21 [Cerita dari Mita]

17.5K 1K 9
                                    


Nami sedang dalam masa jenuh saat ini. Sudah dua minggu lamanya semenjak kejadian Rae datang sambil menangis tersedu sedan. Dan itu benar-benar berpengaruh banyak pada diri Fahmi maupun Nami.

Fahmi, pria itu lebih banyak melamun. Sering sekali panggilan dari Nami diabaikannya. Helaan napas berat sering terdengar dari mulutnya. Kembali, Fahmi kehilangan gairah hidup.
Pria itu mengingkari janjinya. Kembali menjalani hari sendiri-sendiri. Bangun lebih awal, pulang saat larut. Bahkan meminta Nami untuk tidak lagi mengantar makan siang ke rumah sakit.

Nami tentu merasakan kesepian lagi. Setelah harapannya akan perubahan hubungan mereka berdua harus hancur karena kejadian tak terduga.

David, setelah satu minggu Nami abaikan, pria itu tak lagi datang menemuinya. Nami bersyukur, karena tak lagi harus merasakan kecamuk rasa dari berbagai masalah yang melandanya secara bersamaan itu.

Sebenarnya Nami masih penasaran akan apa yang terjadi saat itu dengan Rae. Kenapa wanita cantik itu sampai memiliki luka sedemikian besar dan parah? Dan ucapan Rae kala itu sering kali membuat pikiran Nami berpikir negatif, mungkinkah Ibunya melakukan hal itu? Tapi kenapa?

Ingin rasanya ia bertanya tentang hal itu pada Fahmi, namun ia tak yakin pria itu mau menjawabnya. Melihat mood Fahmi belakangan ini yang turun drastis, kadang Nami merasa hatinya tercubit melihat bagaimana dalamnya perasaan Fahmi pada Rae.
Entahlah, Nami juga tidak mengerti dengan perasaannya sendiri.

Gadis itu sudah siap dengan kaos putih dan kardigan kuning gading yang melekat ditubuhnya. Pasminah berwarna navy menjadi pilihannya, dipadu dengan rok panjang berwarna sama dengan pasminah. Sepatu kets putih dipakainya, ia sedang bersiap ke rumah salah satu sahabatnya.

Nami dengar Mita sudah kembali dari pulkamnya. Kebetulan sekali saat Nami tengah dilanda dilema seperti  ini, ia butuh tempat curhat dan nasihat dari wanita dengan aura dewasa yang kental itu.

Setelah mendapat izin dari Fahmi untuk pergi, yang tentunya hanya mendapat balasan singkat dari pria bersorot mata sayu itu, Nami akhirnya melangkah keluar rumah.

🍂🍂🍂


"Anne makin berat nih.."

Mita terkekeh, berjalan menuju sofa ruang tamunya, meletakkan secangkir teh yang sengaja ia suguhkan untuk sahabatnya yang datang hari ini.

Nami tengah menggendong putri kedua Mita, putri pertamanya tinggal dengan sang Nenek, memilih bersekolah di kampung sederhana namun penuh kesenangan itu. Sebulan sekali putra berumur enam tahun itu pulang ke sini, Hamzah namanya.

Mita duduk di samping Nami yang sibuk menciumi pipi gembil milik Anne.
Melihat itu, Mita jadi kepikiran,
"Udah cocok kamu jadi Ibu." Katanya spontan.

Hal itu sukses membuat mata Nami melotot, menatap tak suka pada sahabatnya yang tadi menggodanya.

"Ish! Apaan sih." Jutek Nami, kembali bermain-main dengan bayi enam bula itu.

Mita tertawa mendengarnya.

"Jadi, ada apa hm?"

Nami menyandarkan punggungnya pada sofa, membiarkan bayi Anne bermain dengan jari-jari tangannya.

"Kamu sama Mas Gilang 'kan dijodohin ya? Terus cara kalian nerima satu sama lain kayak gimana?"
Mata bulat itu menatap Mita lekat-lekat.

"Ya... dengan cara percaya kalau semua ini memang jalan yang sudah Allah takdirkan untuk kami."

"Kamu tahu? Satu tahun pernikahan kami, dilanda banyak sekali ujian." Mita tersenyum, teringat bagaimana suasana pernikahannya dengan sang suami dimasa awal-awal dulu.

"Oh ya?"

"Ya. Mas Gilang itu orangnya gila kerja, kita bahkan jarang ketemu kalau di rumah saking sibuknya dia. Dan setelah enam bulan berjalan dengan suasana pernikahan yang masih begitu-begitu saja, atas permintaan Mama dan Papa mertua, kami diminta untuk segera memberi cucu. Mas Gilang awalnya cukup keberatan dengan permintaan tersebut, apalagi kami sama sekali nggak mengenal satu sama lain, pernikahan kami hanya sebuah hubungan di atas kertas kala itu."

Nami terdiam, mencerna baik-baik cerita Mita. Ia tidak tahu kalau diawal pernikahan, Mita dan sang suami memiliki hubungan yang tidak seperti pasangan suami istri lainnya. Mita tidak pernah menceritakan hal ini, ia baru tahu.

Dan mendengar cerita Mita, ia merasa ceritanya sama dengan kehidupannya kini.

Nami mengangkat wajah, menatap Mita yang tersenyum ramah padanya. "Terus? Gimana? Kok kamu nggak pernah cerita soal ini sih sama aku?"

"Ehehe, aku cuma berpikir kalau masalah rumah tanggaku adalah tanggung jawabku. Dan aku nggak mau orang lain tahu soal ini, termasuk kalian. Bukannya aku nggak percaya sama kalian, aku cuma nggak mau buat repot orang-orang yang aku sayang." 

"Dan, setelah permintaan tentang cucu itu, kami dipaksa untuk pergi bulan madu. Mama dan Papa mertua berpesan pada Mas Gilang untuk jangan terlalu menjadi seorang yang gila kerja. Dia sudah menikah, dan aku tanggung jawabnya sekarang.

"Dan pada akhirnya kami pergi bulan madu ke Singapura. Satu minggu lamanya. Satu bulan setelahnya, aku dinyatakan hamil. Momen itulah yang membuat Mas Gilang akhirnya sadar, kalau hidupnya kini bukan hanya soal dirinya sendiri. Ada aku, ada anak kami yang harus ia jaga dan rawat. Tanggung jawabnya. Janjinya pada Allah akan aku dan juga anak-anak kami.

"Kami akhirnya mulai membuka diri, menerima satu sama lain. Dan Alhamdulillah, kami bisa mempertahankan keharmonisan rumah tangga kami sampai saat ini. Dan semoga, InsyaAllah, sampai akhir hayat kami."

Nami diam. Ia berpikir, dari cerita Mita dapat disimpulkan bahwa, opsi paling memungkinkan membuat suaminya berpaling adalah, punya anak.

Mendengus, Nami tertawa sumbang. "Jadi maksud kamu aku harus punya anak dulu biar hubungan aku sama Kak Fahmi membaik?"

Mita langsung tertawa, matanya melengkuk indah bak bulan sabit.
"Ya, itu opsi pertama sih.. tapi 'kan kamu bisa coba deketin suamimu dulu, buat dirimu menjadi prioritasnya sekarang."

Nami mengulurkan tangan, mengambil cangkir tehnya dan menyeruputnya sedikit. Bayi Anne sibuk memainkan jilbab yang ia pakai.

"Aku udah coba, tapi gagal." Ujar Nami dengan nada kesal.

"Yaudah, kalian bulan madu ajah gih..."

"Ish.. nyebelin sekali kau Mit!"

"Yaudah deh, gini ajah. Kamu sebelumnya pernah berinteraksi 'lebih' gak sama suamimu?"

"Interaksi apaan dah?"

"Ya, misalnya pegangan tangan, peluk, atau apa gitu."

Nami menggeleng. Seingatnya memang tidak pernah. Tapi, aksi memijatnya hari itu, dan usapan lembut dari Fahmi kala itu, apakah termasuk ya?

"Tapi, aku pernah pijitin dia sih... pas dia pulang kerja dan keliatan capek banget." Kata Nami.

"Nah, itu. Coba lebih sering melakukan hal-hal kayak gitu. Itu bisa buat kalian makin deket loh. Percaya deh sama aku,"
Mita mengangguk mantap meyakini.

"Tapi, masa cewek duluan yang gerak sih?"

"Apa salahnya? Bunda Khadijah saja dulu yang pertama kali meminta Rasulullah menikahinya. Lagian kalian suami istri, udah halal juga, nggak masalah siapapun yang memulai 'kan?"

Dan Nami kembali diam. Bisakah rencana dari Mita berhasil membuat pikiran Fahmi berubah?

Takdir Dua Hati | END ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang