46 [Bersabar]

21.9K 1K 14
                                    

Assalamu'alaikum
Apa kabar?
Ok sip, aku update jam 1:10
Adakah yang baca jam segini?
Happy reading ❤

🌹🌹🌹

Mita sudah bersiap hendak menuju tempat kos Tesa, ia sudah mendengar permasalahan mengenai Nami dari Tesa melalui telepon semalam, dan rasanya ia harus pergi ke sana untuk melihat keadaan sahabatnya saat ini, syukur-sykur bisa membantu. Namun niatnya harus urung ketika mendengar suara pintu yang diketuk dengan tidak sabaran, setelah menidurkan bayi Anne di kasur kamarnya, Mita bergegas membuka pintu.

Sosok pria tegap berdiri di depan rumahnya dengan wajah kusut menyiratkan perasaannya yang kini campur aduk. Mita agak terkejut mendapati Fahmi datang ke rumahnya, hatinya menduga pasti ini mengenai Nami.

"Lo jangan bilang-bilang sama Fahmi kalau Nami di kosan gue ya? Katanya Nami pengen sendiri dulu.." ucapan Tesa semalam terngiang jelas dalam ingatannya.

"Assalamu'alaikum. Mita, kamu tahu dimana Namira?" Tanya Fahmi tanpa basa-basi.

"Wa'alaikumsalam. Ma..maaf Mas, saya belum bisa kasih tahu." Ujar Mita tak enak, hendak kembali menutup pintu, mencegahnya untuk tak berbohong lebih banyak lagi akan keberadaan Nami hari itu.

Tapi Fahmi mencegah, ia menatap nelangsa pada Mita, "Untuk kali ini saja, saya mohon bantu saya. Dimana Namira?"

Mita menghela napas, tak tega melihat wajah memohon pria itu. Ia menggigit bibirnya, perlukah ia memberitahukan keberadaan Nami saat ini pada Fahmi? Bukankah sebagai seorang suami dia berhak tahu kemana istrinya pergi? Tapi, disituasi runyam seperti sekarang Mita rasa mereka harus diberi waktu sendiri dulu, untuk menenangkan pikiran agar tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Sama-sama berbenah diri dan introspeksi, Mita rasa mereka memerlukan hal tersebut.

"Gini Mas, saya tahu kalian sedang ada masalah sekarang. Tapi dengan keadaan kalian yang seperti ini bukan hal tepat rasanya bila harus menyelesaikannya saat ini. Memang, masalah tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, tapi kalau kepala kalian saja masih panas seperti ini bukan nggak mungkin malah bisa membuat masalah kalian tambah rumit 'kan? Beri diri kalian waktu sejenak, untuk sama-sama berpikir dan introspeksi diri. Setidaknya dinginkan kepala kalian dulu agar nanti saat waktunya kalian bicara semua bisa sampai ketitik temu, dan bisa mengambil solusi yang tepat untuk masalah kalian."

Mita mengangguk kecil, pamit undur diri lalu menutup pintu. Meninggalkan Fahmi sendiri dengan pemikirannya.

Lagi, Fahmi beristigfar.
Ucapan wanita itu ada benarnya. Dengan emosi yang belum stabil ini bukan waktu yang pas untuk membicarakan masalahnya dengan Nami.

Namun, rasa rindu dan penyesalan yang menggerogoti hati dan pikirannya ini benar-benar menyiksanya. Ia ingin segera bertemu dengan Nami, pemilik segala debar dalam dadanya, pemilik hatinya, yang sudah ia sakiti teramat dalam, dan ia sesali teramat sangat.

Allah, bagaimana?

🍂🍂🍂


"Tadi Mas Fahmi datang ke rumahku, nanya tentang kamu dimana." Ujar Mita ditengah perbincangannya bersama dua sahabatnya.

Mendengar ucapan Mita, tubuh Nami langsung menengang. Dadanya kembali berdebar, ia melirik Mita yang sibuk menyusui sang buah hati, "Kamu nggak bilang aku di sini 'kan?" Tanya Nami takut-takut.

Mita tersenyum lembut, mengusap pundak Nami menenangkan. "Nggak, aku cuma bilang kalau kalian harus dikasih waktu sendiri-sendiri buat nenangin diri. Buat sama-sama introspeksi diri. Supaya nanti bisa menyelesaikan masalah kalian dengan cara yang baik-baik."

"Nggak ngerti yah gue, kenapa sih cowok tuh hobinya nyakitiiiin terus? Udah nyakitin, minta maaf, tapi ujungnya nyakitin lagi. Heran, itu otak sama hatinya isinya apaan sih? Nggak ada pedulinya amat!"
Malah Tesa yang sewot, gadis itu menggebu-gebu mengungkapkan perasaan tidak sukanya pada sikap para laki-laki yang menurutnya 'nggak banget' itu.

Mita tertawa, menggeleng-geleng akan kelakuan sembrono Tesa.
"Kenapa sih? Curhat neng gara-gara digantung terus sama pak Bos?" Katanya menggoda, menaik-turunkan alisnya dengan senyuman jahil.

Tesa mendengus, melempar cangkang kacang pada wanita kalem namun menyebalkan itu. "Lah ngapain nyambung ke si Bos sih? Kesel 'kan gue jadinya!"

"Udah, aku bilang juga apa? Cepet ajakin nikah sana, udah cocok kamu jadi Ibu tiri baik hati buat Erika."

"Lah... nggak nyambung ah! Ngapain ngomongin tentang si Bos deh? Udah ah! Gue ke toilet dulu." Tesa beranjak dari tempat tidur, berjalan menuju kamar mandi, kabur dari godaan Mita lebih lanjut.

Dan melihatnya, Mita puas tertawa. Sedang Nami hanya menarik senyum kecil, terhibur dengan kelakuan dua sahabatnya. Ia bersyukur, disaat seperti ini masih memiliki dua sahabat yang mau menemani dan mendengarkan keluh kesahnya, menghiburnya dan memberikan kata-kata yang menenangkan.

Melihat wajah Nami yang sedikit lebih cerah membuat Mita ikut mengulum senyum. Tangannya terulur, memeluk bahu wanita mungil satu itu.
"Yang sabar ya? Semua pasti akan indah pada waktunya. Cobaan itu tanda Allah sayang sama hamba-Nya. Jangan pernah berhenti untuk berdoa sama Allah, minta pertolongan-Nya, petunjuk-Nya, untuk masalah yang sekarang sedang kalian hadapi. Karena Allah nggak akan memberi cobaan pada hamba-Nya lebih dari kesanggupannya."

Mengangguk, Nami tersenyum kecil. "Ya, makasih Mit.."

"Ok, sekarang makan buahnya ya? Orang hamil nggak boleh kekurangan nutrisi, nggak baik buat kesehatan janin. Aku udah capek-capek bawain masa tega kamu nggak makan ini?"
Mita kembali membujuk Nami agar mau makan buah yang sudah ia bawakan. Sedari tadi ia membujuk, namun Nami selalu menggeleng tidak mau.

Namun sekarang lain, Nami mengangguk walau bilang, "Sedikit aja ya?" Yang membuat Mita tetsenyum semakin lebar.
Setelah menidurkan bayi Anne di atas kasur milik Tesa, Mita mulai mengupaskan salah satu buah apel untuk Nami. Awalnya Nami menolak dikupaskan, namun Mita memaksa yang membuat Nami akhirnya hanya mengangguk pasrah.
"Takut kamu bengong karena kepikiran, nanti malah luka lagi." Ujarnya saat itu.

🍂🍂🍂


"Eh, kamu nggak bercanda 'kan Angga?" Wanita dengan khimar putih itu menatap tidak percaya pada pria dengan kemeja hitam di hadapannya itu. Ia merasa telah salah mendengar, tak percaya dengan apa yang dikatakan pria itu.

Namun melihat Angga mengangguk yakin membuat sendinya seakan copot, ia lemas seketika. Luka ditubuhnya belum mengering, namun kini malah luka lain yang datang.

"Ya Allah, semua ini gara-gara aku ya, Angga?" Rae meremas ujung khimarnya, perasaan cemas merundungnya.

"Nggak Rae, ini bukan salah kamu. Aku datang ke sini bukan untuk membuat kamu menyalahkan diri kamu kayak gini. Aku cuma mau minta bantuan kamu, karena semua kuncinya ada di kamu.." Angga menggeleng tidak setuju, jelas ini bukan kesalahan Rae, ini hanya soal kesalahpahaman saja.

Rae mengangkat wajah, keningnya berkerut tak mengerti. "Maksudnya?"

Angga menghela napas, "Fahmi hanya akan menjelaskan dari sudut pandang dia saja, dan aku rasa itu malah akan buat Nami semakin sakit hati karena pemikiran-pemikiran tentang kalian berdua yang selama ini menghantuinya. Jadi, saranku kali ini, temui Nami dan ceritakan semuanya pada dia."

Rae menelan salivanya susah payah, "Tapi.."

"Aku tahu," Angga segera menyela, "Itu akan sangat menyakitkan untuk kamu, memaksamu untuk membuka luka lama kembali. Tapi kalau tidak, masalah ini tidak akan terselesaikan. Ini untuk kebaikan kalian semua. Kamu, Fahmi, juga Namira."

Dan Rae tercenung, haruskah ia kembali membuka luka lama dalam hatinya? Mengorek masalalu yang kini susah payah ia kubur dalam hatinya.

Sedetik ia merasa takut, namun sedetik ia merasa harus melakukannya.

"Rae, semua akan baik-baik saja. Semua sudah sudah berlalu, waktunya berdamai dengan masalalu, dan berjalan ke depan meninggalkan semuanya."




11 Sep 2019

Takdir Dua Hati | END ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang