"Kak..." Nami meringis ketika merasakan sakit di pergelangan tangannya sebab Fahmi yang menggenggamnya terlalu erat.
Namun sepertinya Fahmi enggan mendengarkan rintihan Nami, pria itu tetap acuh, melangkah cepat di depan Nami membawanya menuju apartemen mereka.
Sampai di dalam apartemen, Fahmi baru melepaskan cekalannya. Nami tak henti meringis, mengusap-susap sekitar pergelagan tangannya. Ia menatap kesal pada Fahmi, sampai tega menyakitinya seperti ini.
"Kakak kenapa sih?" Akhirnya Nami bertanya ketika melihat Fahmi hanya diam menatap tajam padanya.
"Ada juga kamu yang kenapa? Kenapa kamu ketemu sama dia nggak izin sama aku dulu?"
"Izin? Bukannya Kakak yang bilang dia udah minta izin Kakak buat ketemu sama aku?"
Fahmi berdecak kesal, "Itu dia, bukan kamu."
"Ya terus apa bedanya? Lagian aku sama dia ketemu buat selesein masalah doang, bukan buat hal lain."
"Tapi tetap aja, kamu mestinya izin dulu sama aku. Nggak ada yang tau 'kan bisa aja dia berbuat jahat lagi sama kamu seperti dulu."
Kini Nami yang tiba-tiba diserang pusing, tak mengerti dengan sikap Fahmi sekarang. Tadi mengusirnya, lalu sekarang marah-marah hanya karena masalah seperti ini?
"Kakak kenapa sih? Akhir-akhir ini Kakak aneh tahu gak? Masalah kayak gini aja dibesar-besarin. Aku nggak apa-apa Kak, lihat, dia nggak berbuat hal jahat apapun sama aku."
Kening Fahmi kini bertaut bingung, "Aneh? Aku khawatir sama kamu, kamu bilang aneh?"
Dan Nami tertawa hambar mendengarnya, ia melipat tangan di atas dada, habis sudah kesabarannya sekarang. "Khawatir? Bukannya tadi Kakak ngusir aku ya, kenapa sekarang bilang khawatir?"
Fahmi diam, menghela napas panjang, meredam emosinya agar tak meledak. "Aku sedang butuh waktu sendiri, kamu harusnya mengerti."
"Mengerti? Selama ini aku selalu berusaha buat ngertiin Kakak! Aku sabar ngehadapin semua sikap Kakak yang labil itu. Hari ini aku cuma minta waktu Kakak sebentar, minta Kakak untuk mendengarkan aku dan itu nggak lama. Kenapa harus marah-mara kayak gini? Kalau memang Kakak sedang ada masalah, aku 'kan sudah bilang Kakak bisa cerita sama aku, bukan dengan pendam semuanya sendiri kayak gini dan bersikap menyebalkan seperti sekarang."
Fahmi mendengus, "Kamu nggak akan ngerti masalahku."
"Ya aku gimana mau ngerti kalau Kakak sendiri nggak mau bilang apa masalahnya sama aku. Kakak egois ya? Selalu ingin dimengerti tapi nggak pernah mau mengerti. Aku ini Kakak anggap apa sih? Aku tahu, perasaan Kakak sama Kak Rae itu masih belum bisa Kakak lupakan. Tapi apa harus sampai menyakiti hati orang lain seperti ini? Hati aku.. Melampiaskan semuanya pada orang lain? Padaku.."
Habis sudah, mengalir air mata yang sedari tadi mati-matian Nami tahan. Tak tahan lagi dengan perasaan sesak yang mencekik parunya saat ini.
Namun sepertinya hati Fahmi sudah termakan oleh amarah, dirinya malah mendengus, tak sedikitpun merasa simpati dengan isakan Nami yang begitu memilukan. "Terserah." Katanya, lalu memilih membuka pintu, pergi begitu saja, meninggalkan Nami yang kini luruh di atas dinginnya lantai, terisak seorang diri.
🍂🍂🍂
"Gila! Seriusan Fahmi kayak gitu tadi?!" Tesa menggeram tak terima ketika mendengar cerita apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya itu.Nami duduk di sampingnya, menangis tersedu-sedu, bercerita garis besar permasalahannya dengan Fahmi akhir-akhir ini.
Tesa terkejut sebenarnya dengan kedatangan Nami malam itu sambil menangis dan langsung memeluknya sesaat setelah Tesa membukakan pintu.
Awalnya Nami enggan bercerita, bilang bahwa ia minta izin untuk bermalam di kosannya malam ini sambil sesenggukan. Namun atas paksaan dan kecerewetan Tesa akhirnya Nami mau bercerita. Walau hanya garis besarnya saja, tidak mendetail.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Dua Hati | END ✓
Spiritual⛔Nggak perlu baca cerita ini kalau menurutmu cuma buang-buang waktu⛔ SINOPSIS: "Allah, sebenarnya skenario apa yang telah Engkau buat untuk hamba?" Nami seperti tengah berjudi hati. Mempertaruhkan perasaannya hanya demi seseorang yang bahkan hampir...