25. Kesialan Yang Bertubi-tubi

12.2K 749 381
                                    

Alohaloooo... dududu dudu duduuuu.... malem semua... akhirnya ii bisa up lagi ya setelah sebelumnya laptopnya bermasalah. Tadinya ii mau double up gitu kemarin tuh kan tapi yaaaa... karena sesuatu jadi deh ditunda. Alhamdulillah sekarang udah idup lagi si Erroinya meski masih sering error.

Oke deh.... jangan lupa vote dan komennya yaaa... ramenin notif ii... makasih. Loveeee loveee...

***HappyReadingGengs***

"Anna..." panggil seseorang ketika gue memilih kembang kol dan wortel di penjual sayur.

Suara ini begitu familiar.

Berat dan tegas namun di saat yang bersamaan bisa juga terdengar seperti anak kecil. Khas seseorang.

Gue menoleh dan mendapatkan Vikro tengah berdiri di samping gue dengan senyum paginya yang begitu cerah. Benar dugaan gue, yang tadi memanggil itu adalah Vikro. Gue mundur sedikit lalu menggarkk pipi seraya membalas senyuman Vikro.

Ini gue harus ngapain coy?

Pengan kabur tapi Vikronya udah ada di samping gue.

Mana cakep banget lagi.

Bikin lupa sama Pak Bagas aja.

"Vi-Vikro? Nga-ngapin di sini?" tanya gue dengan terbata-bata.

Bego! Ya belanja lah.

Aduh Anna.... gak ada pertanyaan yang lebih berkualitas apa ya?

"Lagi mau beli sayur nih." jawab Vikro. "Lo sendiri juga lagi beli sayuran?"

"Iya... tadi abis beli bahan-bahan roti terus beli sayur." jawab gue diakhiri senyum canggung.

Vikro mengangguk-angguk sambil melihat ke arah belanjaan gue yang di simpan sebelah kaki gue. Setelah itu dia mulai memilih sayuran yang akan dia beli. Gue pun melakukan hal yang sama, kembali melakukan pemilihan ynag tadi sempat tertunda.

Gue tidak konsen memilih sayuran yang akan gue beli karena ada Vikro di samping gue. Diam-diam gue memperhatikan dia. Cowok itu begitu cekatan namun penuh pertimbangan dalam memilih sayuran yang akan dia beli. Vikro pun banyak bertanya pada penjual sayur itu seperti kapan sayur ini dikirim. Dari interaksi Vikro dan bapak penjual sayur itu, keduanya terlihat tidak terlalu canggung dan malah terlihat akrab. Mungkin Vikro adalah langganan di sini. Gue tersenyum kecil, tidak menyangka Vikro yang menjadi idolan kampus itu ternyata tidak malu belanja kebutuhan dapur di pasar tradisional seperti ini.

"Apa lagi, A?" tanya bapak penjual sayur itu pada Vikro setelah selesai membungkus tomat yang Vikro beli.

"Cabe rawitnya seperapat, Pak." jawab Vikro, menunjuk tumpukan cabe rawit yang ada di dekat penjual sayur itu. Setelah itu dia mulai memilih-milih buncis yang ada di hadapannya.

"Eh Na, itu lo banyak bener belanjaan buat bikin rotinya." kata Vikro tiba-tiba, membuat gue yang tengah diam-diam memperhatikannya jadi tersentak kaget karena dia menoleh ke arah gue.

"Lo jualan?" lanjutnya kemudian.

"Haha iya." jawab gue sambil menggaruk pipi dan mengangguk kecil.

"Wow Keren." ujar Vikro. Dia lalu mengambil dua bungkus buncis dan menyerahkannya pada penjual sayur di hadapannya,"Buncisnya dua bungkus, Pak."

"Yang jualan mama gue kok, gue cuma bantuin aja." kata gue seraya menyerahkan dua bungkus wortel pada penjual sayur itu yang diterima penjual sayur itu setelah sebelumnya memasukan buncis yang Vikro beli ke dalam kresek belanjaannya.

"Oh... di mana jualannya, Na?" tanya Vikro lagi. Kini dia menghadap ke arah gue.

"Di rumah, mama buka toko roti." jawab gue seraya menggaruk pipi lalu menyelipkan anak rambut gue ke daun telinga lalu menyibukkan diri dengan memilih kentang-kentang yang berada di sebelah cabe kriting.

Pak Doktor, ACC Dong! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang