Dua Puluh

79.2K 4.1K 30
                                    

Raina menguap untuk yang ke tiga kalinya, ternyata menunggu itu melelah kan bukan hanya melelahkan tapi juga menyakitkan! apa lagi menunggu sesuatu yang tak pasti.

"Masih lama?" Ben menoleh kepada gadis yang selalu bertanya di samping nya itu.

"Dikit lagi Rai, sabar" Dan hanya itu jawaban yang di lontarkan untuk Raina, akibat di landa kebosanan gadis itu memandang kulit wajah milik Ben, sungguh dia merasa cemburu ketika di bandingkan warna kulitnya dengan warna kulit Ben, laki-laki ini lebih putih darinya.

"Ben."

"Iya sayang, kenapa?" sontak semua menoleh ke arah Ben ketika perkataan sayang di tujukan kepada gadis yang sudah mengisi hari-hari mereka,
jijik mungkin.

"Kulit kamu emang kayak gini ya dari lahir? kok putih banget." Ben menggeleng sebelum menjawab pertanyaan gadis bertubuh kecil itu.

"Nggak, aku nggak putih dari lahir, ini tuh gara-gara mamah. soalnya mamah aku kan dokter kecantikan tuh terus..."

"Jangan bilang kalo mamah kamu, nyuntik atau ngasih kamu obat supaya kulit kamu jadi putih!" Raina langsung mencela dan memasang wajah horor saat menatap Ben.

"Ya.. begitulah kenyataan nya." Dengan santai nya Ben menjawab, Raina dan Verant melongo mendengar pertanyaan Ben bahwa dia bukan lah keturunan yang memiliki kulit seputih kain kafan.

"Gue kira. lo itu putih nya asli, ternyata fake pantedan aja muka lo kek abis di bedakin pake tepung serba guna!" Ejekan Verant membuat Ben menarik hujung rambut nya yang sudah kelihatan panjang.

"Aduh! aw sakit njir!" ringis Verant kesakitan, itulah tarikan padu yang di hadiahkan untuk Verrant sullivand.

"Mampus lo!" Raina menahan tangan Ben karna dia tidak tega melihat Verant di perlakukan seperti itu, meskipun dia juga menyayangi Ben.

"Udah stop! itu film nya udah mau mulai." Raina memukul kepala Ben dan Verant sehingga mereka berhenti untuk saling mencakar, dan setelah itu mereka memperbetulkan posisi masing-masing.

"Nenek Rao mana?" Fano duduk di sebelah Khei dengan sebelah alis nya di angkat.

"Udah tidur." jawab Khei, mata nya masih fokus dengan layar kaca di hadapan nya.
"Hmm. kok ini serem ya?" Raina tiba-tiba merinding saat melihat trailer film tersebut. Marcel tertawa mengejek, pasti takut.

"Ya pasti serem lah, kan ini film The Nun." Dengan enteng nya Marcel menjawab. sengaja ingin melihat reaksi gadis itu. tapi apa yang dia dapatkan hanya kedua alis Raina bertautan.

"Kain tenun maksud nya?" Pertanyaan itu membuat Gos cekikikan, sehingga ada yang terjatuh dari sofa karena tertawa. it's Kheiland Anderson

"Lucu nya dimana?" Mereka langsung terdiam ketika nada suara gadis kecil itu berubah. seperti nya akan ada yang di pulas telinga nya.

"The nun Raina, itu loh yang... nonton aja lah"

"Itu film horor ya Khei?"

"Kamu takut?"

"Ah? nggak! aku nggak takut!"

"Oke, kalo gitu nonton sampe habis." Khei kembali fokus kedepan sambil tersenyum menyungging. Raina sempat mengambil selimut yang ada di dalam kamar lalu membawa nya kembali ke sofa, lumayan lah bisa buat nangkis setan nanti, apa lagi yang suka ngaget-ngagetin gitu kan kalo di tampol langsung mati tu setan.

[SPECIAL WOMAN]

Kini gadis yang bernama Raina Clarissa masih tidak bisa tidur karna ketakutan, masih ingat di chapter awal? dimana dia telat ke sekolah hanya karna menonton film horor, tapi sekarang horor nya sangat luar biasa karna di tambah lagi rumah nenek Rao yang akan berbunyi setiap kali ada orang yang berjalan.

"Kamu sih Raina, gengsi amat kan jadi nggak bisa tidur" gumam nya yang ada di dalam tumpukan selimut, dia memarahi dirinya sendiri karna terlalu gengsi saat di hadapan Gos.

PRAK !

"Apaan tuh?!" Raina kaget karna mendengar bunyi sesuatu yang terjatuh di ruang tamu.

PANG!

Kali ini bunyi nya agak besar, Raina tambah takut, tapi rasa ingin tahu nya lebih besar daripada rasa takut nya, lantas ia bangun dari kasur dan mengesot seperti yang di film-film horor

BUK !

Raina mengesot sehingga menabrak sesuatu, pastinya bukan pintu karna rumah itu tidak memiliki pintu di setiap kamar nya, hanya ada gorden sebagai penutup.

Dalam gelap dia meraba meskipun dia merasa takut, dan setelah meraba benda itu bentuknya seperti kaki manusia.

KAKI MANUSIA ?!!!

"ngapain lo ngeraba gue?" Suara itu, suara mendatar itu?

"Fan, Fano?"

"Kenapa belum tidur?" Fano menggenggam kedua tangan Raina untuk membantu gadis itu berdiri, gelap seperti ini tiada yang tahu betapa berdebarnya jantung mereka. Fano dapat melihat wajah Raina yang begitu dekat dengan nya, wajah nya yang penuh ketakutan.

"Takut?" Saat ini suara Fano terdengar menahan sakit, tapi Raina tidak peduli karna dia benar-benar takut, dan pertanyaan Fano dibiarkan melayang terbang

"Nggak usah takut. Gue ada disini" begitu kagetnya Raina saat Fano membawanya ke pelukan laki-laki itu, dan saat ini Raina merasa
Tenang, hangat, dan malu karna dapat ia rasakan tubuh Fano yang tidak berbaju, Eh?

TIDAK BERBAJU ?!

"Fano kamu nggak.."

"Aduh!" Raina meleraikan pelukan mereka saat mendengar Fano yang seakan menahan sakit

"Kamu kenapa?!"

"Lo nyentuh luka gue." Raina mengalihkan tangan nya, pantas saja dia merasa sesuatu yang sedikit pengket di tangan nya, Raina menggapai ponsel nya yang terletak di atas kasur.

"Jangan di nyalahin lampu nya!" Suara Husky Fano membuat alis Raina bertautan.

"Lah kenapa? kan aku mau liat luka kamu." Mereka berbicara dalam kegelapan, seperti berbicara sambil menutup mata, tapi tidak bagi Fano karna mata laki-laki itu terang di malam hari.

"Pake layar nya aja." Raina mengangguk lalu membuka kata sandi nya, dan layar ponsel nya di edarkan di atas lengan kekar milik Fano, terdapat goresan kecil tapi cukup dalam.

"Kamu ngapain Fano! mau bunuh diri?" Fano langsung terkekeh mendengar suara Raina yang seakan khawatir terhadap nya.

"Tadi nggak sengaja nabrak benda tajam, jadi gue lagi nyari kotak..."

"Biar aku yang ambilin, kamu tunggu disini, jangan kemana-mana" Fano mengangguk dengan ekspresi tenang, hanya sentuhan tapi hatinya berdebar sangat kencang.

[TO BE CONTINUE]
SPECIAL WOMAN

Special Woman [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang