31 [Memori yang Hilang]

19.6K 1.2K 25
                                    

Assalamu'alaikum
Hai semua! Apa kabar?
In sha Allah beberapa part lagi tamat
Baru perkiraan sih :3
part ini flashback yaa
Semoga masih ada yang nunggu cerita ini :"
Oklah, happy reading~

🌹🌹🌹

"Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Dan (sholat) itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk,"
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 45)

🍂🍂🍂

Sebulan berlalu semenjak kepulangan mereka dari rumah Ayah Jafar. Kehidupan mereka benar-benar berubah banyak.
Banyak rutinitas baru yang mereka lakukan bersama, seperti ketika malam tiba, keduanya akan duduk di ruang TV usai makan malam. Ditemani dua mug coklat hangat yang uapnya mengepul di udara, Nami tak segan menyandarkan kepalanya pada bahu lebar milik Fahmi. Menikmati tayangan televisi sambil sesekali berbincang bersama.

Kalau dulu seperti tak pernah ada topik yang perlu dibicarakan antara keduanya, kini hampir semua yang terjadi dari hal yang penting sampai hal remehpun bisa menjadi topik pembicaraan menarik bagi mereka. Seperti Nami yang tiba-tiba bertanya kenapa semut bentuknya kecil? Atau kenapa lebah suka madu? Atau hal-hal yang sebenarnya tidak pentingpun kini menjadi menyenangkan untuk dibahas.

Nami dan Fahmi mulai menikmati peran mereka yang sebenarnya sebagai sepasang suami istri. Mulai membuka diri, memberikan kesempatan pada masing-masing untuk menerima semua takdir yang terjadi.

"Aku punya rasa suka yang tinggi dengan barang-barang antik." Cerita Fahmi malam itu.

Hujan turun rintik-rintik, dinginnya menusuk tulang. Mereka duduk di depan TV yang menyala, berbagi selimut tebal bersama.

Nami menatap wajah Fahmi tak percaya, "Oh ya? Aku baru tahu. Kok bisa?" Katanya.

Fahmi mengangguk, mempererat genggamannya pada jemari mungil milik Nami di balik selimut mereka. Hangat. Dan terasa pas sekali.

"Ya, mungkin karena pengaruh dari Mama juga. Mama-pun suka sama barang-barang antik dengan nilai estetik yang tinggi. Tapi aku nggak sefanatik itu. Hanya beberapa jenis saja. Seperti otomotif, aku mengoleksi beberapa motor dan mobil era tujuh puluh sampai sebilan puluhan. Mereka punya nilai seni tersendiri dimataku."

Nami mengangguk, matanya berbinar cerah. Senang rasanya mengetahui sisi lain dari seorang Fahmi. Apalagi mendengar pria itu bercerita dengan bahasa dan gestus yang santai, membuat Nami merasa semakin dekat dengan Fahmi.

Nami tiba-tiba teringat satu hal, dahulu kalau tidak salah Mama Renata sering sekali mengajaknya ke museum-museum sejarah. Dipikirnya dulu Mama Renata suka dengan hal-hal berbau sejarah masalalu, tapi ternyata bukan, Mama Renata bukan hanya suka sejarahnya tapi juga nilai estetik dari benda-benda di sana. Karenanya, setiap mereka pergi bertiga-Fahmi juga ikut tentunya- mata Renata akan tampak berbinar senang.

Ah, ingatan yang hampir ia lupakan.

"Dulu, kita sering banget ke museum 'kan? Kalau aku nggak salah ingat." Ujar Nami, matanya menerawang mencoba mengumpulkan kepingan-kepingan memori yang telah lama ia abaikan.

Fahmi menghela napas panjang, seperti ada beban berat yang tiba-tiba menghimpit parunya. Pria itu melepas genggamannya, beralih melingkarkan tangan besarnya pada pinggang Nami. Memeluknya dengan erat.

Nami mengerut kening, merasa aneh dengan perubahan sikap Fahmi.

"Kenapa Kak?" Nami bertanya dengan nada pelan. 

"Kamu nggak ingat?" Fahmi mematap lekat manik hitam milik Nami, "Kamu pernah hampir diculik saat itu." Lirihnya.

Membulat lah mata Nami mendengar penuturan Fahmi. Tubuhnya menengang, "Apa?" Katanya tak percaya.

Takdir Dua Hati | END ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang