9 [Hari Ketujuh]

21.6K 1.2K 7
                                    

Bila ditanya, apa yang baru dari sebelum dan sesudah menikah? Nami akan menjawab, tidak banyak. Selain ia harus resign dari tempat kerjanya atas permintaan sang Ayah, semua berjalan biasa saja.

Siapa yang sangka? Tempat kerja Namira dan Fahmi
ternyata berada di satu kota yang sama. Tempatnya bahkan berdekatan. Namun anehnya, Nami tak pernah barang sekalipun bertemu dengan Fahmi. Mungkin pernah berpapasan, namun Nami tidak menyadarinya.

Ini hari ke tujuh dirinya resmi menjadi istri Dokter tampan itu. Tidak ada yang tau mengenai hubungan mereka selain Mita, Tesa, dan Angga satu-satunya sahabat Fahmi yang datang ke acara pernikahan. Angga bukan seorang dokter seperti Fahmi, ia bekerja di bagian farmasi. Namun keduanya dekat sudah sedari lama, tepatnya semenjak SMP. Hanya Angga yang tau mengenai masalah yang menimpa Fahmi saat ini, dan juga tentang pernikahan ini.

Memang, gosip tentang kandasnya hubungan Fahmi dengan Rae sudah menyebar ke seantero rumah sakit. Namun, hanya Angga yang tau persis bagaimana semuanya terjadi, seperti apa, dan apa yang sebenarnya pria itu sembunyikan dari orang-orang. Termasuk dari Namira.

Gadis bermata bulat itu benar-benar buta mengenai masalah ini. Ia hanya menjalani hari tanpa tau apa-apa, tanpa tau apa yang sebenarnya Fahmi hadapi. Tanpa tau apa sebenarnya yang ada di hati seorang Fahmi.

Nami mengangkat tubuhnya, menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Di tatap samping kanannya, kosong. Sudah rapi seperti biasa. Nami menghela napas, selalu seperti ini.
Matanya kini menatap jam dinding, sambil menguap ia bergumam. "Sudah subuh.." katanya, seraya mulai meregangkan tubuh kakunya.
Nami turun dari tempat tidur, melangkah menuju kamar mandi. Bersiap untuk melaksanakan sholat subuh.

Apartemen studio milik Fahmi, kini juga menjadi tempat Nami tinggal. Apartemen ini tidak terlalu besar, seperti apartemen studio lainnya, tak banyak ruangan yang tersedia. Hanya ada satu kamar tidur, ruang TV, satu kamar mandi dan dapur. Awalnya Fahmi berencana pindah saat ingat Nami akan tinggal bersamanya. Namun, Nami menolak, gadis itu tak masalah katanya tinggal di sana. Padahal tempat itu serba sempit, Fahmi tidak tega membiarkan gadis itu tinggal di apartemennya.

Usai menyelesaikan sholat subuh, Nami berjalan menuju dapur. Ruangan tak seberapa besar itu begitu lengang, seperti biasa. Nami menghela napas, mulai mengambil mug, toples berisi gula, dan toples berisi teh bubuk. Satu kebiasaan baru yang Nami lakukan setelah menikah, selalu meminum teh dipagi hari. Entahlah, ia hanya merasa, teh panas dipagi hari dapat menenangkan hati dan pikirannya dari kemelut rasa gundah yang menghantuinya.

Sampai suara pintu dibuka, Nami menghentikan sejenak kegiatan mengaduk tehnya.
Sosok pria dengan setelah koko dan sarung masuk ke dalam rumah, Nami langsung menghampirinya.

"Assalamualaikum." Fahmi mengucap salam saat melihat  Nami berjalan menghampiri.

Nami tersenyum kecil, "Waalaikumsalam, Kak.."
Tangan mungil gadis itu terulur, Fahmi menyambut uluran itu. Tanpa ragu, Nami mencium tangan besar Fahmi, dan setelahnya Fahmi memberikan kecupan singkat pada kening Nami.

Hanya sebuah kebiasaan, juga sebuah rasa 'keharusan' yang membuat mereka melakukannya.
Tapi tetap saja, seterbiasa apapun mereka, pada akhirnya keduanya berakhir kikuk dan canggung.

"Ka..Kakak mau sarapan?" Nami mencoba mengurai suasana.

Fahmi menggeleng kecil, "Maaf, nggak dulu untuk hari ini."

Nami tersenyum kecil, mengangguk, ada rasa kecewa yang menggelayuti hatinya.
Satu minggu, dengan kebiasaan yang sama.
Bangun dengan suasana lengang, interaksi yang sangat sedikit, lalu menjalani hari sendiri-sendiri. Jauh dalam lubuk hatinya, Nami merasa kesepian.

Takdir Dua Hati | END ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang