58. Nine Years Ago (2)

398 40 0
                                    

MAAF JIKA ADA TYPO

🌸

"Masa lalu itu bukan untuk dilupakan. Tapi, untuk dikenang sebagai sebuah pelajaran."

🌸🌸🌸

   "Semuanya masih normal. Sampai..., kamu ngedrop."

    Echa mendongak, menutup album di tangannya.

    "Nak Ben tahu kalau kamu suka keluar rumah dan main sama Raga. Nak Ben tahu kalau kamu sering kecapekkan karena hal itu. Nak Ben tahu kalau kamu..., sering bohongi dia. Kamu bilang tidur, ngunci pintu kerena nggak mau diganggu, ternyata kamu keluar dari jendela kamar dan pergi main."

    "Lalu?"

    "Lalu...."

🌸🌸🌸

    Raga mengusap ingusnya dengan tisu yang Sasmita berikan. Anak itu meringis ngilu saat mengingat kemarin ia hujan-hujanan dengan Aren. Dia benar-benar merasa bersalah sudah menurut saja diajak main hujan, dan karena hal itu Aren dilarikan ke rumah sakit malamnya. Anak itu demam tinggi.

    "Kamu nggak usah sedih, semangat, biar cepet sembuh. Aren pasti ilfeel ngeliat kamu ingusan gini." Sasmita menyuapkan sesendok bubur ke mulut Raga.

    Raga mengerucutkan bibirnya kesal. "Aren nggak mungkin ilfeel sama Raga. Raga 'kan ganteng."

    Sasmita terkekeh geli. "Bisa narsis juga kamu."

    "Iya, dong. Diajarin papa."

    "Nek."

    Sasmita dan Raga menoleh ke ambang pintu. Di sana, seorang anak berumur 8 tahun berdiri sambil menunjuk keluar kamar. "Ada Papanya Aren di luar. Dia..., nyari Raga."

🌸🌸🌸

    "Papa ngapain, Nek?"

    Sasmita tersenyum tipis. Matanya menerawang. "Dia ngelarang Raga deket-deket kamu. Dia ngelarang Raga main sama kamu. Karena dia pikir, Raga yang selalu ngajak kamu main mainan yang terlalu energik. Padahal, kenyataannya kamu yang selalu minta Raga main ini itu. Raga selalu nurut karena dia bilang, dia nggak mau kamu sedih."

   "Emangnya Raga nggak bilang ke papa kalau Aren yang bandel?"

    Sasmita mengelus surai Echa. "Kamu nggak bandel. Dan Raga juga nggak bilang, karena dia nggak mau kamu dimarahin Nak Ben."

    "Tapi-" Echa meminjat pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut nyeri. Matanya terpejam erat. Sebengar lagi, tanpa Sasmita bercerita, dia akan tau semuanya. Semuanya yang terjadi dulu dari sudut pandangnya.

🌸🌸🌸

    Mata Aren berkaca-kaca. Gadis itu bukan hanya merengut, tapi sudah menahan tangis. Raga terus saja menghindarinya setelah ia pulang dari rumah sakit tiga hari yang lalu. Setiap kali Aren mendekat, Raga menjauh. Setiap Aren bicara, Raga membentak.

    Malvin menarik lengan Aren, menuntun gadis itu masuk ke dalam rumah. Tapi, bukannya menurut, Aren malah semakin histeris.

    "Nggak mau! Aren mau sama Raga!"

    Malvin menyugar rambutnya. Lelaki yang masih mengenakan seragam SMA itu menatap Raga di seberang yang membuang muka sambil melipat tangan di depan dada.

Jiwa Raga (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang