41 [Puncak Kekecewaan]

21.6K 1K 31
                                    


Nami hanya bisa terdiam menatap punggung Fahmi yang sudah menghilang di balik pintu. Bahkan pria itu tak sedikitpun menatapnya, pergi begitu saja dengan raut wajah frustrasi. 
Entah apa yang membuat Fahmi menjadi seperti itu, padahal diawal pernikahan sefrustrasi apapun pria itu, dia tak pernah sampai seemosi ini.

Ditatapnya totebag kanvas hitam itu dengan nelangsa, bahkan Fahmi tak sudi menerima bekal yang telah Nami siapkan untuknya.
Fahmi sepertinya benar-benar marah dan menghindarinya.

Walau Nami agak tak terima dengan sikap Fahmi, hei di sini Nami-lah yang seharusnya marah 'kan? Diabaikan dan ditinggalkan begitu saja tanpa tahu apa-apa seperti ini, bukankah seharusnya ialah yang marah? Kenapa malah Fahmi? Memang ucapannya pagi itu sedikit sewot, wajar saja karena Nami merasa kesal dengan sikap Fahmi akhir-akhir ini.

Apalagi dirinya yang sedang hamil sekarang, hormonnya jadi tak stabil. Ia bisa menjadi kesal hanya karena hal sepele, dan menangis hanya karena hal remeh.

Lalu mendengar nada yang Fahmi gunakan pagi itu membuat rasa sedihnya memuncak, emosinya yang tak stabil itu tak dapat ia kendalikan. Nami memilih kembali bergelung dalam selimut tebalnya, menangis tanpa sepengetahuan pria itu.

Dan kini, Fahmi kembali membuat rasa sedihnya menyeruak. Mati-matian ia berusaha untuk tetap berprasangka baik. Mungkin Fahmi memang sedang banyak masalah, mungkin Fahmi sedang banyak pekerjaan, jadi wajar ia bersikap seperti itu.

Namun tetap saja, kecewa dalam hatinya tak bisa ia tutupi. Nami lagi-lagi menangis, menutup wajah dengan kedua telapak tangan.

Sesak, dadanya sesak.

Mengetahui fakta bahwa, perubahan sikap Fahmi dikarenakan wanita berparas ayu itu. Dan Nami, merasa seakan tak lagi memiliki kesempatan.

🍂🍂🍂


Nami sudah bersiap, hendak pergi ke rumah sakit. Dirinya akan memaksakan diri untuk kali ini. Mengenyampingkan perasaan sesaknya, demi anak yang kini tengah dikandungnya. Fahmi harus tahu akan kehamilannya, bagaimanapun caranya. Nami ingin mencari jawaban tentang apa yang akan ia lakukan setelah ini. Apakah bertahan, atau pergi bersama kesendirian.

Sebuah kotak kecil berwarna merah dengan pita putih dijadikannya tempat untuk menyimpan test peck, kotak makan siang yang tadi pagi tak pria itu ambil akan ia jadikan alasan mengapa ia datang.

Dan setelah semua dirasa siap, Nami-pun berangkat menuju rumah sakit, tanpa memberitahu terlebih dahulu pada Fahmi.


Setelah sampai, Nami segera melangkahkan kaki menuju ruangan Fahmi. Beberapa mata menatapnya, yang sedang bersama teman bahkan terang-terangan berbisik di depannya, mungkin masih tak percaya kalau Fahmi sudah menikah, dengan wanita biasa sepertinya.

Nami tak menghiraukan semua perhatian yang tertuju padanya, yang ia pikirkan saat ini adalah bagaimana caranya membujuk Fahmi agar mau mendengarkannya.

Sampai di ruangan pria itu yang memang tak terkunci, Nami tak menemukan Fahmi di sana. Nami kebingungan, hendak mencari namun ia takut tersesat, ia tak begitu tahu tempat-tempat di rumah sakit itu.
Pada akhirnya ia memilih untuk diam menunggu, duduk di atas sofa di sudut ruangan. Totebag berisi makan siang untuk Fahmi ada dalam pangkuannya, masih terasa hangat.

Dalam keterdiamannya menunggu kedatangan Fahmi, kepalanya mencoba memutar otak merancang sebuah rencana. Dirinya berulang kali mengingatkan agar selalu bersikap tenang dan apa adanya. Biarkan semua mengalir begitu saja. Tak boleh ada pertengkaran lagi diantara mereka.

Dadanya bergemuruh, ia meremas jemari dalam pangkuannya, dalam hati berdoa semoga Allah melancarkan niatnya kali ini.

Dan tak lama, suara pintu dibuka membuat Nami melonjak dari duduknya dan langsung berdiri. Menatap takut-takut pada seseorang yang masuk ke sana, berharap semoga Fahmi-lah yang datang.

Takdir Dua Hati | END ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang