39 [Rahasia Hati]

19.7K 1K 11
                                    

Hampir semua kembali seperti semula, walau ada hal-hal yang masih tetap bertahan dalam diri masing-masing.

Fahmi, ia masih berusaha untuk bersikap biasa, walau menjadi lebih pendiam dari biasanya. Sering sibuk dengan pikirannya, hanyut bersama rasa yang kini menggelayuti hatinya.

Sedang Nami, berusaha untuk bersikap tegar. Menenangkan gemuruh hati yang menjerit ingin didengar, menghalau segala resah yang kini memberatkan pikiran, juga melindungi hati dari prasangka tidak baik yang hanya akan menyesaki parunya.

Kodratnya cinta tak selamanya bahagia, tergantung hati ini dalam menyikapi segala yang tertanam dalam dada.
Sejatinya cinta adalah Dia Sang Pemilik Cinta itu sendiri. Jadi jangan mencintai segala hal lebih besar dari cinta kepada-Nya, jangan mencintai segala hal yang bukan karena-Nya. Padahal kesempatan hidup yang amat berharga ini salah satu dari banyaknya bentuk kasih sayang Allah pada kita sebagai hamba. Namun kenapa kita yang hanya manusia biasa, yang tak bisa melakukan daya upaya bila bukan karena-Nya begitu sombong dengan memilih membuang rasa cinta pada-Nya dan mengelu-elukan rasa cinta pada sesama makhluk-Nya.

Karena itulah, Nami memilih bersabar sejenak. Ia yakin Allah tak pernah memberikan cobaan kepada seorang hamba lebih dari kesanggupannya. Yang ia lakukan saat ini hanyalah, menjaga hatinya dari segala prasangka buruk baik mengenai Dia, maupun Fahmi. Menjaga perasaan cinta ini agar tak melebihi rasa cintanya pada Allah Swt. agar ia tak tersesat.

🍂🍂🍂


Nami menatap cermin besar pada meja rias di dalam kamar, memperhatikan penampilannya saat ini. Perutnya masih nampak rata, namun tubuhnya terlihat bertambah gemuk, dilihat dari pipinya yang semakin chubby saja, juga pergelangan lengannya yang semakin besar.

Seminggu sudah setelah kejadian Rae kecelakaan itu. Walau hatinya galau memikirkan kelanjutan hubungannya dengan Fahmi, namun tubuhnya tak memperlihatkan tanda-tanda orang galau.

Sama seperti wanita hamil pada umumnya yang sering merasakan nyidam, Nami-pun begitu. Diam-diam setelah Fahmi pergi ke rumah sakit, Nami akan memesan makanan yang diinginkannya saat itu melalui aplikasi ojek berbasis online. Apalagi ketika Fahmi mendapat sift malam, ia akan leluasa mencari makanan nyidamnya lalu memesannya pada ojek.

Nami masih merahasiakan kehamilannya pada Fahmi. Waktunya selalu tidak pas ketika ia akan memberitahu Fahmi akan hal itu. Apalagi melihat sikap Fahmi akhir-akhir ini, ia tak yakin akan tanggapan Fahmi.

Ia takut, Fahmi tak seantusias dirinya seperti saat ini.
Walau sebagian sisi hatinya selalu mengatakan bahwa ia harus secepatnya memberitahukan hal ini pada pria itu.

Telepon berdering nyaring, Nami menghentikan kegiatannya memperhatikan tubuhnya, beralih mencari keberadaan benda pipih itu.

Tertera nama 'Tesa' di atas layar ponselnya. Segsra Nami menjawab panggilan tersebut.

"Assalamualaikum?"

"Waalaikumsalam. Woei kemana aja lo? Nggak ada kabar kayak gini astagaaaa, gue kangen banget sama lo!"
Suara cempreng yang khas itu membuat Nami sedikit menjauhkan ponselnya dari teling, takut-takut gendang telinganya pecah. Tak lupa ia mengusap perutnya, merapal amit-amit, tak ingin anaknya nanti sampai mirip dengan gadis tomboi nan cerewet satu itu.

"Duh, nggak sudah teriak kenapa?! Budek tar gue.." protes Nami kala itu.

"Tsk! Kita main kuy! Bosen banget gue... si Boss masa nutup caffenya beberapa hari ini, entah kemana dah tu orang kampret satu! Yuk!"

Nami diam sejenak, beberapa hari ini juga ia merasa suntuk sekali di dalam rumah sendirian. Apalagi kini keadaan mereka sedang kacau seperti ini. Nami butuh udara segar, dan ajakan main Tesa sepertinya menarik.

"Boleh, boleh. Ntar gue izin dulu ya sama suami gue."

"Nah gitu dong! Kita ke rumah Mita ya? Ntar gue bawain cemilan yang banyak deh, gue pengen banget cerita-cerita ma klean bedua! Terus kalau Mita kagak sibuk kita ajakin ke mana gitu, biar nggak bosen juga kan di dalem rumah terus."

"Hm.. oklah, gue siap-siap dulu."

"Sip!"

Setelahnya, panggilan terputus.
Dipikir-pikir, sudah lama sekali ya ia tidak kumpul dengan dua sahabatnya itu.
Setelah hubungannya dengan Fahmi yang semakin membaik, sampai kembali pada titik terbalik seperti sekarang, ia sudah jarang bertemu dengan Tesa dan Mita.
Ah.. ia rindu sekali dengan dua sahabat terbaiknya itu.

Namira : Assalamualaukum,Kak. Aku izin pergi ke rumah Mita ya hari ini?

Tak menunggu lama, balasan dari Fahmi sampai pada ponsel Nami.

Kak Fahmi : Waalaikumsalam.Ya, hati-hati di jalan. Jangan pulang terlalu lama.

Nami tersenyum, ternyata pria itu masih peduli padanya. Segera saja tangannya lincah mengetik balasan.

Namira : Iya, Kak. Kakak juga, jangan lupa makan siang ya?

Kak Fahmi : Ya, pasti. Kamu juga.

🍂🍂🍂


"Ya Allah, berapa lama kita nggak kumpul begini. Astagaa kangen bangeeed!"

Baru saja sampai, Nami susah mendapat pelukan terlampau erat sampai membuat dadanya sesak napas. Siapa lagi pelakunya kalau bukan gadis tomboi bin cerewet satu itu, Tesa memang selalu hiperbolik dalam berbagai hal.

"Aduh.. sesak woei!" Nami protes, berusaha melepaskan pelukan gadis jangkung itu dari tubuh mungilnya.

Tesa terkekeh seraya melepaskan pelukannya. Namun tak lama kembali berteriak tanpa rasa berdosa. "Ya Allah demi apa lu sekarang gendutan?!"

Nami menutup kupingnya mendengar suara cempreng itu memekangkan telinga.
"Dih, Ca! Jangan teriak-teriak ah!"

"Tapi suer lo sekarang gendutan. Hello! Dimana Namira yang selalu makan banyak tapi kaga pernah gendut pergi? Ngapa sekarang badan lo jadi segede abreg gini dah?"
Tesa menimang lengannya yang memang terlihat agak berisi kini.

Mita yang sedari tadi hanya menjadi penonton saja akhirnya buka suara, sambil terkekeh ia menimpal. "Udah isi kali..."

"WHAT? SERIOUSLY?"
Dan Tesa langsung memekik heboh mendengarnya, sampai membuat bayi Anne terkejut dalam pangkuan Mita.

"Eca! Anakku jadi kaget! Kamu mau anakku jantungan? Amit-amit.." Mita menegur bibir Tesa yang macam toa itu, sedang Nami kini tengah meringis, pasalnya apa yang dikatakan Mita memanglah benar.

Niat untuk tetap diam akhirnya urung saat tiba-tiba Nami merasakan perutnya bergejolak hebat. Lagi-lagi rasa mual tak tertahankan itu menyeruak keluar, Nami buru-buru berlari menuju kamar mandi.

Hal itu membuat Tesa dan Mita kebingungan, akhirnya memilih menyusul wanita berperawakan mungil itu pergi.

"HUEKKK!"

"Ya ampun, Nam kamu?"

Nami baru hendak menegakkan kembali tubuhnya ketika mendengar penuturan Mita, namun mualnya malah datang kembali, lagi-lagi Nami berusaha menumpahkan segala isi perutnya.

"HUEEKK!"

Tesa inisiatif mengurut tengkuk sahabatnya itu, mengusap punggung Nami, berharap dapat meredakan rasa mual yang nyatanya tak menghasilkan apapun, hanya cairan bening saja yang keluar dari mulut Nami.

Tangan Nami bergetar, ia mencengkram erat-erat pinggiran wastafel. Matanya terpejam rapat, tuntas sudah mualnya kini.

"Nam, lo beneran hamil?"

Nami perlahan mengangkat wajah, menatap Tesa dengan pandangan nanar.

"Ca, Mita, tolong... jangan kasih tahu siapapun tentang hal ini, bahkan pada Fahmi sekalipun. Aku mohon, setidaknya sampai waktunya benar-benar tepat aku sendiri yang akan memberitahu hal ini padanya. Ya?"



***
Yohooo! Assalamu'alaikum..
Mood nulisku ancorr sekali,- mon maap kalau tulisanku kurang ngena :"
Terimakasih sudah mampir ^^

26 Agustus 2019

Takdir Dua Hati | END ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang