MAAF JIKA ADA TYPO
🌸
"Hidup bisa makin sulit, kitanya harus makin kuat. Semangat, ya, kamu."
🌸🌸🌸
Gadis dengan balutan jaket kebesaran itu menatap kosong barista yang sedang membuatkan pesanan. Tangan yang sejak tadi mengaduk-aduk milkshake dengan teratur itu terhenti saat sekelebat pertanyaan lewat di pikirannya.
"Menurut Jiwa, Raga kenapa, ya?"
Jiwa mendongak. Menatap Echa yang sedang menatapnya lekat. Sebelum menjawab, lelaki itu menyeduh minumannya. "Gue kurang tahu. Cuma, Lauren 'kan sahabatnya, Cha. Kita bertiga udah temenan dari kecil, dan Lauren emang paling lengket sama Raga."
Jiwa tersenyum tipis. "Segalak-galaknya Raga sama Lauren yang rewel, sebenci-bencinya Raga sama Lauren yang rusuh banget, dia tetep sayang sama cewek itu."
"Bisa aja Lauren nangis minta dianterin ke Mal, makanya Raga luluh dan nurut. Kalau nggak penting-penting amat Raga nggak pernah ngeladenin, Cha. Jadi, bisa aja apa yang mau Lauren beli itu penting makanya Raga mau nganter."
Echa mengangguk. Matanya menerawang langit-langit. "Ya, bisa aja."
Echa menoleh, menatap Jiwa. "Jiwa pernah nggak ngerasa cemburu?"
Jiwa tersentak kecil, merasa tak percaya Echa menanyakan hal itu padanya. Padahal, Echa jelas tahu jika dirinya menyukai Echa. "Engg...," Jiwa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "pernah, sih."
Echa yang sadar akan pertanyaan konyolnya membuang muka. "Maaf," cicitnya.
Jiwa tertawa kecil. "Nggak apa. Lagian, setelah gue pikir-pikir, kita lebih cocok adik-kakak daripada pacaran." Jiwa tersenyum lembut.
Echa nyengir. "Nggak juga sih. Kalau dulu Raga nggak main curang, kita bisa aja udah pacaran," kata Echa diakhiri tawa kecil.
Jiwa tertawa. "Dia sayang banget sama lo, Cha."
Tawa Echa luntur. Mata yang tadinya mulai berbinar kembali redup. "Mungkin."
"Udah pasti, Cha. Bukan cuma mungkin."
Echa tersenyum samar. "Ya ... Raga pernah sih ngomong ke Echa tentang perasaannya, akhir-akhir ini sering malahan. Tapi, dari kemarin perasaan Echa nggak enak, kayak ... Raga mulai jauh."
"Ya kan namanya perasaan, kenyataannya nggak mungkin jauh. Dari dulu, dia udah sesayang itu sama lo. Jangan ragu, Cha. Gue yakin, awalnya Raga emang nganggep lo sebatas adiknya karena setahu gue dia selalu pengen punya adik cewek. Tapi, lama-lama rasanya berubah jadi sayang ke lawan jenis, bukan sekedar Kakak-Adik."
"Kenapa Jiwa bisa sepercaya diri itu ngomongin tentang apa yang Raga rasain? Bukannya kalian nggak akrab, ya? Mana mungkin Raga mau curhat ke Jiwa."
Jiwa tertawa kecil mendengar Echa meluapkan isi hatinya. "Ya emang kita nggak akrab," Jiwa menyeduh minumannya, "dia juga nggak pernah curhat. Tapi, segalak-galaknya Raga, ekspresinya gampang ditebak. Sedatar-datar mukanya, masih bisa ditebak juga, nggak kayak gue."
Benar juga. Raga itu ekspresinya mudah ditebak. Mau pasang wajah segalak apapun, seketus apa pun, itu malah membuat lawan bicara tahu jika Raga sedang marah atau merasa tak senang pada lawan bicara. Lain halnya dengan Jiwa, sedatar-datar wajah lelaki itu, maka lawan bicara tidak akan paham dengan perasaannya. Bisa saja Jiwa sedang menutupi rasa bahagianya. Bisa saja Jiwa benar-benar tidak suka dengan lawan bicaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa Raga (✔)
Fiksi Remaja[ S E L E S A I ] ⚠Tersedia juga di Dreame⚠ Judul awal: Badboy and Coolboy • Echa tidak pernah menyangka, bahwa pertemuannya dengan Jiwa dan Raga akan membawanya kembali mengingat apa yang sempat dia lupakan--segala kenangan di masa lalu yang hi...