40. Tercyduk

554 34 2
                                    

MAAF JIKA ADA TYPO

🌸

"Rindu itu seperti air, diam-diam menghanyutkan."

🌸🌸🌸

    Bagi Echa, Ben mengingat sedikit saja tentang dirinya, itu adalah hal yang sangat membahagiakan baginya. Seperti sekarang, gadis dengan sweter krem itu memeluk Ben dengan erat saat pria paruh baya itu menceritakan bagaimana Echa merengek minta dibelikan boneka beruang dulu. Gadis itu sampai menitikkan air mata haru.

     Dokter Angga bilang, selagi ada kemauan, selagi ada usaha, pasti ada jalan. Jika Ben rajin melakukan terapi dan mau menerima semua hal yang orang-orang coba lakukan untuk mengembalikan ingatannya, kemungkinan besar Ben akan mengingat semuanya kembali. Semua memorinya. Entah yang bersifat jangka pendek atau jangka panjang. Dan Echa sangat bersyukur akan hal itu. Begitu juga Tante Ratih yang sedang mengupas buah apel di sampingnya.

    "Waktu Mas Ben bilang inget sesuatu tentang kamu, dia keliatan semringah banget, Cha."

    Echa dan Ben terkekeh geli. Tangan Echa perlahan mengusap-usap punggung Ben penuh kasih.

    "Waktu Tante tanya Mas inget apa, Mas bilang mau cerita nanti, tunggu kamu pulang sekolah. Ais, nggak asyik banget."

    Lagi-lagi Echa dan Ben terkekeh geli "Echa selalu berdoa supaya Papa cepet sembuh," kata gadis itu sambil mengurai pelukan mereka.

    Ben tersenyum lebar. Pria paruh baya yang mulai beruban itu mengusap puncak kepala Echa dengan lembut. "Sekarang, Papa bener-bener yakin. Kamu anak Papa."

    Echa mengangguk mantap. "Iya. Echa emang anak Papa. Selamanya."

    "Om? Cha? Tante?"

   Ketiga insan yang sedang berbahagia itu menatap Raga berbarengan. "Kenapa, Ga?" tanya Ben sambil menginstruksikan Echa untuk duduk di kursi samping Tante Ratih.

    Raga menilik jam tangannya. "Udah malem, Om, Tente. Raga mau pulang dulu, ya."

    Kedua orang dewasa itu mengangguk maklum. "Iya. Hati-hati, ya," kata Tante Ratih disusul senyum hangatnya.

    Ben menenteng boks donat yang sudah kosong dengan tangan kirinya. Pria paruh baya itu meringis kecil. "Makasih juga donatnya. Lain kali bawain lagi, ya."

    Mendengar gurauan Ben, Echa mencubit pinggang Papanya. "Papa, ih, jangan gitu."

    Ben tergelak tawa dan menggelengkan kepalanya. "Nggaklah, bercanda."

    Raga tertawa ringan. "Serius juga nggak apa."

    Ben menatap Raga tak suka. "Bercanda Om itu, Ga.... Nggak usah, tambah ngerepotin kamu nanti."

    "Iya, Ga. Kamu udah banyak bantu. Ini aja udah makasih banget. Ya udah kamu pulang dulu aja sana. Nanti kemaleman dicariin orang tua kamu lagi," kata Tante Ratih.

     Raga tersenyum miris. Lelaki itu menyalami Ben dan Tante Ratih. Setelah mengucapkan salam, dia pergi dari ruangan VIP itu dengan senyum miris yang masih tersisa dibibirnya.

     "Khawatir? Siapa emangnya yang mau ngekhawatirin gue?" tanyanya getir pada diri sendiri saat sudah benar-benar keluar dari ruangan bercat putih itu.

    Raga berjalan dengan lemas. Sejak dulu, tidak ada yang mengkhawatirkannya. Ah, kecuali gadis itu. Gadis itu!! Raga mengacak rambutnya frustrasi. Kenapa kenyataan yang dia punya selalu semenyakitkan ini?!! Kenapa? Kenapa takdirnya semenyedihkan ini? Kenapa??

Jiwa Raga (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang