23 [Belanja Bulanan]

17.5K 1K 11
                                    

"Kok salahku? Aku cuma ngasih saran ajah loh sama kamu."
Mita masih terkekeh di sebrang sana, sesekali juga terdengar ocehan bayi Anne dari sana.

Nami mendengus, memainkan kuku jari kakinya, memberengut kesal pada sahabatnya yang satu itu. "Ya salahmu lah Mitaaa, kalau ajah kamu nggak ngasih saran itu ke aku, aku nggak akan nanggung malu segunung kayak sekarang...!"

Mita lagi-lagi tertawa, "Kenapa harus malu? Nggak ada malu-maluin kok dari usaha kamu. Lagian kalian berdua lucu banget sih, hampir dua bulan nikah masa malu-malu meongnya baru sekarang? Kemana ajah kemarin-kemarin?"

"Ih.. pokoknya aku nggak mau tahu, semua malu aku ini salahmu loh Mit."

"Lah... masih ngambek. Tahu gini kenapa nggak aku suruh kamu ajak suamimu bulan madu ajah ya sekalian? Nanggung banget cuman pelukan doang.."

"Aaaaa! Mitaaaaa."

Dan Mita tak bisa menahan tawanya lagi.
Nami yang kepalang kesal mematikan sambungan secara sepihak, melempar ponselnya begitu saja ke sembarang tempat.
Ia menyeruput tehnya yang mulai dingin, rasa manis pahit itu memenuhi rongga mulutnya, berharap rasa malunya kinipun bisa larut bersama cairan bercita rasa khas itu.

Untuk kesekian kalinya, ia duduk di atas sofa yang berada di balkon apartemennya. Menikmati paginya dengan secangkir teh yang selalu dibiarkan dingin begitu saja. Beberapa buku memang menemani paginya hari itu, namun pikirannya tak bisa konsen barang sebentar. Hasilnya, buku-buku itu hanya tergeletak mengenaskan begitu saja di atas karpet beludru yang membentang.

Nami menghempaskan punggungnya pada sandaran sofa, menghela napas panjang seraya memejamkan mata.
Wajahnya panas sekali setiap kali pikirannya mengingat moment semalam. Apalagi kata-kata yang ia ucapkan pada Fahmi kala itu, sungguh memalukan. Sungguh membuatnya tak bisa berhenti mengerang kesal. Kenapa ia tidak lupa ingatan saja sekalian?

Bagaimana ia tidak malu? Ucapannya malam itu terdengar seperti sebuah pernyataan cinta!
Argh.. ia tak tahan bila pikirannya mengingat hal itu.

Dan menahan rasa malu seperti ini, sukses membuat cacing-cacing diperutnya meronta meminta asupan makanan. Mungkin menahan rasa malu bisa menguras banyak energi juga.

Nami membuka matanya, beranjak dari sofa empuk itu, lalu masuk ke dalam rumah.
Apa kira-kira yang bisa ia temukan untuk mengganjal rasa laparnya kali ini?

Gadis itu membuka kulkas, dan yang ia temukan hanyalah sebuah kotak pendingin kosong dengan isi sebotol air dingin dan sekotak es batu saja.

Ah, ia lupa kalau ia belum membeli persediaan untuk bulan ini.
Nami menepuk dahinya, ia juga lupa memberitahu hal ini pada Fahmi. Lupa meminta jatah bulan ini pula. Dan ia benar-benar tidak mempunyai duit simpanan, ia sudah tidak bekerja sekarang, dan kini ia hanya bergantung pada Fahmi saja.

Aish.. bagaimana ini? Apa tunggu sampai Fahmi pulang saja?

Nami beralih membuka tudung saji di atas meja makan, dan hanya tersisa sebungkus roti dengan setoples selai coklat, sisa sarapan pagi tadi.
Gadis itu menghela napas, bersyukur setidaknya masih ada makanan untuk ia makan sebagai pengganjal perut pagi menjelang siang itu.

Nami membuka plastik roti, mengambil dua buah roti dari dalam sana, mengoleskan selai coklat di atas permukaan roti, lalu diletakkan di atas piring kecil. Setelahnya, ia bawa kembali menuju balkon, menyantapnya dengan teh yang sudah tak lagi mengepulkan asap.

🍂🍂🍂


"Assalamu'alaikum,"

Nami yang tengah fokus menonton TV terperejat ketika mendengar suara salam dari arah pintu. Gadis itu memiringkan kepalanya, melihat siapa gerangan yang datang.

Takdir Dua Hati | END ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang