlempar dari lamunanku.
“Do you think I’m playing?” tanyaku balik.
“I guess, you don’t,” ujar Mommy setelah berpikir beberapa saat lamanya, “Aku tahu kau tak akan mungkin melakukan hal sebesar ini hanya untuk bermain. Kalau kau sudah memutuskan ini, berarti kau sudah yakin.”
Aku kaget mendengarnya. Siapa sangka kalau Mommy memiliki pemikiran seperti itu tentangku. It’s been a really weird day after all.
“Yes, Zake! I notice that. Hanya karena aku tidak berada disampingmu, bukan berarti aku tidak memperhatikanmu. Atau tidak memperdulikanmu,” ujarnya lagi melihat keherananku. Dia berhenti untuk mengusap keningnya dengan gerakan lelah. Dan saat itulah aku melihat guratan samar usia yang mulai tampak di wajahnya. Bagiku selama ini dia hanyalah……Mommy. Wanita super power yang mengendalikan kerajaan bisnisnya dengan segala kekuasaan yang dia miliki. Wanita kuat yang selalu tampak tegas, kaku dan tidak akan menerima bantahan dalam bentuk apapun. Wanita yang selalu terlihat sama.
Tapi kali ini aku melihatnya dari sudut pandang berbeda. Dia wanita berusia hampir setengah abad. Dan aku bisa bersumpah bahwa hari ini, di ruangan ini, dia terlihat lelah dan……menunjukkan usia yang sebenarnya. Bahkan aku tak bisa menggunakan kata tua untuknya. Karena dia selalu terlihat……………….powerful dalam benakku. Kecuali saat ini. Dia terlihat lebih……………manusiawi.
“Kau ingat apa yang Mommy katakan saat Dad meninggal?”
Bagaimana aku bisa lupa? Saat itu adalah awal mula hidupku dan hubunganku dengan Mommy berubah. Titik dimana kami berdua berpisah dan menempuh jalan yang berbeda, “That it was only both of us then. Bahwa aku harus jadi kuat, dan tidak boleh lemah. Ataupun menangis lagi..,” bisikku pahit.
“Kau tahu apa yang dilakukan oleh keluarga Dad kan? Your grandparents and everyone else? Mereka mencoba mengambil apa yang menjadi milik kita. Milikmu! Saat itu yang ada dipikiran Mom adalah, kita tidak boleh membiarkannya. Aku dan Daddy-mu telah berusaha mati-matian untuk membangun usaha ini untuk keluarga kita. Untukmu! Saat itu, Mom harus bisa kuat dan berusaha mati-matian. Untukmu. Bukan untuk Mommy. Dan Mom berjanji pada diri sendiri bahwa mereka, orang-orang yang berusaha menghancurkan kita, tidak akan bisa menang. Mom akan melawan dan membuktikan pada mereka bahwa kita tidak boleh diremehkan. Terutama dirimu. Mom berjanji pada diri sendiri bahwa suatu saat nanti, mereka harus memandangmu dengan hormat. Karena itu Mom berusaha menjadikanmu orang yang kuat. Mendorongmu hingga limit yang kau mampu. Menuntut yang terbaik padamu.
Meski terdengar salah, but I really did them for you. Semua yang Mom miliki saat ini untukmu. Semua ini!!” Mom mengembangkan tangannya untuk menunjukkan padaku.
“We’ve had enough, Mom,” bisikku lirih. “More than enough! Kita sudah memiliki cukup banyak hal yang tak akan habis selama beberapa generasi. Tidak bisakah kau berhenti?’
Mommy memandangku sedih, “Dan kita menjadi asing satu sama lain sebagai konsekuensinya. Aku…..kehilangan peranku sebagai seorang Ibu untukmu. Kau tumbuh menjadi seorang pemuda yang bahkan nyaris mustahil ku kenali. Apakah Mom melakukan segalanya dengan salah?”
Aku tak menjawab, hanya tersenyum kecut, “Aku bisa mengerti kenapa Mom melakukan semuanya. Aku bisa menerima kenapa Mom harus melakukannya. Yang tidak bisa aku terima adalah kenapa Mom harus berhenti menjadi seorang Ibu? I didn’t ask much. Just a tiny bit of your time. Mom bisa bepergian ke luar negeri atau kemanapun yang Mom mau, tapi haruskah sepanjang waktu? We barely see each other. Even on holidays. Ada saat dimana kadang aku bertanya, kenapa Mom harus seperti itu? Apa mungkin karena aku mengingatkan Mom pada Dad? Apakah melihatku melukai Mom karena mengingatkan Mom pada Dad?”
Mom mengejutkanku dengan berdiri dan meraih tanganku, “Tak ada apapun didunia ini yang lebih berarti bagi Mommy selain kamu, Zake. Mom lebih memilih kehilangan semua, semuanya, daripada Mom harus kehilanganmu. That’s for sure.”
“Just be my Mom, then,” kataku pelan dan menatapnya, “Aku tahu kalau kita harus menjadi kuat. Aku tahu Mom harus melakukannya semua ini. But can’t we do this together? Side by side? As a family?”
“You and me against the world?” bisik Mommy dengan mata basah.
“Together…” lanjutku dengan senyum.
Tak ada kata yang bisa kami katakan lagi. Mom meraih kepalaku dan mendekapnya dalam pelukannya. Pertama kalinya setelah bertahun-tahun berlalu, aku kembali menjadi seorang anak. Aku kembali memiliki seorang Ibu. Pelukan yang sekarang ini kurasakan adalah pelukan yang sama yang dulu pernah ku terima. Sebelum semuanya berubah. Sebelum kami berdua terpisah oleh kesibukan masing-masing. Pelukan yang jauh dalam rongga hatiku yang terdalam, masih tersimpan kenangannya.
Kami diam seperti itu hingga semua perasaan kami yang terpendam menguap ke permukaan. Hingga semua kebekuan yang selama ini mengendap, lumer menjadi aliran yang berlalu. Mommy yang pertama kali melepas pelukannya dan mengusap kepalaku pelan.
“Kita harus menebus banyak sekali waktu kita yang terbuang,” ujarnya dengan senyum haru.
“Kita bisa memulainya perlahan,” jawabku.
“Bagaimana kalau kita mulai dengan Regha? Kapan kau mau memperkenalkannya pada Mommy?”
Tubuhku menegang saat kembali diingatkan akan hal itu. Tapi yang mengherankanku, tak ada gurat kemarahan pada wajah Mommy. Dia menanyakan hal itu dengan keingintahuan murni, “M-mom, y-you don’t mind?” tanyaku sedikit gagap.
“Why shouldn’t I? Kau mencintainya kan?”
Okay! Mungkin kami mulai belajar untuk membangun sebuah hubungan Ibu dan anak yang baru. Tapi tetap saja, membicarakan masalah percintaanmu dengan Ibu, bukanlah topik yang membuatmu nyaman. Apalagi kalau pacarmu memiliki jenis kelamin yang sama. Itu bukan jenis kisah cinta yang konvensional. Wajahku tetap saja memerah.
“I do..” gumamku pelan.
“Kalau begitu kenapa Mom harus meributkannya?” Tanya Mom heran.
“In case you didn’t notice, he’s…. a guy?” kataku lagi dengan nada tanya.
“Zake, please! Mom bukan orang yang hidup di zaman batu. Mom juga hidup selama bertahun-tahun di Australia. Meski akar mom tetaplah Indonesia. Tapi Mom sudah melihat banyak wajah dunia. Mom sudah tahu dan mengerti apa itu gay. In fact, beberapa kolega dan orang kepercayaan Mommy adalah gay. And I must admit, most of them are great persons. Menjadi seorang gay tidak berarti kau abnormal. Kau hanya mencintai. That’s it.”
“Apa kau tidak kecewa, Mom?”
“Kenapa harus kecewa? Meski kau gay, itu tidak mengubah hubungan kita sebagai Ibu dan anak? You’re my son. Fakta bahwa kau mampu mencintai adalah hal yang patut disyukuri.”
“Kukira……………….kau menginginkan anak yang normal. Yang mungkin…..tidak membuatmu malu pada teman kerjamu,” kataku lagi. Karena jujur saja, hal itu jadi salah satu pikiranku beberapa waktu terakhir.
Mommy mengibaskan tangannya, “Please. Mom sudah melihat beberapa tingkah menjijikkan oleh orang yang kau bilang normal itu. Percayalah, ada saat dimana kadang Mommy berpikir bahwa rekan kerja Mommy yang gay, lebih pantas mendapat predikat normal. Kualitas seseorang tidak ditentukan dengan siapa kau tidur, Zake. Tapi lebih bagaimana kau bersikap. Bagaimana kau memperlakukan orang lain. Dan bagaimana kau menjalani hidupmu. So you love a boy too, then what? Kau tidak mencuri, menyakiti atau merebut hak milik orang lain kan?” Mommy lalu meletakkan satu tangannya di pipiku, “Mom justru akan kecewa kalau kau tumbuh menjadi pribadi yang jahat, getir dan tidak peduli akan orang lain. Tapi kau yang sekarang….. yang tahu cara mencintai dan peduli orang lain, membuat Mommy bangga. Jangan lupakan itu…”
“Bagaimana dengan cucu Mom? Kau tidak menginginkannya?”
“Kau ingin memiliki anak?” tanya Mommy balik. Tentu saja aku mengangguk, “We can use surrogate mother, can’t we? Tapi itu akan kita bicarakan nanti pada waktunya. Bukankah terlalu dini kalau kita bicarakan sekarang. Kau…………tidak berpikir untuk menikah dengan Regha kan?”
Aku tertawa kecil, “Not yet, Mom. It’s kinda new for us…”
“Well, kalau memang dia berpotensi menjadi menantu Mommy dan merupakan orang yang penting bagimu, kenapa tidak kau perkenalkan kami secara benar? Kami memang sudah sedikit berbicara. And he’s…………..” Mommy berpikir sejenak, “……….a very interesting person.”
Aku kembali tertawa mendengarnya, “Itu kalimat yang cukup murah hati untuknya. Mom tak akan percaya apa yang pernah dia lakukan. But we can talk about that later. I’ll call him,” ujarku dan mengambil ponselku untuk memanggil Regha.
Saat masuk ke ruang kerjaku, mata Regha memancarkan kekagetan luar biasa begitu pandangannya tertumbuk pada Mommy yang duduk di kursiku. Aku tersenyum mencoba menenangkannya. Kuulurkan tanganku padanya. Regha tidak menyambutku. Dia hanya memandang tanganku itu dengan tatapan ngeri. Pandangannya beralih, bergantian antara tanganku dan Mommy yang duduk santai.
Aku tahu konflik yang berkecamuk dalam hatinya. Aku mengangguk untuk meyakinkannya. Tapi tetap saja. Jadi aku yang mendekatinya dan menautkan tangan kami berdua.
“Gha, I want you to meet my Mom, Anggrid Maharani Osmond. Mom, this is Regha. My……boyfriend,” kataku pelan. Regha kontan menoleh ke arahku dengan wajah yang mulai memucat kembali, ketakutan.
“Regha….” Mommy bangkit dan kemudian mendekati Regha untuk kemudian mengulurkan tangannya, “Maaf kita belum diperkenalkan secara benar. Senang akhirnya bisa bertemu pacar Zaki…”
Regha sukses bengong hebat, tapi dia segera menjabat tangan Mommy sembari bergumam, “Saya juga, Bu. Maaf tadi…”
“Tadi adalah sebuah pembicaraan singkat yang menarik. Kapan-kapan aku ingin kita bisa ngobrol dalam suasana yang lebih santai. Bisa kan?”
Regha hanya mengangguk patah-patah dan tertawa gugup.
“Dan kalau aku tidak salah mengira, teman yang kau ceritakan tadi Zaki kan?”
Wajah Regha memerah parah. Dia hanya menunduk dan menggumankan kembali kata maaf.
“Regha, please. Aku malah bersyukur karena dia telah bertemu denganmu. Lebih bersyukur lagi karena dia telah bertemu dengan keluargamu. Hal itu sudah membuat pandangannya berubah. Dan aku telah bersyukur bahwa aku telah bertemu denganmu, karena kau juga telah merubah pandanganku. Jadi kalau bisa disimpulkan, kami berhutang padamu, dan juga keluargamu. Kalau diperbolehkan, aku ingin bertemu dengan mereka…”
“But Mom, keluarga Regha tidak tahu kalau……………..”
Mom segera tanggap, “Aah, I see. Well, kalau begitu, kita akan menyimpan fakta itu untuk kita sendiri. Tapi aku sungguh ingin bertemu dengan mereka. Untuk bersillaturahmi. Tidak banyak kenalanku di Bandung ini yang tersisa.”
“Bagaimana kalau weekend ini kita kesana?” usulku. Lagi-lagi Regha berpaling kaget padaku.
“Kalian bicarakan saja berdua dulu. Nanti kita bicarakan lagi. Mom harus kembali ke rumah. Kita bertemu disana, ok?” pamit Mommy padaku. Dia lalu kembali berpaling pada Regha, “Aku benar-benar senang kita telah berbicara dan bertemu. Thank you,” kata Mommy dan meremas sekilas bahu Regha.
Begitu tubuh Mommy hilang dibalik pintu, Regha langsung berbalik padaku, “A-ap-apa itu tadi? Wh-what was really going on? Bagaimana bi-bisa…”
Aku tertawa kecil dan menariknya untuk duduk dikursi. Kuulurkan segelas air agar dia bisa sedikit menenangkan diri. Lalu kuceritakan semuanya. Bagaimana kami berbicara. Bagaimana aku mengatakan apa yang kurasakan tentangnya. Dan juga apa yang kurasakan dan kuinginkan dari Mommy. Regha mendengarkan dalam diam. Dan begitu aku selesai, aku bisa melihat keharuan yang tersirat dari matanya yang mulai menggenang.
“Aku bersyukur untukmu……” bisiknya. Tangan kanannya terulur untuk meremas tanganku yang ada diatas meja. Aku tersenyum dan memandang tangan kami yang bersatu. Aku lalu menautkan jemari tangan kanan kami berdua. Kumasukkan jari jemariku diantara jemarinya. Merasakan kehangatannya yang mengalir padaku.
Dan weekend itu menjadi salah satu weekend terbaik sepanjang ingatanku. Kami bertamu ke rumah Regha. Mamah dan Abah menyambut Mommy dengan keramahan yang seperti biasa mereka tunjukkan. Mommy bahkan membawakan sedikit oleh-oleh untuk mereka. Termasuk untuk Agus dan Asti. Aku juga dibuat kagum oleh bagaimana Mommy bisa connect dengan Mamah meski keduanya boleh dibilang memiliki latar belakang yang berbeda. Mereka segera saja akrab dan ngobrol dengan asyiknya.
Dan aku duduk disana. Memandang mereka semua berinteraksi. Mamah yang dengan akrabnya ngobrol dengan Mommy. Sesekali Abah ikutan nimbrung. Regha yang ngobrol bareng Agus dan Asti. Semuanya larut dalam sebuah kebersamaan yang terasa nyaris sakral bagiku. Ini kali pertama aku benar-benar merasa memiliki sebuah keluarga dalam artian yang sebenarnya.
Keluarga yang ada didepanku ini. Aku bukan hanya melihat mereka. Aku bagian dari mereka. Mereka milikku. Dan aku berjanji dalam hatiku bahwa aku akan melakukan apapun untuk memastikan mereka semua baik-baik saja. Aku akan melindungi mereka dengan sekuat tenagaku. Tak akan kubiarkan mereka tersentuh oleh tangan-tangan jahat yang dapat menghancurkan mereka.
Keluargaku!
Rasa haru yang akhirnya membuatku bangkit dan menjauh. Aku harus sendiri untuk beberapa saat. Kalau aku tetap berada disana bersama mereka, aku akan mempermalukan diriku sendiri. Aku nyaris tak bisa menahan diri. Jadi aku bergumam pamit untuk pergi ke sungai. Tempat yang mulai akrab dan memanggil setiap kali aku datang ke daerah ini.
Disana aku berdiri menghadap ke matahari yang mulai tenggelam di ufuk barat dengan mata terpejam. Sekali lagi membiarkan musik alam melenakanku. Gemericik air yang terpecah oleh bebatuan, serangga-serangga malam yang mulai bermunculan, juga gemerisik daun dan ranting yang digerakkan oleh angin. Suara-suara itu menjadi suara latar saat aku kembali memutar rekaman keakraban keluargaku yang aku saksikan tadi. Kali ini, kubiarkan emosiku mengalir dengan hebatnya.
Mataku yang masih terpejam segera saja basah. Dan aku membiarkannya. Membiarkan semua yang kurasakan meluap dan keluar seperti mata air yang mengalir. Hingga kemudian sebuah tangan melingkar dengan lembutnya di pinggangku. Dan sebuah tubuh menempel dipunggungku. Kehangatan tubuh yang akrab itu membungkusku. Tanganku meraih tangan Regha yang ada dipinggangku, menarik tubuhnya untuk berada didepanku. Agar aku bisa memeluknya. Agar aku bisa menenggelamkannya dalam dadaku. Agar aku bisa menyandarkan daguku diatas kepalanya. Dan membiarkan alam melenakan kami.
Dan disanalah dia untuk beberapa lamanya.
Menyatu dengan tubuh dan jiwaku diantara nyanyian nina bobo alam yang mulai berganti wajah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoirs : The Triangle [ BoyXBoy] [Completed]
Teen FictionRegha, seorang anak kuliahan dari Majalengka terjebak dikisah dilema dimana perang batin dan akal menyelimutinya. Zaki, Seorang Konglomerat yang begitu membenci Regha karena kecerobohannya menyebabkan mobilnya ringsek Rizky, Seorang Dokter yang meng...