"Raka! Jangan lari-lari itu lantainya licin!"
"Aka mau ke Ayah! Kapan kita ke tempat Ayah?"
"Diem di karpet, nanti kita ke Ayah kalau Mama udah selesai beresin rumah."
Bocah laki-laki berumur empat tahun itu mengerucutkan bibirnya, terpaksa kembali ke atas karpet tempat mainannya berserakan. Bocah bersetelan kaos bergambar gajah dan celana polos biru pastel itu mengambil mainan robotnya, memainkannya dengan perasaan kesal.
Ini sudah hari ketiga ia tak bertemu sang Ayah, namun Mamanya tak kunjung membawanya ke tempat sang Ayah berada, selalu beralasan kalau Ayah sedang sibuk dan tak boleh diganggu, padahal ia amat merindukan Ayahnya itu.
Nami menghela napas lelah, ia selesai mengepel lantai rumahnya. Putranya itu sangat pandai membuat rumah seperti kapal pecah, apalagi kalau sedang rewel seperti sekarang, yang tak pernah berhenti bertanya kapan mereka bertemu Ayah? Cukup membuat kepalanya pusing tujuh keliling.
Empat tahun lalu, putranya yang tampan dan menggemaskan itu lahir. Wajahnya mirip sang Ayah, tapi sifatnya nurun dari sang Ibu. Raka tak bisa diam dan aktraktif, seperti Nami saat masih muda dulu yang tak jauh berbeda seperti Raka. Sedangkan wajah tampan dengan hidung mancung, mata tajam dan kulit kecoklatan itu mirip sekali dengan sang Ayah, Fahmi.
Ponselnya berdering di atas meja ruang TV, Nami menyimpan alat pel ke dalam kamar mandi, lalu berjalan menuju ruang TV. Di atas karpet, Raka meliriknya dengan sinis, mungkin masih kesal karena Nami terus menunda-nunda pertemuannya dengan sang Ayah.
"Assalamualaikum," sapa Nami usai mengangkat telepon.
"Waalaikumsalam, dek, gimana kabar kamu sama Raka?"
Itu suara Fahmi, nadanya terdengar lelah di ujung sana.
Nami menjauhkan mainan robot yang dipegang Raka dari mulutnya, mencegah bocah itu untuk tidak memakan mainannya.
"Alhamdulillah, aku sama Raka baik-baik ajah kok. Kakak gimana? Acara di sana lancar kan?"Fahmi sedang ada seminar di luar kota saat ini, itulah mengapa Nami tak kunjung membawa Raka pergi menemui Ayahnya.
"Alhamdulillah kalau gitu, aku baik kok di sini, acaranya juga lancar. Besok pagi aku pulang."
"Raka udah nggak sabar ketemu kamu, dia nanyain aku terus katanya Ayah kemana? Kenapa kita belum ketemu juga sama Ayah.."
Nami kini duduk di atas sofa, melahap keripik kentang dari dalam toples. Rumah minimalis dengan cat didominasi oleh warna pastel itu menjadi tempat Nami, Fahmi dan putra mereka tinggal saat ini. Fahmi memutuskan membawa mereka pindah, karena merasa akan sesak jika terus tinggal di apartemen yang ukurannya tak begitu besar itu, apalagi saat ini mereka mempunyai seorang putra yang harus banyak aktif bergerak.
Fahmi terkekeh di sebrang sana, "Mana Raka? aku mau denger suara dia dong.."
Nami melirik Raka yang masih saja cemberut, ia tersenyum gemas melihat pipi putranya itu sengaja digembungkan karena kesal.
"Sayang, nih, katanya kangen sama Ayah. Ayah mau ngomong katanya sama kamu. Kangen juga katanya sama Raka." Ujar Nami.
Mendengar kata Ayah membuat Raka langsung antusias, walau masih memasang wajah jutek dan gengsinya, namun akhirnya Raka mengambil ponsel itu dari Nami dan mulai menyapa Ayahnya melalui sambungan telepon tersebut.
Nami terkekeh, rasanya menyenangkan melihat keluarganya seharmonis ini. Walau ia dan Fahmi jarang memiliki waktu bersama sebab tuntutan pekerjaan, tapi hubungan mereka tak merenggang sedikitpun. Justru disaat ada waktu untuk menjalin quality time, hubungan mereka tambah erat saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Dua Hati | END ✓
Spiritual⛔Nggak perlu baca cerita ini kalau menurutmu cuma buang-buang waktu⛔ SINOPSIS: "Allah, sebenarnya skenario apa yang telah Engkau buat untuk hamba?" Nami seperti tengah berjudi hati. Mempertaruhkan perasaannya hanya demi seseorang yang bahkan hampir...