5 [Sebab]

20.6K 1K 5
                                    

"Ternyata kami, dua orang yang sama-sama tersakiti, terbelenggu dalam masalalu yang menyayat hati, dan tengah mencoba bangun dari sakitnya mimpi."

🍂🍂🍂


"Ayah, Nami boleh nanya?" Ujar Nami usai makan malam.
Ayah yang sibuk membereskan meja makan berhenti, menatap putri kebanggaannya dengan kening berkerut. Siwi, Ibu tiri Nami memilih melenggang dari sana, menghentikan sejenak kegiatan mencuci piringnya, memberikan Anak dan Ayah itu ruang untuk bicara.

"Tanya saja Nami, Ayah nggak pernah larang kamu buat bertanya sama Ayah 'kan?" Ada nada bergurau dalam kalimat Ayah, tapi Nami hanya tersenyum kecil sebagai respon atas gurauan Ayah.

"Ayah tau nggak alamat rumah Mama Renata?" Nami beranjak, mengangkat piring bekas makannya dan meletakannya di bak cuci piring.

Ayah diam, sudah dua hari berlalu semenjak Renata datang ke rumah, dan Nami tak pernah membahas perihal yang terjadi tempo hari itu dua hari ini. Ayah sengaja tidak menyinggungnya, ia ingin memberikan ruang bagi Nami untuk berpikir, untuk mencerna semuanya, agar gadis itu bisa mengambil keputusan yang tepat.

Kalau boleh jujur, sebenarnya bila ditanya apa ia tega membiarkan putrinya itu masuk ke dalam sebuah kehidupan yang hanya akan membuatnya sakit hati? Tentu jawabannya adalah tidak. Ia tidak mau bila putrinya harus menderita nantinya. Pernikahan tanpa cinta? Terdengar mengerikan ditelinganya. Sebab, diapun pernah merasakan hal itu, dan dia tidak mau kalau putrinya sampai mengalami hal sama dengannya.

Namun, melihat bagaimana hancurnya hidup anak itu benar-benar membuat hatinya terenyuh. Dia lihat sendiri bagaimana anak yang dulu pernah menjadi putra kebanggaannya itu terbaring lemah di ranjang pesakitan, wajahnya yang kurus dan sayu menggambarkan bagaimana anak itu menyiksa dirinya sendiri atas sakit yang menyayat hatinya.

Dan atas dasar tak tega, juga rasa sayangnya pada anak itu yang tak pernah berkurang jumlahnya, Ayah menyetujui rencana Renata. Berbekal keyakinan bahwa anak itu pasti tidak akan menyakiti putrinya, dan putrinya adalah gadis kuat, Ayah berharap semua akan berjalan lancar. Walau kemungkinan mereka hanya akan menyakiti satu sama lain itu ada, tapi semoga tak pernah terjadi. 

"Ayah?" Guncangan di lengan besarnya membuat lamunan Ayah buyar, pria tak lagi muda itu menoleh, menatap Namira yang kini kebingungan.
"Ayah kok ngelamun?" Gadis itu bertanya.

"Ah, nggak kok.. Ayah cuman lagi mikir ajah," Ayah tersenyum separuh, duduk di atas kursi meja makan sambil memperhatikan putrinya itu tengah melanjutkan cuci piring yang ditunda Yanti.

"Mikirin apa Yah?" Gadis itu lupa akan pertanyaannya tadi, mungkin pikirannya juga sama-sama sedang kusut, jadi tidak fokus akan beberapa hal.

"Kamu tadi nanya tentang alamat Renata ya?" Ayah mengalihkan pembicaraan.

Nami diam sebentar sebelum akhirnya mengangguk. "Hm.." gumamnya.

"Ayah tau, kok. Memangnya untuk apa?"

Lagi, Nami diam tak langsung menjawab. Tangan mungilnya sibuk mencuci gelas kotor bekas seduhan kopi sang Ayah sore tadi. Namun pikirannya tidak di sana, sibuk mencari jawaban apa yang tepat untuk menjawab pertanyaan Ayah tadi.

"Ada... Yang mau Nami bicarain sama Mama Renata, Yah. Boleh 'kan?"

Ayah masih menatap punggung kecil Namira yang masih berdiri di depan sink. Mungkin Nami sudah mempunyai jawaban untuk lamaran Renata atas putranya dua hari lalu. Ayah tau, bukan perkara mudah memutuskan hal itu, apalagi ini menyangkut kehidupan gadis itu kedepannya. Tapi lebih cepat diputuskan lebih baik, agar tak lagi membebani pikiran, dan tak lagi membuat anak itu menderita lebih lama.

Takdir Dua Hati | END ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang