32. Kekacauan Di Kafe Ce

11.8K 672 274
                                    

Alohalohalooooo... jam segeni ii udah balik lagi, tumben ya up berturut-turut gini hehe soalnya emang part yang ini udah disipain sejak jauh-jauh hari. Biar cepet selesai juga sih hehe...

Oke deh Karena ii upnya gak ngaret jangan lupa vote dan komennya yaaa. Makasih kawan....

Ps : Mengandung adegan kekerasan, pembantaian, dan pembuhuhan serta suara jeritan yang mencekam wkwkwk eh tapi enggak deh.

Part terfavorit ii nih semoga jadi part terfav kalian juga😆

***HappyReadingGengs***

Jangan lengah.
Lawan bisa saja sebenarnya kawan dan kawan bisa saja sebeanrnya lawan. Sebab kawan yang berpotensi paling besar untuk menjadi lawan.

"Kurang ajar!" Pak Bagas langsung menendang kursi yang ada sampingnya. Belum puas sampai di situ, Pak Bagas pun menginjak kursi itu tanpa ampun seperti orang kesetanan. Gue sampai menjerit saking kaget dan takutnya.

Tatapan membunuh Pak Bagas langsung tertuju pada Milan setelah puas melampiaskan kekesalannya pada kursi tak bersalah yang kebetulan ada di samping kanannya. Tubuh gue seketika bergetar saat meliahat aura membunuh yang menguar jelas dari Pak Bagas.

Sosok monster dalam tubuh Pak Bagas terusik. Gue takut melihat dia yang seperti ini. Pak Bagas sangat berbeda dari biasanya. Sekarang tak ada wajah ramah dan murah senyum serta pandai membuat lelucon menyebalkan lagi dari Pak Bagas, yang ada hanya wajah bengis yang siap menghabisi siapa saja jika sekali lagi mencoba mengusiknya. Dia sangat mengintimidasi dan buas.

Tanpa sadar gue mundur ke belakang dan bersembunyi di balik pungung tegap sahabat gue. Tapi wajah gue sedikit menyimbul ke luar, melihat ke arah Pak Bagas karena gue penasaran. Milan meremat tangan gue, seakan memberi gue kekautan untuk tidak gentar di situasi ini. Dan hal itu berefek seperti gue dilindungi seseorang. Sementara itu Pak Bagas menatap Milan, gue, dan tangan gue yang digenggam Milan secara bergantian dengan sorot yang sangat sulit diartikan, perpaduan antara marah, sakit, dan kecewa. Entah apa namanya.

"Saya sudah peringati kamu untuk tidak ikut campur masalah ini." desis Pak Bagas penuh penekanan.

Baik Pak Bagas maupun Milan masih diam di tempat, terlihat masih cukup tenang untuk membuat keributan, tapi gue yakin mereka tengah menahan amarah yang semakin menumpuk besar. Keduanya sebenarnya tengah saling memancing untuk menghajar lebih dulu karena mungkin keduanya juga sadar terlalu berisiko jika memulai pukulan lebih dulu.

"Imil... udah ayooo kita pergi..." gue menarik-narik tangan Milan untuk segera angkat kaki dari tempat ini. Selain karena gue emang sudah muak dan malu jadi bahan tontonan, gue ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini juga untuk mencegah hal yang tidak diinginkan terjadi, seperti baku hantam misalnya. Gue harus segera menarik Milan keluar dari tempat ini sebelum salah satu dari mereka berdua hilang kontrol dan memulai serangan.

Milan mengepalkan tanganya kuat-kuat, nampak menahan amarahnya dan sepertinya masih ingin berada di tempat ini untuk memberi pelajaran pada Pak Bagas. Tapi untungnya Milan masih mendengarkan gue untuk segera angkat kaki dari tempat ini. Baru saja gue memalingkan badan, tangan gue yang terbebas diraih Pak Bagas. Dia menahan gue untuk yang kesekian kalinya.

"Lepasin..." gue berusaha melepas cangkraman Pak Bagas dengan menarik tangan gue seraya mengibas-ibaskannya. Tapi tenaga Pak Bagas benar-benar tidak terbantahkan.

Milan yang melihat itu langsung menggeram dan mencekal balik pergelangan tangan Pak Bagas,"LEPASIN ANNA SAYA BILANG!" desisnya penuh penekanan. Jangan tanya seberapa tajam Milan menatap Pak Bagas, yang jelas jika mata Milan bisa mengeluarkan api mungkin Pak Bagas sudah terbakar hidup-hidup saat ini juga.

Pak Doktor, ACC Dong! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang