8. Goes to Bandung

1.3K 83 2
                                    

MAAF JIKA ADA TIPO

🌸

 "Tidak ada kebohongan yang abadi."

🌸🌸🌸

 
   "Anak Papa udah cantik aja pagi-pagi begini. Mau ke mana, Sayang? Sini, sarapan dulu." Ben menarik kursi di sampingnya untuk Echa.

    "Papa, nih. Masa baru sadar kalau anaknya cantik?" Echa duduk di samping Ben.

    Ben tertawa.

    Echa mengambil piring lalu mengisinya dengan nasi dan lauk pauk. "Echa mau jalan-jalan sama temen, Pa."

    "Temen apa temen?" goda Ben.

    Pipi Echa langsung memerah. "Temen Echa Pa.... Nggak usah mikir aneh-aneh, deh." Echa memasukkan sesuap nasi ke mulutnya.

    "Anak Papa udah gede ceritanya." Ben terkekeh.

    "Iya, dong. Masa udah dikasih makan nggak gede-gede." Echa ikut terkekeh. Dia jadi teringat sesuatu saat membahas anak kecil.

    "Echa mau nanya sesuatu sama Papa. Tapi, Papa harus jawab yang jujur. Oke, Pa?" Echa meletakkan sejenak sendoknya.

    "Apa?" Ben melipat tangan dimeja, menyadari anaknya sedang ingin membicarakan hal serius.

    "Aren itu siapa?"

    Sekujur tubuh Ben memanas. Haruskah dia berbohong?

    "Aren itu kamu, Sayang. Nama panggilan kamu waktu kecil." Ben mengusap puncak kepala Echa.

    "Emm.... Apa Echa punya temen masa kecil yang belum Echa tau?"

    "Nggak ada, tuh. Kamu udah tahu semuanya. Papa 'kan udah pernah ceritain semuanya ke kamu. Emangnya kenapa?" Ben menatap Echa dengan gelisah. Namun, Echa tak menyadari akan hal itu.

    "Nggak ada apa-apa. Echa cuma ngerasa mimpi Echa belakangan ini itu aneh aja. Berasa nyata, kejar-kejaran di,pantai sama anak laki-laki. Umurnya..., mungkin 7 tahunan." Echa kembali mengingat-ingat mimpinya setelah pingsan.

    "Mungkin itu cuma bunga tidur."

Mungkin itu cuma bunga tidur, sama kayak yang Raga bilang.

     Setelah Echa selesai sarapan, dia pamit lagi pada Papanya. "Pa, Echa berangkat, ya? Nanti kayaknya bakal sampai malem. Tapi tenang aja, temen Echa bisa jaga Echa semua kok, soalnya pinter berantem. Terus, ya, Pa, mereka nggak akan berani macem-macem sama Echa. Dijamin aman sentosa
Jadi, Papa nggak usah khawatirin Echa." Echa menghirup oksigen banyak-banyak, dia bicara dalam satu tarikan napas.

    "Hm." Ben menyerutup kopinya.

    Echa mendengus kesal, dia ngomong panjang lebar, eh responnya? 2 huruf doang?!

Tin!

Tin!

    "Assalamualaikum, Papa jutek. Tuh temen Echa udah jemput, jadi Echa berangkat dulu, oke?" Echa mencium tangan Ben dan berlari keluar rumahnya.

   "Jangan kangen!!"

    "Anak Papa beneran udah gede ternyata, nggak nyangka kamu masih ada di samping Papa. Bahkan, dulu kesempatan kamu untuk hidup itu tipis sekali, Cha. Papa salut sama kamu," Ben menggumam, mengembangkan senyum bangganya.

🌸🌸🌸

    Echa memanyunkan bibirnya kesal. Tadi, dia sudah mau duduk di sebelah Jiwa yang mengambil kemudi mobil. Namun, Raga malah membentaknya. Katanya, Echa harus siaga 24 jam buat Raga. Nyebelin 'kan? Memangnya dia siapanya Echa? Anaknya? Akhirnya, Echa duduk di belakang bersama Raga.

Jiwa Raga (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang