12 [De javu]

19.6K 1K 1
                                    

Sepuluh menit, cukup untuk gadis itu meluapkan segala emosinya. Tangisnya mulai reda, namun isaknya belum berhenti. Tangannya mengusap wajah dengan kasar, menarik napas dalam lalu menghelanya perlahan.

"Kamu nggak boleh cengeng Namira!" Nami beranjak seraya menyemangati dirinya sendiri.

"Lupakan dia, nggak guna tau nggak?!" Katanya pada diri sendiri. Ia lalu menepuk wajahnya dengan kedua tangan,
"Astagfirullah, Ya Allah... Maafkan hamba sudah menangis seperti ini."

Tangannya terangkat, menangkup kedua pipinya,  "Kuatkan hati hamba, Ya Rabb."

Sampai suara pintu kamar mandi yang dibuka tiba-tiba, sukses membuat Nami terkejut dan hampir melompat dari tempatnya. Mata Nami membulat, menatap tak percaya ke arah pintu kamar mandi. Napasnya terhenti, malu mulai merundungnya ketika pria itu berjalan dengan santainya keluar dari kamar mandi, kemudian berdiri tepat di depannya.

Wajah Nami panas, teringat akan hal konyol yang ia lakukan tadi. Tangannya masih menangkup wajahnya sendiri, tak bergerak sedikitpun saat mata itu bagai menelanjangi dirinya ketika menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki seperti saat ini. Mematung sambil menahan malu.

Tadi aku ngapain ajah ya?
Kenapa Kak Fahmi ada di sini?
Sejak kapan?
Aku harus gimana?! Malu banget!

"Aku kira bakal lebih lama." Pria itu menyeringai, memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Berdiri di depan Nami, menjulang tinggi sampai Nami merasa tengah berhadapan dengan raksasa.

Bila dilihat lebih teliti, tinggi Nami dan Fahmi memang berbeda jauh. Tinggi Nami hanya 165, sedangkan pria itu 182. Jauh sekali.

"Yah, lagian sejak kapan kamu jadi cengeng kayak gini? Seingatku dulu pas acara sekolah yang hampir gagalpun, kamu nggak nangis walau mata kamu berkaca-kaca."

Gadis itu menurunkan tangan dari kedua pipinya, wajahnya kembali sedih. Ada rasa malu ketika tiba-tiba air matanya kembali menggenang. Pertahanannya selama ini ternyata belum benar-benar utuh, buktinya ketika pria itu muncul kembali setelah bertahun-tahun, rasa sakit yang menghantuinya selama ini sukses meruntuhkan benteng dalam hatinya.

Rasa marah, kecewa, sedih, sakit hati, semua berkecamuk dalam dirinya. Hingga ia tak dapat menahan semua gejolak emosi, dan akhirnya hanya bisa menangis.

Astagfirullah..

"Aku konyol banget ya? Masa nangis cuma gara-gara hal begituan doang. Nggak jelas." Nami memaksakan tersenyum, mengusap air matanya dengan kasar. Suaranya masih serak, dan matanya terasa berat.

Fahmi mengerut kening, "Hal begituan? Hal apa?"

Nami duduk kembali di atas tempat tidur, meremas jari-jarinya sambil menahan sesak. Hari masih siang, dan Nami berharap agar hari ini cepat berlalu. Agar dirinya bisa cepat-cepat melupakan yang terjadi hari ini, dan kembali menjalani harinya seperti biasa.

"Kakak tau, aku pernah gagal menikah sebelumnya." Nami mengulas senyum tipis. Ini seperti mengorek luka lama yang belum mengering.

Wajah Fahmi jelas terkejut. Namun pria itu memilih diam, memberikan Nami waktu untuk kembali menjelaskan walau benaknya bertanya-tanya, kenapa?

Ia ikut duduk di samping Nami, menunggu gadis itu melanjutkan ceritanya.

"Itu sebabnya aku sempat ragu saat tiba-tiba diminta menikah sama Kakak. Aku takut, hal yang sama terulang lagi." Dadanya semakin sesak saja rasanya.

"Aku pernah bilang 'kan, kalau aku pernah terlalu berharap sama manusia dan akhirnya tenggelam dalam rasa sakit tak berkesudahan? Dan aku pikir, selama ini usahaku untuk melupakan dan kembali berharap hanya padaNya, akan bisa membuat rasa sakit ini menghilang. Tapi mungkin, usahaku belum maksimal. Sampai pria itu tiba-tiba muncul seperti sekarang, rasa sakit dan kecewa itu tetap ada."

Takdir Dua Hati | END ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang