27. Hibur Echa

844 53 0
                                    

MAAF JIKA ADA TIPO

🌸

"Aku sedang berada di titik rapuh. Dan aku melihat kamu. Bisa tolong aku supaya cepat sembuh?"

🌸🌸🌸

    Jemari mungil itu masih menggenggam erat tangan besar kasar milik Ben. Mata Echa menatap lekat-lekat wajah Ben yang sudah mulai mengeriput. Rasanya baru kemarin dia masih melihat senyum Ben. Rasanya baru kemarin Echa masih mendengar suara berat milik ben. Namun, sekarang lelaki itu hanya terbaring di atas brankar tanpa pergerakan dari kemarin. "Echa masih kuat kok, Pa. Tapi jangan lama-lama."

    "Kalau Papa nggak bangun-bangun juga, Echa coret nama Papa dari kartu keluarga." Gadis itu mendengus kesal. Nyatanya, semua usaha Echa membantu Ben siuman belum berhasil. Kata Dokter Angga, Ben butuh dorongan agar lekas siuman. Tapi nyatanya? Gadis itu masih harus mencoba.

    Echa mengusap-usap punggung tangan Ben, berharap Ben lekas bangun dari tidurnya. "Papa udah tidur lama. Masih belum mau liat Echa senyum? Kemarin senyum Echa udah di-update."

    "Cha."

    Gadis itu mendongak. Menatap Raga yang entah sejak kapan sudah ada di sampingnya. Mata itu beralih ke bungkusan yang Raga tenteng tinggi-tinggi sejajar dengan kepala lelaki itu.

    "Mie ayam." Raga tersenyum lebar memperlihatkan deretan giginya. Echa mengerjapkan matanya yang membengkak karena menangis semalaman. Gadis itu heran, Raga terlihat sangat hangat kali ini.

    "Dalam rangka?"

    Raga mendengus kesal, menurunkan tangannya lalu menaruh mie ayam itu di atas nakas. "Dalam rangka ngisi perut lo yang belum makan sejak semalam." Lelaki itu memindahkan mie ayam dalam plastik ke mangkok yang dibawa Mbok Inem tadi pagi.

    Echa menggeleng lemah. "Enggak laper."

    Raga melipat kedua tangannya di depan dada. "Menurut lo gue peduli gitu sama lo?" Raga terkekeh sinis. Oh tidak, dia kembali ke sifat aslinya. Menyebalkan.

    "Gue peduli sama bokap lo. Gimana perasaannya coba kalau bangun anaknya tinggal selidi."

    Echa menatap tajam Raga. Gadis itu melepas genggaman tangannya pada Ben dan mencubiti lengan Raga dengan gemas. "Nyebelin ih, Raga!! Pergi sana, pergi!"

    "Aw! Sakit, Cha! Lo kira gue squisi?!" Raga berlari ke sudut ruangan. Lelaki dengan seragam abu-abu yang dibalut jaket hitam itu menatap Echa penuh kengerian.

    "Makanya nggak usah jailin Echa! Udah tahu Echa lagi sedih. Lagian, bukannya kita kemarin musuhan?!" Gadis membentak lalu terisak pelan.

    Raga menarik napas dalam-dalam. Ingin rasanya dia menenggelamkan gadis itu ke dalam sungai. Apalah daya Raga yang masih punya jiwa kemanusiaan. "Ya gue tahu lo lagi sedih, makanya gue hibur." Raga perlahan mendekat, menggambil kursi di dekat sofa dan duduk di samping Echa.

    "Dan..., buat yang musuhan, bukannya kita udah fine fine aja?"

    "Fine dari mana?"

    "Ya..., kemarin aja lo meluk-meluk gue."

    Echa menatap tajam raga. "Itu beda hal ya, Echa masih marah sama Raga yang selalu ikut campur sama urusan Echa."

Jiwa Raga (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang